💌Extra Part ۲

164 27 2
                                    

Seketika hari-hari Aqlan menjadi lebih cerah saat ia bisa mulai dekat dengan Dilfa. Eh, jangan berpikiran negatif. Aqlan bukan mengincar Dilfa, tetapi ... ah tahu sendirilah. Entah dapat motivasi dari mana, bahkan Aqlan sekarang lebih rajin disuruh pergi ke warung oleh bundanya, demi melihat seseorang yang sampai kini belum ia kenal. Namanya saja belum tahu. Aqlan masih belum berani bertanya ke Dilfa.

Sepertinya memang tidak perlu bertanya, daripada nanti semakin dicengin oleh teman setongkrongan, apalagi ada Dilfa di sana. Bisa bahaya. Walau tidak bohong, saat ini jiwa Aqlan berapi-api ingin kenal dengan adik Dilfa. Api di kepalanya semakin membara ketika gadis itu tiba-tiba datang ke rumah Aqlan.

"Bentar, ya. Kayaknya nih adekku disuruh Ummah," kata Dilfa, sembari keluar dari pelataran rumah Aqlan, menuju pinggir jalan.

Yap. Kedatangan gadis itu hanya untuk mencari abangnya yang dari pagi tadi sudah pergi dari rumah.

Aqlan berdiri, berjalan mendekat ke dua manusia yang sedang berbincang. Sepertinya mereka sedang melakukan tawar menawar. Sekilas kalau Aqlan dengar, Dilfa meminta untuk memberitahu ummah jika ia masih ada kepentingan. Aqlan ingin sekali tertawa. Kepentingan apa? Sedari tadi yang ada di sini hanya ngobrol, bermain game online, makan ... sudah tidak ada lagi.

"Bentar lagi, deh. Ini Abang juga baru main."

Samar-samar Aqlan mendengar ucapan Dilfa.

"Yeee Abang. Baru apaan, dah?" Nampak seorang gadis yang memanyunkan bibir. "Orang udah dari jam delapam. Sekarang udah mau jam 11, Bang. Nanti Ummah ngamuk, loh."

"Iya, makanya bilangin ke Ummah kalo Abang masih ada urusan penting."

"Penting apaan?" Gadis itu sekilas melihat sekumpulan cowok di teras. "Orang Abang cuma main-main doang, loh."

Ck, Aqlan menahan senyum agar tidak terlepas. Agak gemas melihat adik Dilfa yang marah-marah kecil begitu.

Setelahnya Aqlan kembali duduk di tempat. Dilfa pun juga sudah selesai urusan dengan adiknya. Walau adiknya itu pergi dengan setengah hati, tetapi Aqlan cukup terhibur melihat perdebatan mereka.

"Kenapa, Bang?" tanya Jendra, salah satu teman baru Aqlan yang kebetulan juga menjadi tetangga dekat rumah.

"Biasalah."

Jendra mengangguk mengerti. "Itu adekmu, Bang?"

Dilfa mengangguk. "Hooh. Seumuran sama kalian. Bentar lagi dia bakal pergi ke pesantren."

Aqlan yang tadinya duduk nyender di tembok, seketika langsung terbangun. Kepo sekali dengan pesantren mana yang akan ditempati oleh adik Dilfa.

"Pesantren mana tuh, Bang?" Farrel mendahului bertanya. Cukup menyelamatkan Aqlan yang masih malu-malu. Harusnya ia bisa biasa saja, supaya tidak kelihatan aneh.

"Kayaknya Solo, sih. Pesantren Darussalam."

Seketika mata Aqlan membelalak, tidak percaya. "Serius, Bang?" Akhirnya, Aqlan mengeluarkan suara.

"Hooh. Seingetku kata Abi di sana, sih." Dilfa melirik semua teman tongkrongannya, menatap dengan tatapan yang tidak biasa. "Kenapa kalian berdua kaget?" tanya Dilfa. Yang dimaksud kalian berdua adalah Aqlan dan Farrel.

Aqlan gelagapan, sementara Farrel nampak biasa saja.

"Ng-nggak, sih. Soalnya, aku sama Aqlan bakal ke sana juga, Bang." Farrel yang berani angkat bicara. Sementara, Aqlan masih terdiam, mungkin syok.

"Hah?" Sekarang gantian Dilfa yang terkejut. "Kok bisa kebetulan banget, sih?"

"Nah! Makanya itu, Bang."

TERUNTUK KHAIRIN ✔Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu