💌۱۸

116 37 20
                                    

Suasana di ruang BK kala itu sangat menghimpit hidup Khairin yang awalnya baik-baik saja, tenang, tentram, menjadi tidak karuan. Langsung berantakan seketika. Rasa sakit di hatinya tidak bisa terkontrol saat pihak pesantren menghubungi orang tua tanpa bertanya dulu kepada dirinya. Khairin sadar, buat apa bertanya, toh apa pun itu sudah menjadi keputusan pesantren. Khairin tidak bisa menggugatnya sama sekali. Ia tidak punya hak.

Telepon tersambung, detak jantung Khairin semakin berjalan dengan cepat. Memikirkan bagaimana perasaan orang tua, jika sudah tahu tentang kasus tersebut. Khairin tidak sanggup untuk membayangkan. Rasa tangis hanya dapat ia pendam. Namun, hatinya sudah ingin memberontak.

"Assalamu'alaikum. Halo, dengan orang tua Khairin Talita Abbasy?" ucap ustazah Dina.

"Iya, betul."

Telepon tidak dalam mode speaker. Tentu saja itu membuat Khairin kesulitan untuk mendengar apa saja respon yang diberikan oleh orang tuanya. Ia hanya bisa mendengar respon dari guru BK saja. Itu pun sudah cukup membuat hati Khairin tidak tenang. Mungkin dari setiap kata-kata yang dilontarkan ustazah Dina, mampu membuat Khairin merasakan apa yang dirasakan orang tuanya.

"Kami dari pihak pesantren ingin melaporkan sesuatu."

Allah, Khairin berharap ada keajaiban yang datang.

"Ada apa, nggeh, Ustazah?" Terdengar nada cemas dari Fathiyya-ummah Khairin-yang hanya bisa didengar oleh Disana. "Apa Khairin nekad mau kabur lagi dari pesantren?"

Ustazah Dina menggeleng pelan, "Mboten, Ibu."

"Apa Khairin sakit, Ust?"

"Mboten, Bu." Dina mengambil napas sejenak, menyiapkan mental untuk memberitahu kepada orang tua santri. "Khairin tidak sakit, tetapi ... di pesantren akhir-akhir ini Khairin telah melakukan kesalahan yang fatal."

Deg. Sepertinya ini bukan mimpi untuk Khairin. Siapa pun tolong sadarkan Khairin untuk kembali ke dunia nyata.

"Apa, Ustazah?" Nada dari Fathiyya lebih ke panik. Mungkin pikirannya mulai kalut dengan apa yang sudah dilakukan oleh Khairin.

Mau bagaimana pun, Dina harus mengungkap semuanya kepada orang tua Khairin. Supaya kasus ini cepat terselesaikan.

"Khairin menjalin hubungan dengan salah satu santri putra yang ada di pesantren ini," jelas Dina singkat. Setelah itu matanya terpejam.

"Astaghfirullah," Fathiyya terkaget, terbaca dari suara yang didengar oleh Dina.

Allah, Khairin mau tahu bagaimana jawaban ummah saat ini.

"Kami perlu menindaklanjuti kasus ini. Diharapkan orang tua Khairin bisa datang ke pesantren dalam waktu dekat ini."

Mendengar ustazah Dina mengatakan itu, semakin membuat Khairin merasa bersalah atas apa yang dilakukan. Bukan ini yang Khairin inginkan, bukan. Khairin tidak mau orang tuanya dipanggil ke pesantren untuk menyelesaikan kasus. Ini tidak masuk dalam cita-cita Khairin. Agh, bisakah Khairin berteriak sekarang, detik ini juga?

"Ya Allah, t-tapi Khairin gak akan dikeluarkan dari pesantren, Ust?"

Ustazah Dina tersenyum sekilas. "Kita akan bahas kasus ini bersama ketika orang tua ke dua belah pihak sudah datang nggeh, Bu. Nanti saya informasikan waktunya."

Pasrah. Ya, hanya pasrah yang bisa dilakukan Khairin ketika sambungan telepon itu terputus. Khairin tidak tahu lagi harus bagaimana. Ingin bilang dunia terlalu kejam, tetapi ternyata dirinya yang kelewatan. Seperti pantas untuk mendapat hukuman ini.

"Ustazah rasa ... kamu sudah bisa mendengar semuanya sendiri Khairin." beritahu ustazah Dina. "Orang tua kamu pasti datang ke sini."

Khairin menunduk dalam. Tidak kuat. Tidak mungkin juga menumpahkan air mata di kalangan banyak orang begini. Terpaksa menahan sampai menemukan tempat yang tepat untuk menumpahkan semuanya.

Ini masih awal, kasus belum semua terungkap, tetapi sudah mampu membuat Khairin sangat kehilangan arah untuk tersenyum. Yang bisa ia lakukan hanya mengangguk, meng-iyakan setiap ucapan ustazah Dina.

"Nanti, orang tua Aqlan ke sini dalam waktu yang sama juga, ya."

Ck, sudah lengkap penderitaan Khairin. Tinggal menunggu saja bagaimana sikap abi ketika tahu tentang semua ini. Khairin tidak tahu bagaimana perasaan Aqlan saat ini, tetapi ia yakin pasti ada rasa penyesalan juga. Dari tadi Khairin satu ruangan dengan Aqlan. Hanya saja pandangan Khairin sama sekali tidak tertuju pada Aqlan. Sekilas saat masuk ruang BK tadi. Melihat Aqlan sama saja mengingat kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya.

"Khairin, kamu bisa keluar lebih dulu sekarang!" perintah ustazah Dina. "Seperti yang sudah saya bilang, kasus ini akan saya lanjutkan besok ketika orang tua kamu sudah datang ... tetapi, jangan sampai Ustazah mendengar lagi kamu berhubungan sama Aqlan, begitu juga sebaliknya."

Mengembuskan napas berat berulangkali. Iya, Khairin hanya bisa mengangguk pelan, sangat pelan. Orang yang tidak teliti bakal mengira kalau Khairin abai terhadap ucapan ustazah Dina. Padahal, jauh di dalam lubuk hatinya, semuanya jadi kacau.

💌💌💌

Sejak pemberitahuan tentang orang tua yang akan datang ke pesantren, kasus belum ditindaklanjuti lagi. Menunggu, itu yang bisa Khairin lakulan sekarang, atau ia berharap kasus ini hanya khayalannya semata. Yang sebenarnya ini cuma mimpi Khairin.

"Aduh!"

Oke, ini cukup menyadarkan kalau semua ini bukan mimpi. Berterimakasihlah kepada buku tebal yang telah menimpuk kaki Khairin. Sakit, tetapi lebih sakit lagi mengingat nasibnya yang berada di ujung tanduk.

Aktivitas Khairin pun jadi terhambat. Seolah semuanya tidak menjadi fokus lagi. Terlalu sedih memikirkan kasusnya yang tak kunjung diselesaikan sesegera mungkin.

"Udah atuh. Jangan banyak diem gini," ucap Inara, mengelus bahu Khairin pelan. "Aku tau, kok. Kamu pasti sedih banget. Tapi, kalo kamu sedih mulu, yang ada semua jadwal kamu jadi berantakan, Khai."

"Bener yang dikatakan Nara, Khai. Kamu boleh sedih, tapi secukupnya aja. Mending kamu banyakin istighfar, minta maaf sama Allah untuk segala kesalahan yang udah kamu lakukan," tambah Najma.

Khairin cengo. Pikirannya hanya tertuju pada orang tua saat ini. Khairin merasa begitu bandel sekali. Mengapa tidak pernah mendengarkan nasihat dari orang tuanya. Padahal, mereka sudah sering memberikan peringatan kepadanya, tetapi Khairin seolah tidak mau mendengar.

"Kamu harus bisa tetap tenang menghadapi masalah kamu ini, Khai. Kalo kamunya kayak gini terus, yang ada pikiran kamu makin kalut," terang Najma. "Kamu pasti tau ... kalo setiap masalah yang datang, pasti akan terlewati. Itu tergantung bagaimana kamu menjalaninya."

Menarik napas, lalu mengembuskannya.

"Tapi, aku kepo, deh." ucap Inara tiba-tiba. "Siapa yang ngelaporin kamu, ya? Otomatis dia pasti orang tau hubungan kalian. Sementara, yang tau pun nggak banyak orang. Aku, kamu, Najma, Layla ... siapa lagi?" Inara berpikir seraya mengetukkan jari ke kening.

"Hih, Nara!" sergah Najma. "Jangan nambahin pikiran Khairin. Kasian. Itu bisa diurus nanti. Yang penting kasus ini bisa selesai dulu."

Huft. Di saat genting seperti ini, memang Khairin tidak terlalu memikirkan siapa pelapornya. Mau di pikirkan pun dan ketika sudah ketemu, emang Khairin mau ngapain jika sudah terjadi. Walau kata Inara yang tahu hubungannya cuma sedikit, tetapi tidak ada kemungkinan salah satu dari mereka yang melapor.

Pening rasanya. Khairin yakin, Inara dan Najma tidak mungkin melakukan ini. Mereka begitu sayang dengan Khairin. Mana mungkin mau melihat Khairin bersedih.

Layla? Tidak mungkin, 'kan?

💌💌💌

Tumben saya update siang? Iya, lagi pusing. :v

See you~

Jbr, 18 Juli 2021.

TERUNTUK KHAIRIN ✔Where stories live. Discover now