30 Kalian Punya Segalanya

6.7K 1.3K 96
                                    

Jangan lupa vote dan komennyaaa

*

Hwan melihat kamar terang milik Septian. Cukup rapi dengan ukuran kecil berisikan barang-barang tak berguna. Ia bisa merasakan hangatnya kamar tersebut. Jelas Septian sering meghabiskan waktunya pada ruang kecil itu. Tak seperti kamarnya yang jauh lebih luas tapi terasa sangat lengang.

Hwan yang baru merasakan jenis kehangatan baru tersebut terlena hingga tak terasa bahwa matanya perlahan menutup membawanya ke sebuah mimpi baru. Mimpi baru yang tak pernah ia pikir jika kebahagiaan itu masih mungkin untuk digapai.

Septian mendesah. Ia menggapai selimut yang terlipat rapi di ujung kaki Hwan. Pemuda itu membukanya kemudian melampirkan pada tubuh Hwan yang tertidur miring menghadap tembok. Jam kecil di atas meja belajarnya masih menujukkan pukul setengah enam sore. Langit yang sedari awal sudah gelap akibat mendung semakin gelap karena matahari telah terbenam seutuhnya. Septian mematikan lampu agar Hwan bisa tidur lebih nyenyak.

Ia melangkahkan kaki menuju dapur menikmati segelas air dingin dari kulkas. Telinganya menangkap suara deru mobil yang berhenti tanda kedua orang tuanya telah pulang. Ia menyapa mama dan papanya dan bilang jika sedang ada seorang teman yang tidur di kamarnya. Septian mengangguk setuju saat Asmara, mamanya, menawarkan diri untuk memasakkan lebih banyak makanan sekalian mengajak Hwan untuk makan bersama.

"Assalamu'alaikum!" teriak Genta, salah satu adik kembar Anne, dari luar pintu.

"Waalaikumsalam," sahut Septian membukakan pintu untuk si kecil. "Ada apa, Gen?" tanyanya.

"Ini mama mau mengembalikan piring  kemarin sore. Terima kasih."

"Oh iya, Terima kasih kembali," ujar Septian.

Genta masih berdiri tak kunjung pulang membuat Septian bertanya-tanya. "Ada perlu apa lagi?"

Tangan kecilnya menujuk ke arah sepeda motor milik Hwan yang terparkir di depan rumah Septian. "Itu sepeda motornya Kak Hwan, bukan?"

"Iya. Ada apa memangnya?"

"Aku boleh nggak main bareng Kak Asep sama Kak Hwan?"

Septian melipat kedua tangannya di depan dada sambil bersender di kusen pintu. "Bukannya sekarang sudah masuk jam belajar? Nanti dimarahin sama papamu lagi lho kalau nilainya jelek."

"Nggak apa-apa, Kak! Kan setidaknya ada Gana yang pintar. Nanti aku bisa minta contek dia aja."

Septian menggeleg kesal. Dia memang sayang pada si kembar. Hanya saja kedua makhluk itu atau yang sering disebut Anne sebagai tuyul itu sering membuatnya kuwalahan. Genta ini tipikal anak kelewat aktif yang selalu membuatnya pusing tujuh keliling sedangkan kembarannya si Gana lebih kalem. Tapi tetap saja mereka memiliki DNA yang sama. Gana jauh lebih ambisius daripada Genta. Apalagi kalau dia sudah mengizinkannya bermain PS bisa jadi semalaman anak itu terus bermain sampai bisa mengalahkan level teratas. 

"Kalau mau ke sini nggak ada alasan buat main PS. Harus bawa buku buat belajar sama! Hwan ke sini juga buat belajar ukan buat main PS. Paham?"

"Tapi aku boleh kan ke sini?" tanyanya dengan mata berbinar.

"Tapi harus belajar," jawab Septian sekali lagi menekankan tujuan anak itu berkunjung.

Telunjuk dan jempulnya disatukan membentuk tanda 'OK'. Segera Genta berlari pulang ke rumahnya. Ia melihat Gana yang tengah belajar bersama papanya di ruang tamu. Ia melangkah dengan pelan mencoba mencari alasan.

"Um ... papa? Aku boleh nggak belajar sama Kak Asep di rumahnya?" Aji yang tengah membantu Genta mengitung perkalian susun mengangkat alisnya.

"Belajar? Kenapa nggak belajar di sini saja? PR kamu yang bahasa inggris sudah dikerjakan belum?" tanya Aji dengan nada datar membuat Genta hanya tertawa malu.

ANNE The Sweet Potatoحيث تعيش القصص. اكتشف الآن