34 Dunia Tiga Orang

4.4K 765 84
                                    

Septian membuka matanya perlahan ketika merasa taksi yang mereka naiki berbelok ke arah yang familiar. Mereka ketiduran dan kompleks perumahan Hwan telah kelewatan jauh. Ia melihat Hwan yang masih tertidur di pundaknya, begitu juga Anna. Sepertinya ia tidak masalah jika Hwan ingin menginap di rumahnya malam ini.

Septian tersenyum kecil dan kembali menutup matanya sejenak sebelum taksi tiba di depan rumahnya. Dan seketika semua kebahgaiaan yang mereka rasakan seharian penuh hancur ketika melihat orang tua mereka berdiri di depan rumah bersama terlihat khawatir.

"Ne ... bangun. Hwan, bangun."

Septian membayar uang taksi dan kembalimembangunkan Anne yang masih enggan untuk membuka matanya. Hwan juga sama membuat Septian merasa frustasi karena melihat Aji yang berjalan cepat menuju taksi kemudian membuka pintu taksi dengan kasar.

"Marianne!" panggil Aji dengan suara tinggi.

Anne yang tertidur seketika terbangun dan terkejut melihat papanya melotot marah ke arahnya.

"Pa ..."

"Masuk ke rumah." ujar Aji dengan dingin.

"Paa..."

"Sekarang!" bentak Aji dengan kasar membuat semua orang di sana terdiam. Aji melirik Septian juga Hwan dengan tajam dan menyusul putrinya yang masuk ke dalam rumah. Qia memegang pundak suaminya, mengelus lengan pria itu menahan emosinya.

"Hwan, mending kamu pulang aja ke rumahmu," ujar Septian meninggalkan Whan seorang di dalam taksi.

Septian turun dari taksi. Ia merasa menyesal melihat ekspresi kedua orang tuanya yang terlihat kecewa. Septian mengusap lengannya dengan gugup.

"Ma, maaf."

Mara menghela nafas panjang.

"Masuk. Kita berbicara di dalam."

Mara masuk lebih dulu. Yusuf mendorong pundak putranya agar menyusul ibunya. Yusuf kembali ke taksi dan meminta taksi tersebut untuk mengantar Hwan pulang ke rumahnya.

"Hwan, hati-hai."

Hwan hanya mengangguk. "Iya, Om. terima kasih." Pria itu mengulurkan uang sebagai bayaran mengantar Hwan pulang ke alamat yang dituju. Hwan melihat dua rumah yang etang itu dengan perasaan teriris. Rahangnya mengeras ketika taksi berputar balik dan meninggalkan komplek perumahaan tersebut dan kembali ke jalanan yang sepi.

***

Septian duduk di meja makan dengan kepala tertunduk.

"Kenapa kamu ngelakuin in Septian? Mama berharap lebih dari kamu. Kalau kamu nggak bawa ponsel, akmu bis ahubungi mama dari mana pun. Kalau sudah begini mau bagaimana lagi? Anne sama Hwan juga pasti sedang dimarahi orang tua mereka sekarang. Anne masih kecil, mama ga kenal Hwan... orang yang paling mama percaya cuma kamu. Tapi kamu malah buat mama kecewa."

"Maaf, Ma. Septian salah," jawabnya penuh penyesalan.

"Kamu ... ah ... kamu ga tahu bagaimana paniknya Papanya Anne. Dia pergi ke sana-sini, cariin anaknya. Anne tuh anak cewek, masih di bawah umur. Kalau ada apa-apa siapa yang mau tanggung jawab?"

Septian mengangguk mengerti ucapan mamanya.

Asmara berdiri dengan kesal. "Dua minggu ini kamu nggak boleh bawa motor. Hp mama sita. Kalau ada tugas kelompok, bawa teman-temanmu ke rumah. Mama nggak mau tahu, kamu juga harus minta maaf ke guru kamu karena kamu juga sudah ninggalin kelas begitu saja."

Septian mengangguk mengerti. Setelah mamanya pergi, Septian masih terduduk di tempatnya. Memijat ujung hidungnya untuk menahan diri untuk tidak menangis. Septian kecewa pada dirinya sendiri karena sudah membuat mamanya menangis. Ia begitu menyayangi kedua orang tuanya. sebagai seorang anak tunggal, Septian merasa bahwa dirinya memiliki tanggung jawab untuk membanggakan dan membahagiakan kedua orang tuanya.

ANNE The Sweet PotatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang