42 Induk Kelinci Dan Ketiga Anaknya

3.9K 738 59
                                    


Keesokan paginya, setelah Qia mengajak Anne, Septian juga Hwan keliling hutan dan kebun teh, mereka memutuskan untuk kembali ke rumah penginapan dan tidur di sana untuk malam terakhir mereka sebelum kembali ke kota.

Keempatnya bersama-sama membereskan juga membersihkan sampah yang ada.

"Kak Anne, jangan lupa sampah yang ada di dalam tenda dikeluarin dulu, ya," ujar Qia mengingatkan anaknya.

"Iya, Ma. Sudah Anne masukin ke kresek sampah."

"Oke, pokoknya kita nggak boleh ninggalin sampah secuil pun."

Hwan meengang. Pemuda itu meninggalkan tenda yang sedang dilipatnya kemudian mencari bungkusan permen karet yang ia buang sembarang tadi malam. Seingatnya ia buang di dekat api unggun tapi waktu dicari nggak ada.

"Cari apa, Hwan?" tanya Septian yang penasaran melihat Hwan meninggalkan tenda dan mengubek-ngubek tumpukan arang kayu bakar sisa api unggun semalam.

"Bungkus permen karet yang aku bang tadi malam nggak ada."

"Oh .. sudah aku buang ke tempat sampah."

"Oh ya?" tanya Hwan senang.

"Hm-hm, kamu sih buang sampah sembarangan padahal Tante Qia udah ingetin berkali-kali sebelum berangkat kalau kita nggak boleh buang sampah sembarangan. Meskipun kecil dan nggak berdampak tapi kalau ratusan juta manusia berpikiran kayak gitu bumi kita bisa rusak juga."

Hwan menggaruk rambutnya yang tak gatal kemudian meminta maaf. Syukurlah kalau sudah dibuang oleh Septian. Jika tidak mungkin Hwan akan merasa terbebani karena tidak mendengarkan peringatan Qia.

ENtah apa yang membuat Hwan seperti itu tapi ia merasa bahwa kedua orang tua Anne adalah orang dewasa yang bisa ia percayai dan Hwan tidak ingin merusak kepercayaan mereka. Berbeda dengan ayahnya, selingkuhan ayahnya atau guru-guru di sekolah. Bahkan ketika ia ratusan kali dipanggil guru untuk ditegur akibat rambutnya yang panjan, Hwan sama sekali nggak peduli. Hwan juga pernah ditegur karena membuang bungkus permen karet sembarangan ke arah taman sekolah dan keesokannya tetap Hwan ulangi lagi.

"Semuanya sudah siap? Ga ada yang ketinggalan kan?" tanya Qia memastikan bahwa tidak ada barang mereka yang ketinggalan.

"Nggak ada deh, Ma," jawab Anne.

"Kalau begitu ayo balik."

Qia menyuruh Septian untuk berjalan lebih dulu, kemudian Anne, Hwan di belakang Anne kemudian Qia paling di belakang memantau anak-anak remaja itu. Hutan yang mereka lalui masih basah bukan akibat hujan melainkan embun. Anne mengulurkan tangannya untuk menyentuh tanaman putri malu yang penuh akan butiran embun kemudian ketika disentuh, daun-daun kecil itu mengatup malu seperti namanya.

"Hwan," panggil Qia dari belakang.

Pemuda itu menoleh ke belakang.

"Ya, tante?"

"Rambutmu agak panjang ya ... nggak ditegur sama guru?"

"Oh ..." Hwan menyentuh poninya yang sudah sangat panjang melebihi garis alisnya. "Kelihatan panjang banget ya, tante?'

Qia mengangguk. "Rapiin dikit ya, biar makin keliatan gantengnya," ujar Qia sambil tersenyum membuat Hwan merona dan lekas kembali menghadap ke depan.

Pemuda Itu tak menjawab melainkan hanya mengangguk saja.

"Mama! Kelinci!" teriak Anne menunjuk benda putih berbulu berwarna merah yang melompat masuk ke dalam lubang pohon.

Semuanya langsung menoleh ke arah kelinci tadi muncul. Qia menyuruh Anne untuk kembali melanjutkan perjalanannya. Qia tidak ingin berurusan lagi dengan berbagai jenis peliharan putrinya. Pertama gadis itu ingin mengoleksi ikan, papanya membuatkan aquarium tapi almarhum kucing mereka, Jade," langsung menerkam ikan-ikan kecil itu dalam semalam ketika mereka tidur.

ANNE The Sweet PotatoWhere stories live. Discover now