15 Menghitung Hari

13.9K 2.8K 807
                                    

Sesuai janji kalau komen tembus 500 aku up cepet, nah bagaimana? Senengkan? Sama aku juga seneng banget hehehe. Jangan lupa vote dan komennya sebanyak-banyaknya lagi yaa cinta-cintaku!!!

*

Menghitung hari 2 oleh Anda (diputar waktu bagian ada liriknya ya ^^)

Anne merasa bersalah telah bertanya sesuatu yang mungkin saja disimpan rapat oleh hwan di dalam kontak pandora laki-laki itu. Gadis itu cukup sedih setiap kali melihat ada orang yang melakukan self injury seperti Hwan ini. Ia sangat ingin mengulurkan tangannya tapi mengingat sejarah keduanya membuat Anne meragu. 

Sudahlah, Anne tidak ingin semakin membuat suasana canggung antar keduanya. Gadis itu segera beranjak dari tempat duduknya untuk kembali ke kelas.

"Mau kemana?" tanya Hwan.

"Eh, itu ... mau kembali ke kelas, sudah terlalu lama izin ke kamar mandinya."

"Kelasnya siapa?"

"Biologi Bu Sulistya."

Hwan tertawa singkat. Ia mengambil bangku yang diduduki Anne tadi lalu menggesernya ke sebelah piano. Tangannya menepuk bangku kosong itu mengisyaratkan agar Anne untuk duduk di situ. "Buat apa, Kak? Aku pasti lagi dicariin." Hwan masih menepuk bangku tersebut agar Anne duduk.

Ujung bibirnya terangkat ketika mendengar si kentang menggeram tak suka tapi tetap duduk di bangku itu. Kini, Hwan menempatkan dirinya sendiri di kursi piano. Ia kembali memainkan jemari lentiknya di atas balok-balok berwarna hitam dan putih itu. Anne iri melihat jemari indah milik Hwan. Melihat jari-jarinya yang hampir mirip wortel membuat Anne semakin berkobar semangatnya untuk berolahraga lebih giat lagi.

"Marianne," panggil Hwan membuat Anne tersadar dari lamunan singkatnya.

"Ya, Kak?" 

Hwan masih memainkan jemarinya menyusun nada do-re-mi dasar, tak ada melodi yang tercipta. Laki-laki itu tak kunjung mengeluarkan suaranya membuat Anne bingung. Dari jarak sedekat ini, Anne bisa melihat jelas luka gores di bawah dagu Hwan. Dari bentuknya sepertinya sudah sangat lama, luka itu sudah sangat memudar hanya tersisa garis putih sepanjang dua atau tiga sentimeter.

Anne iba melihat laki-laki di depannya itu. Ia jadi teringat mamanya. Mamanya adalah wanita hebat, pasti sudah hampir ribuan nyawa dan kehidupan yang telah berhasil mamanya selamatkan. Jika mamanya berada di posisi Anne sekarang pastilah Anne yakin wanta itu tak sungkan untuk menolong Hwan. Tapi Anne tak seberani mamanya ....

Banyak hal yang menjadi pertimbangan Anne. Pasti Hwan mengira Anne adalah orang yang sok-sokan peduli atau tidak Anne hanya tipikal orang yang berpura-pura peduli padahal tidak. lagipula, siapa dia sampai berani berpikiran demikian? Atau worst casenya, bagaimana jika Hwan tidak ingin ditolong? Tapi hati nurani Anne tidak bisa dbohongi, diterima atau tidak yang penting Anne sudah mencoba kan? Bukankah dengan bersikap apatis kita termasuk berperan dalam melukai orang itu?

"Kak Hwan? Apa benar tadi itu luka-luka dari self injury?" Jemari lentik Hwan berhenti memainkan pianonya. 

"Kalau aku bilang iya, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Hwan mengangkat alisnya tak suka gadis itu menanyakan hal seperti tadi. "Merasa kasihan?" tantang laki-laki itu dengan nada mengejek Anne.

Anne menggeleng sembari tersenyum. "Kalau Kak Hwan nggak mau dikasihani so be it. Ngapain juga aku kasihan sama Kak Hwan yang literally manggil aku kentang di depan umum, kan? Hanya saja, kulit tangan Kak Hwan itu bukanlah kertas jadi jangan menyobeknya. Juga hidup Kak Hwan bukanlah sebuah film yang harus diakhiri."

ANNE The Sweet PotatoWhere stories live. Discover now