35 Perasaan Bersalah

4.3K 748 52
                                    

Anne bangun dengan kepala yang pusing. Ia menangis semalaman tak berani turun ke bawah. Ia juga bangun sendiri tanpa dibangunkan mamanya seperti biasa. Anne sudah bersiap dengan seragamnya tapi ia tak berani turun untuk sarapan.

Di pintu kamarnya ia berdiri seperti patung mendengar suara papa juga adik-adiknya yang baru selesai mandi. Ia berpura-pura menjauh dari pintu dan sibuk dengan tasnya ketika pintu kamarnya diketuk.

"Kakak?" panggil mamanya dengan lembut.

"Iya, Ma?"

"Ayo sarapan dulu sebelum berangkat."

"Iya, Ma. sebentar."

Anne merasa sedikit lega karena mamanya terdengar biasa-biasa saja. Gadis itu membawa tasnya turun dengan canggung. Kepalanya menunduk sehingga rambut juga poninya menutupi wajahnya. Dari sudut matanya ia tak melihat papanya atau adik kembarnya.

Qia meletakkan sarapan Anne di atas meja. Ia menegang ketika Genta dan Gana bergabung di meja begitu juga papanya. Papanya hanya mengambil piring yang sudah disediakan kemudian pergi meninggalkan meja makan dan makan seorang diri di sofa. Genta sibuk dengan minta ke mamanya untuk telurnya dimatangkan lagi. Gana sendiri tengah diam memperhatikan suasana rumah yang rasanya berbeda dari biasanya.

Qia memperhatikan anak-anaknya yang makan dengan lahap. Ia melihat Anne yang makan dengan tidak nyaman. Wanita itu mengerti rasa frustasi Anne. Dulu ... dia pun pernah melakukan hal yang sama. Membentak orang tuanya dengan kata-kata yang tidak ia pikirkan baik-baik.

Qia menunggu sejenak sampai anak-anaknya selesai sarapan. Aji sendiri telah menyelesaikan sarapannya dengan cepat. Pria itu mendekati istrinya dan berbisik sesuatu.

"Ne, kata papa kamu dua minggu ini diantar jemput sama papa," ujar Qia menyampaikan pesan dari suaminya untuk putri mereka.

Anne hanya mengangguk tanpa mengangkat kepalanya.

Aji kembali membisikkan sesuatu lagi membuat Qia mendesah.

"Katanya papa nggak usah pake katanya papa."

Aji menatap Qia tajam tapi wanita itu hanya mengedikkan bahunya. Aji kembali ke dapur untuk mencuci sisa makannya. Anne memberanikan diri mengintip ke arah kedua orang tuanya. Mama dan papanya tengah berbicara berbisik-bisik. Anne merasa semakin bersalah ketika melihat mamanya memeluk papa dari samping seperti menenangkan pria itu.

Merasa diperhatikan, Anne melirik ke depan dan melihat Genta yang tengah memperhatikannya lekat-lekat dengan kedua mata bulatnya.

"Kakak kenapa mukanya merah gitu?" tanya Genta.

Gana yang lebih peka mencoba mengalihkan fokus Genta dengan bertanya PR bahasa inggris mereka. Genta begitu cepat mengalihkan fokusnya dari Anne ke saudara kembarnya. Gana sempat melirik kakaknya sebentar dan mencoba sebisa mungkin mempertahankan perhatian Genta kepadanya.

Tibalah saatnya berangkat sekolah. Anne mundur, tidak ingin duduk di kursi depan mobil.

"Genta, kamu duduk di depan."

"Ah! Nggak mau! Biasanya juga kakak di depan!"

"Udah ... duduk aja di depan, kenapa rewel banget sih!"

Anne mencoba mendorong untuk duduk di samping papanya. Genta tentu menolak. Mumpung papanya belum keluar rumah, Anne juga tidak mau kalah mendorong adiknya untuk masuk ke kursi depan.

"Kak Anne, biar Gana aja duduk di depan," ujar Gana yang telah selesai mengenakan sepatunya kemudian membuka pintu depan dan duduk di sana dengan tenang.

Anne hampir lupa. Selain memiliki malaikat maut, ia juga memiliki malaikat penjaga surga sebagai adiknya. Ia berterima aksih kepada Gana kemudian bergegas masuk ke dalam mobil ketika papanya sudah keluar rumah.

ANNE The Sweet PotatoWhere stories live. Discover now