1 • Tentang mereka

3.5K 369 30
                                    

"Jaga Langit ya, Ibu pasti bakal jemput kalian lagi di sini

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

"Jaga Langit ya, Ibu pasti bakal jemput kalian lagi di sini."

Hanya itu kalimat terakhir dari ibunya yang Angkasa ingat. Anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu menatap satu-persatu anak seumurannya di kamar ini. Apa mereka juga tengah menunggu dijemput seperti dia dan sang adik? Tentu jawabannya tidak. Angkasa dan Langit lebih beruntung dibandingkan anak-anak panti lainnya. Setidaknya ada sosok yang mereka tunggu, meskipun tak kunjung bertemu.

Sudah hampir lima tahun lamanya, sosok itu tak kunjung juga datang ke tempat ini. Tentu Angkasa sedih, apalagi jika Langit rewel dan sibuk menanyakan dimana sosok perempuan bernama Ibu itu.

Kenapa Ibu ninggalin Angkasa sama Langit di sini? Batinnya bertanya entah yang ke berapa kalinya. Saking seringnya menanyakan hal tersebut, Angkasa sampai lupa.

"Bang?"

Suara dari samping tubuhnya berhasil membuyarkan lamunan Angkasa. Ia menatap bocah laki-laki berumur lima tahun yang tak lain adalah adiknya itu seraya tersenyum. "Kenapa?"

"Abang mau Langit pijitin?" tanyanya. Namun, baru saja Angkasa ingin menjawab, Langit justru lebih dulu melancarkan aksinya. Dengan tangan mungilnya ia terus memijat tangan serta kaki Angkasa.

Rasanya memang tidak seberapa, tetapi Angkasa tidak dapat menahan senyum bahagia. Disaat rasa sedih menghampirinya tanpa tahu waktu dan siap tidak dirinya, selalu ada Langit dengan segala hal tak terduga yang membuat rasa sedih itu hilang seketika.

"Kok berhenti?" tanya Angkasa heran melihat sang adik yang sekarang sudah duduk di sampingnya dengan ekspresi wajah tak terbaca.

"Abang tuh ndak capek apa, tiap hali kelja telus. Halusnya Abang nemenin Langit main!" gerutunya dengan tangan yang kembali memijat bagian-bagian tubuh tertentu Angkasa.

Mendengar hal tersebut, Angkasa hanya tersenyum. "Kan habis kerja Abang main sama kamu."

Pergerakan tangan Langit kembali terhenti, ia tampak berpikir dan tak lama kemudian mengangguk membenarkan. "Tapi 'kan ...."

Brak!

Suara pintu yang dibuka paksa berhasil membuat mereka semua yang ada diruangan tersebut bungkam tak bersuara.

Di depan pintu sana, berdiri seorang wanita paruh baya yang umurnya kira-kira sudah kepala tiga. Dengan rambut sebahu yang tampak diberi warna orange, serta make-up yang membuatnya terlihat seperti anak muda. Matanya menatap setiap anak panti di ruangan itu tajam dan tanpa berkedip sama sekali. Bibirnya juga terlihat komat-kamit, mungkin tengah menghitung anak-anak di sana.

"Mana setoran kalian hari ini?!" tanyanya galak setelah memastikan bahwa tidak ada yang kurang dari anak pantinya.

Semua anak-anak, termasuk Angkasa sibuk berbaris lalu memberikan hasil kerja keras mereka hari ini. Kecuali Langit yang hanya diam di tempatnya dan fokus menatap sang abang.

"Hei, anak pelacur! Sudah berapa kali saya katakan, jangan pernah menyembunyikan hasil kerjamu dari saya. Keluarkan semuanya!" ujar Neta, tak berperasaan dan menarik kencang tangan Angkasa agar mendekat padanya. Mau tak mau Angkasa memberikan semua uangnya pada Neta. Padahal ia berencana ingin membelikan Langit mainan, tapi sepertinya keinginannya harus tertunda lagi.

Sebelah tangan Angkasa mengepal kuat, matanya pun sudah berkaca-kaca. Delapan tahun lamanya, ia selalu dipanggil dengan sebutan tersebut. Angkasa tidak masalah, tapi saat mendengar tangisan Langit diujung sana, membuat hatinya merasakan sakit. Tentu Langit mengerti dengan panggilan tersebut, karena sedari ia bisa berbicara dan mengerti dengan apa yang orang-orang katakan, kalimat tersebut pasti selalu terselip di dalamnya.

Dan ya, Neta sendirilah yang memberi tahu apa itu pelacur pada Langit. Tentu anak kecil itu akan mengingatnya terus menerus, bahkan sampai detik ini pun demikian.

"Abang Angkasa bukan anak pelacul!"

Teriakan Langit memenuhi ruangan yang senyap itu. Beberapa anak menjauh dari sana setelah memberikan uang hasil kerjanya.

"Kamu juga anak pelacur, Langit," ejek Neta menatap anak kecil yang menangis histeris diujung ruangan tersebut. Perlahan kakinya melangkah, dengan sebelah tangan menyeret Angkasa agar mengikuti langkahnya.

"Bibi, jangan apa-apain Langit. Angkasa mohon," pinta Angkasa seolah tahu isi pikiran Neta yang memang tengah butuh hiburan atau lebih tepatnya pelampiasan.

"Bibi Neta jahat! Selalu nyuluh-nyuluh Abang sama yang lainnya kelja, halusnya Bibi yang kelja! Bukan mereka?! Bibi juga selalu manggil Abang sama Langit anak pelacul, padahal Abang sama Langit bukan anak pelacul!" teriak Langit lagi yang sepertinya berhasil memancing emosi wanita paruh baya tersebut.

Neta merasa geram dengan anak kecil yang kelewat cerewet ini. Bisa-bisanya dia menceramahi dirinya.

"Ceweret banget," kekehnya seraya mencengkeram kuat pipi Langit.

Tangisan anak berumur lima tahun itu semakin kencang saat Neta tanpa perasaan membenturkan tubuh kecilnya ke dinding. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Bahkan, Neta juga tak segan-segan memijak tangan serta kaki kecil Langit.

Melihat hal tersebut, Angkasa sebisa mungkin menghentikan amukan wanita paruh baya itu pada adiknya.

"Jangan pukul Langit, Bi!"

Meskipun pada akhirnya ia gagal dan berakhir ikut dipukuli sampai tak sadarkan diri.

"I-ibu, j-em-put An-gkasa sa-ma Langit, A-ngkasa mohon ...."

Gimana sama permulaannya? Yuk kawal sampai end❤

Hoppsan! Denna bild följer inte våra riktliner för innehåll. Försök att ta bort den eller ladda upp en annan bild för att fortsätta.

Gimana sama permulaannya?
Yuk kawal sampai end❤

Jangan lupa follow, vote dan komen ya pren. Terima kasih❤

Tertanda,

Secrettaa

Langit Angkasa [SELESAI]Där berättelser lever. Upptäck nu