14 • Sembilan hari

1.1K 168 68
                                    

Ini sudah hari kesembilan Angkasa dikurung, karena harapannya pada malam itu tidak benar-benar terlaksana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ini sudah hari kesembilan Angkasa dikurung, karena harapannya pada malam itu tidak benar-benar terlaksana. Sebab Neta masih betah mengurungnya. Begitu juga dengan luka memar ditubuhnya, perlahan mengering dan hanya menyisakan bekas saja. Dia sudah terbiasa, tapi rasanya kali ini benar-benar sangat jauh berbeda dari biasa.

Dinding yang ternyata terlihat penuh coretan abstrak saat siang hari, serta berbagai macam barang tak layak pakai menjadi teman Angkasa beberapa hari terakhir ini. Begitu juga dengan coretan tangannya sendiri yang berupa tulisan memanjang untuk Angkasa menghitung sudah berapa hari dia di sini.

"Bibi, tolong bukain pintunya," pinta Angkasa yang masih setia di posisi awalnya sejak beberapa jam lalu. Berharap Neta mendengar dan segera membukakan pintu.

Semua tampak sia-sia, karena sekeras apapun Angkasa berusaha dan memohon. Neta tetap tidak mempedulikannya.

Memberikan makanan serta minuman saat Angkasa terlelap saja dan itu pun hanya sekali setiap harinya.

Tubuhnya terasa lengket karena terkurung di sini. Tapi yang pasti Angkasa selalu berdoa pada yang maha kuasa. Mengingat dirinya yang tidak pernah ke mushola dan sekolah lagi, membuat Angkasa sedih. Ia bertekad, tidak akan tidur malam ini. Angkasa akan menunggu Bibi Neta datang memberinya makan.

Walaupun rasa kantuk sudah ia rasa, Angkasa tetap berusaha menahannya. Begitu juga dengan perutnya yang terasa sakit, karena dari sore kemarin belum terisi apa-apa. Semuanya bercampur menjadi satu dan Angkasa tetap berusaha terlihat baik-baik saja.

"Bibi?" Wajah pucat serta bibir yang tampak kering itu seolah tidak pernah lelah memanggil seseorang di luar sana.

Tangannya mencengkeram bagian perut yang terasa amat sakit sekali. "Bibi, Angkasa lapar ...."

Tidak ada juga tanda-tanda Neta datang ke sana dan itu semakin membuat Angkasa kecewa. Ia hanya butuh sedikit makanan dan air, karena sekarang tubuhnya benar-benar tidak bisa diajak bekerja sama.

Beberapa menit berlalu dengan keheningan. Tubuh Angkasa akhirnya ambruk juga, terbaring di lantai penuh debu seraya sesekali meringis kesakitan. Dalam keadaan seperti ini, Angkasa masih berusaha agar tetap sadar.

Dan entah kenapa, wajah ceria sang adik seolah menjadi obat tawar dari rasa sakitnya. Angkasa terus membayangkan senyum dan tawa Langit, setidaknya itu bisa sedikit mengobati rasa rindu yang tiba-tiba datang padanya.

Sembilan hari lamanya dan selama itu juga Angkasa tidak ada melihat adik kecilnya. Ia sangat ingin sekali keluar dari sini, bertemu Langit lalu melakukan kegiatan seperti biasa. Bukan hanya berdiam diri di ruangan menunggu diberi makan, layaknya tahanan.

"Makan!"

Angkasa mengerjapkan matanya saking tidak percaya. Berusaha bangkit dan duduk sesegera mungkin. Namun, rasa sakit di perutnya membuat Angkasa tidak berdaya dan tetap dalam posisi terbaringnya.

Langit Angkasa [SELESAI]Where stories live. Discover now