11 • Bibi Neta

1K 162 16
                                    

Ruangan minim pencahayaan menjadi saksi bisu atas kekerasan yang Angkasa dapatkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ruangan minim pencahayaan menjadi saksi bisu atas kekerasan yang Angkasa dapatkan. Ikat pinggang yang tampak buruk seolah sudah sering digunakan terus melayang ke punggung remaja yang hanya bisa terdiam. Meski sesekali meringis kesakitan.

Kedua tangannya terkepal, bibir kecilnya ia gigit kuat-kuat berharap rasa sakitnya segera menghilang.

Neta tampaknya tidak lelah, wanita paruh baya itu justru terus menghantam tubuh remaja yang sekarang pakaiannya saja sudah tidak karuan.

Baju yang semula rapi dan bagus di tubuhnya sekarang sudah berubah. Bahkan, berganti warna menjadi merah karena terkena noda darah.

"S-sa-kit ...."

"Diam! Kamu udah saya peringati tapi malah ngelunjak, nggak tahu diri. Masih untung kamu dan adik kamu saya bolehkan tinggal di sini."

"Sudah saya bilang, jangan berani nyimpan uang hasil kerja kamu! Apa perlu saya hukum kamu tiap malam, biar jera?!"

"E-enggak, Bi ...." Kepala Angkasa tertunduk saat itu juga, deru nafasnya yang memburu pertanda bahwa bagaimana ia menahan mati-matian rasa sakit di tubuhnya.

Apa hanya karena uang lima puluh ribu rupiah, Bibi Neta semarah ini padanya? Ingin sekali Angkasa menanyakan hal tersebut, tapi mulutnya seolah kelu tidak bisa berucap apa-apa.

Lagipula, bukannya Angkasa berhak atas jerih payahnya? Tetapi kenapa Neta seolah selalu mencari kesalahannya. Angkasa tidak mengerti dengan wanita itu. Apa melihat dia terluka adalah suatu kebahagiaan yang nyata?

Dan semua kembali menjadi tanda tanya, karena Angkasa terlalu lemah untuk sekedar membuka suara.

Helaan nafas berat Neta terdengar jelas diruangan tanpa cahaya. Sembari melayangkan satu pukulan, Neta berucap dengan begitu lugasnya.

"Kamu mau tau, kenapa saya selalu ngehukum kamu meski kamu buat kesalahan kecil?"

Angkasa tidak bersuara, tapi Neta yakin anak itu penasaran dengan jawabannya. Satu pukulan lagi, dan akhirnya Neta berhenti sejenak. Berjongkok di depan tubuh yang sudah sepenuhnya terbaring di dinginnya lantai. Menangkup pipi tirus itu agar menatap padanya.

Ada nyeri di dada, tapi Neta tetap tidak bisa terima. Menolak rasa empati hadir dari jauh-jauh hari. Pun malam ini, Neta lagi-lagi tidak goyah, selalu pada pendirian dan rasa sakitnya.

Bertahun-tahun lamanya, ia menyimpan semuanya. Dan malam ini, sepertinya Neta akan membagi segala lukanya pada Angkasa. Ah, atau memang sedari dulu ia sudah membagi luka pada anak kecil yang tidak tahu apa-apa itu.

"Karena kamu anak dia, anak dari jalang yang udah berani mengambil apa yang saya punya ...."

Masih terekam jelas diingatan Neta, bagaimana dulu ia begitu hancur.

"Aku minta maaf, sepertinya dia hamil ... anakku."

Kalimat itupun masih sangat jelas ia ingat. Awal dari kehancuran dan hilangnya rasa percaya. Mungkin mulai hari itu juga, Neta yang dikenal ceria dan selalu tersenyum dengan tatapan lembutnya telah tiada. Hilang berganti menjadi Neta yang lainnya.

Langit Angkasa [SELESAI]Where stories live. Discover now