2 • Katanya baik

2.5K 318 23
                                    

"Hei, Angkasa bangun

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Hei, Angkasa bangun." Seorang anak laki-laki yang merupakan teman Angkasa di panti terus saja menepuk pipinya berkali-kali. Berharap Angkasa segera sadar dan membuka mata.

Beberapa dari anak panti sudah terlelap damai, mengistirahatkan tubuh mereka dari lelahnya kegiatan hari ini. Hanya Dika-teman Angkasa, yang masih terjaga dan sepertinya ingin memastikan keadaan kedua kakak beradik itu.

Langit yang sudah sadar, tampak menatap sekelilingnya sendu. Ternyata ia masih berada di tempat ini, tetapi dalam keadaan yang lebih baik. Luka-luka serta lebamnya sudah diobati.

"Telima kasih, Bang Dika," ucapnya tulus menatap Dika yang justru terkejut.

"Ada yang sakit? Kamu jangan banyak gerak dulu, nanti Abang obatin lagi." Dika dengan hati-hati memposisikan tubuh Langit agar kembali berbaring di tempatnya dan menutup tubuh kecil penuh lebam itu dengan selimut, agar dinginnya angin malam tak membuat Langit terjaga.

"Sekarang tidur ya," ujar Dika seraya tersenyum dan menatap Langit penuh sayang.

Langit mengangguk paham, tapi belum sampai semenit ia kembali duduk dan menatap Dika kalut. "Abang Angkasa mana?!"

Bahkan, Langit berusaha bangkit dari posisinya, tetapi ditahan oleh Dika yang bergerak cepat.

"Itu Abang Angkasa. Abang Langit udah baik-baik aja kok. Sekarang tidur ya, Langit harus istirahat yang cukup biar badannya nggak sakit lagi. Terus bisa main sama Abang," jelas Dika berusaha membujuk Langit agar segera beristirahat. Tentu ia berbohong, mengatakan Angkasa baik-baik saja bukan sekali dua kali ia lakukan.

Namun, entah yang ke berapa kalinya. Apalagi jika kejadian beberapa jam yang lalu selalu berulang-ulang tanpa tahu waktu. Anak-anak panti di sini memang sudah biasa dengan pukulan dari Neta atau yang sering mereka panggil Bibi Neta tersebut. Tidak ada yang berani membantah atau pun melaporkannya, karena mereka juga sadar.

Jika tidak ada Bibi Neta, mungkin mereka tidak akan hidup sampai sekarang. Meski dididik sangat keras, bahkan kehilangan waktu kecil yang harusnya penuh cerita bahagia.

"Abang Angkasa pasti kesakitan dipukul Bibi ... Langit nakal ya Bang Dika? Halusnya Langit tadi diam aja, Langit--"

"Abang baik-baik aja, Langit," sela Angkasa cepat. Ia tampak sedikit kesusahan saat menghampiri Langit dan Dika.

Angkasa memang sudah sadar dari beberapa menit yang lalu, ia juga mendengar perkataan Dika saat berusaha menenangkan adik kecilnya.

"Kenapa nggak manggil aku, Sa?" tanya Dika seraya membantu Angkasa.

Laki-laki itu menggeleng pelan. "Aku sama adikku selalu ngerepotin kamu ya, Dik. Maaf dan terima kasih banyak," bisik Angkasa pelan yang hanya didengar oleh Dika.

"Santai aja," kekeh Dika seolah sudah biasa. Karena memang begitulah faktanya.

"Maafin Langit ya, Bang," ucap Langit tiba-tiba saat Angkasa dan Dika baru saja duduk. Wajah imut dengan bola mata yang besar itu tampak berkaca-kaca. Seperti ada rasa bersalah di sana.

Angkasa langsung memeluk tubuh kecil adiknya. Tak peduli seberapa sering mereka mendapat hukuman, jika Langit baik-baik saja. Maka Angkasa akan sedikit lega. Baginya tidak ada yang lebih berharga sekarang, dibanding Langit yang harus ia jaga. Meski hari ini, dia kembali gagal.

Namun, Angkasa tidak pernah menyerah untuk membuat Langit selalu bahagia.

"Jangan diulangi lagi ya," ucap Angkasa pada akhirnya seraya melepaskan pelukan.

Langit mengangguk lesu, dan Angkasa tahu apa yang tengah adiknya itu pikirkan.

"Nggak pa-pa Bibi manggil kita dengan sebutan itu. Langit percaya 'kan sama Abang, kalo kita bukan anak dari seorang pelacur? Ibu kita itu baik, nggak kayak yang Bibi Neta bilang. Langit percaya 'kan?"

Ragu-ragu Langit kembali mengangguk. "Kalo Ibu baik, telus kapan jemput dan bawa pelgi kita dali sini, Bang?"

Tangan Angkasa yang semula sibuk mengusap lebam ditubuh Langit, terhenti saat itu juga. Jujur saja, dia tidak tahu pertanyaan itu akan terjawab kapan pastinya. Karena yang selama ini ia lakukan hanya menunggu dan percaya. Percaya bahwa ibunya benar-benar sosok baik yang suatu saat akan datang menjemput dia dan sang adik.

Melihat keterdiaman Angkasa, Dika yang sedari tadi hanya memperhatikan tanpa mau ikut campur langsung membuka suara. "Udah tengah malam, besok Bang Dika sama Bang Angkasa mau sekolah dan kerja. Jadi, ayo kita tidur!"

"Oh iya, yuk kita tidul!" seru Langit dengan wajah cerianya.

Angkasa tersenyum paksa, menyadari Langit yang selalu saja seolah lupa dengan pertanyaan tanpa jawaban darinya. Padahal Angkasa yakin, jika adiknya yang baru berumur lima tahun itu sangat penasaran dengan jawabannya.

"Lupain aja ya, Bang. Sekalang kita tidul," bisik Langit lalu mencium pipi Angkasa.

"Udah Sa, lupain," tambah Dika dibalas anggukan oleh Angkasa.

"Abang tidul sama Langit ya, Langit mau peluk Abang," ujar Langit menahan tangan Angkasa dan Dika yang padahal sudah bersiap beranjak dari sana.

Tentu saja Angkasa dan Dika tak dapat menolaknya. Ketiganya mengambil posisi untuk beristirahat. Tempat tidur yang harusnya ditempati satu orang itu, malah berisi tiga orang dengan si kecil Langit berada di tengah-tengah.

"Abang Dika jangan ngolok ya," celetuk Langit dengan mata yang terlihat sangat mengantuk.

"Dih, enak aja. Abang nggak pernah ngorok tau!" kesal Dika.

Saat itu juga, mata Langit yang awalnya hampir terpejam, kembali menyala segar. "Abang mana tau, ngolok apa ndak! Olang tidul itu mana sadal, ya 'kan, Bang?"

Angkasa terkekeh, sebelah tangannya menepuk pantat sang adik pelan agar Langit segera terlelap. "Iya, sekarang kamu tidur ya."

Beberapa menit berlalu, tidak ada suara lagi terdengar selain dengkuran dari Dika.

"Tuh 'kan, Bang Dika ngolok," cicit Langit semakin mendekatkan tubuhnya pada sang Abang.

"Ssh ...."

"Abang napa?" Langit mendongakkan kepalanya, menatap Angkasa yang tersenyum.

"Enggak. Langit tidur ya."

"Selamat malam Abang Angkasa," ucapnya seraya mengeratkan pelukan pada Angkasa.

"Selamat malam juga, Langit." Angkasa berusaha menahan sakit di tubuhnya ketika Langit kelewat erat memeluk dirinya. Sebisa mungkin ia tidak bersuara saat melihat Langit sudah terlelap.

Berusaha menutup matanya meski sakit di tubuhnya semakin terasa. Begitulah Angkasa, selalu berusaha baik-baik saja di tengah kondisi dirinya yang padahal jauh dari kata baik.

 Begitulah Angkasa, selalu berusaha baik-baik saja di tengah kondisi dirinya yang padahal jauh dari kata baik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jangan lupa vote dan komen ya, biar tambah semangat ngetiknya^^

See you next part!

Tertanda,

Secrettaa

Langit Angkasa [SELESAI]Where stories live. Discover now