4 • Tidak asing

1.6K 239 28
                                    

Neta tak dapat menyangkal bahwa ia terkejut dengan ucapan anak berumur empat belas tahun itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Neta tak dapat menyangkal bahwa ia terkejut dengan ucapan anak berumur empat belas tahun itu. Namun, sebisa mungkin Neta kembali menormalkan mimik wajahnya.

"Suka-suka saya. Pulang sekolah nanti kamu langsung kerja, cari uang yang banyak. Awas aja kalo balik nggak bawa uang!" ketusnya sebelum menjauh dari Angkasa yang masih diam di posisi membaca bukunya.

Remaja empat belas tahun tersebut, tampak menghela napas berat. Buku yang awalnya ia pegang dengan erat. Entah sejak kapan sudah tidak berada digenggamannya lagi.

Rasanya Angkasa ingin menangis, mengadu pada ibunya bahwa setelah kepergiannya. Ia tidak lagi bisa tersenyum ceria. Jika bisa, Angkasa ingin jujur pada Neta. Bahwa ia tak tahan dan selalu kesusahan dalam menghasilkan pendapatan, lebih tepatnya uang.

"Katanya ibu bakal jemput Angkasa sama Langit, tapi kapan? Angkasa capek, Bu."

Angkasa mendongak, menghalau air mata yang entah sejak kapan menggenang dipelupuk mata.

"Abang ...."

Spontan Angkasa langsung menoleh, dan tanpa sengaja air matanya ikut turun. Namun, cepat-cepat ia hapus, sebelum Langit melihatnya.

Anak kecil berusia lima tahun dengan lesung pipi itu berjalan menghampiri sang abang. Wajah bangun tidurnya, tampak menggemaskan di mata Angkasa.

"Abang ke mana sih, Langit kila Abang ninggalin Langit di sini sendilian," celetuknya setelah berada di pangkuan Angkasa.

Tangan mungilnya dengan enteng memeluk erat tubuh Angkasa. Seolah takut jika Angkasa akan pergi.

"Abang ke mushola, terus sekarang siap-siap mau sekolah," tutur Angkasa membalas pelukan Langit tak kalah erat. Bahkan, ia juga mencium pipi itu beberapa kali sampai sang empunya mendengkus kesal.

"Langit belum cuci muka, Abang. Masih bau ilel!" ujarnya berusaha menjauhkan wajah sang abang yang masih saja mencoba mencium pipi bulatnya.

"Oh pantesan bau," kekeh Angkasa menarik hidung Langit yang lagi-lagi tidak dapat menahan kekesalannya.

"Langit ndak bau ih! Cuma ada ilel sedikit aja kok, ndak banyak. Dikit doang. Ini, nih di sini." Langit menunjuk bagian lengan bajunya dan menyuruh Angkasa untuk menciumnya.

"Bau 'kan, Bang?" tanya Langit polos.

Tawa Angkasa seketika langsung pecah, Langit selalu bisa membuat tawanya tercipta. Meski di pagi buta yang bahkan tanpa sirna cahaya.

Langit ikut tertawa, tapi tak lama. Anak kecil itu dengan setia menunggu tawa Angkasa reda. Dan saat itu tiba, Langit langsung menampilkan wajah imutnya.

"Abang Angkasa, temenin Langit mandi ya," pintanya.

Angkasa mengangguk, dan menggendong tubuh kecil itu menuju kamar mandi yang besarnya tidak seberapa. Ia tidak bisa menolak setiap permintaan yang keluar dari mulut kecil Langit. Karena bagi Angkasa, Langit adalah dunianya dan segalanya dalam hidupnya setelah sang ibu yang sekarang keberadaannya entah di mana.

Langit Angkasa [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang