8 • Langit

1.2K 201 16
                                    

"Abang napa diem telus dali tadi, Abang mikilin apa?" tanya Langit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Abang napa diem telus dali tadi, Abang mikilin apa?" tanya Langit.

Keduanya sedang menuju tempat agen tisu yang sehabis sekolah tadi juga mereka datangi.

"Nggak ada kok, Langit beneran nggak mau Abang kendong lagi? Nggak capek?" Angkasa balik bertanya, agar Langit tidak terlalu curiga bahwa hatinya sedang gundah gulana. Memikirkan sang ibu yang padahal sudah di depan mata, tetapi entah kenapa seolah tidak mengenali dirinya. Atau benar-benar sudah lupa.

Langit kecil menggeleng pelan. Tangan mungilnya yang digenggam oleh sang abang ia goyangkan sesekali. "Langit masih kuat jalan kok, Abang tenang aja."

Angkasa dan Langit memutuskan diam. Menikmati suasana jalan ramai dengan perasaan tak karuan. Salah satunya tampak melamun, dan satunya lagi memasang wajah binar senang.

"Abang, kenapa ya Langit ingat muka ibunya Kak Jingga telus?"

Pertanyaan Langit sukses membuat Angkasa sadar dan tersenyum getir.

Karena dia, ibu kita juga Langit. Batin
Angkasa yang lagi-lagi tidak mampu ia suarakan.

"Mungkin karena Langit lagi rindu ibu, ya?"

Entah kenapa justru kalimat pertanyaan itu yang terlontar dari mulutnya tanpa sadar.

Spontan Langit mengangguk antusias, membuat Angkasa yang semula berjalan santai, memutuskan untuk menghentikan langkahnya.

"Langit ndak pelnah liat Ibu gimana, tapi Langit linduuuuu banget sama Ibu. Kapan ya, Langit sama Abang dijemput Ibu, telus bisa main sama Ibu. Disuapin Ibu, lakuin banyak hal. Pasti selu ya 'kan, Bang?" cerocos Langit terdengar begitu antusias.

"Iya, seru banget. Langit sabar aja ya, Ibu pasti jemput kita kok," balasnya sesantai mungkin. Lalu mengajak Langit kembali melanjutkan perjalanan mereka.

Sebuah kalimat yang nyatanya juga masih ragu untuk Angkasa percaya. Tapi membuat Langit bahagia, kini adalah tanggung jawabnya. Begitulah pikirnya. Sebenarnya ia ragu, tentu saja. Sudah jelas di depan mata, tapi yang ia dapatkan justru keasingan dan rasa aneh kentara.

Mungkin bagi Langit itu adalah kalimat penenang yang berhasil membuat sedikit kerinduannya terbalaskan. Namun, beda halnya dengan Angkasa yang justru sangat ragu apa setiap kalimatnya yang keluar benar-benar kejadian, atau justru hanya tetap menjadi kalimat tak berarti tanpa ada bukti. Ya seperti, hanya kata-kata penenang sementara untuk Langit yang memang belum mengerti apa-apa perihal orang tua.

Dia yang bodoh, atau memang Langit yang terlalu menaruh rasa percaya padanya. Keduanya sama-sama masih abu-abu, tak jelas bagaimana akhirnya.

Kalau pun Ibu benar-benar lupa sama Langit Angkasa. Aku nggak bisa berbuat apa-apa, selain memaksa menerima ....

• • •

"Langit, Angkasa!"

Teriakan dari suara yang sangat mereka kenali, berhasil membuat sang pemilik nama menghentikan langkahnya. Bahkan, keduanya kompak menoleh ke belakang, menatap Dika yang tengah berlari.

Langit Angkasa [SELESAI]Where stories live. Discover now