5 • Sebuah nasehat

1.4K 232 16
                                    

"Abang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Abang ... Bang Angkasa napa?" celetuk Langit membuyarkan lamunan Angkasa serta bertepatan dengan bunyinya bel masuk sekolah.

Tanpa menjawab pertanyaan sang adik, Angkasa langsung mengajak Langit segera berjalan menuju kelas. Sebelah tangannya yang bebas menggusap kasar air bening yang tiba-tiba turun itu.

Sakit, sesak dan nyeri, semua ia rasakan dalam satu waktu. Apa ini akhir dari penantian ia selama hampir delapan tahun ini?

Apa ini balasan dari setiap luka yang terus saja mendera tubuh ringkihnya?

Ia kira yang datang adalah kebahagiaan, nyatanya luka tak kasat mata lagi-lagi menyapa diri lemahnya yang selalu tertutupi topeng baja bernamakan baik-baik saja.

Angkasa sepertinya ingin lenyap saat itu juga. Menyadari kehadirannya ternyata sudah jauh hari dilupa. Ternyata ia tidak lagi berarti bagi sosok wanita yang selalu ia tunggu kehadirannya.

Angkasa bingung, harus bagaimana lagi ia bertahan. Harus seberapa lama lagi ia tersiksa. Kenapa takdir begitu kejam padanya, mempermainkan dirinya seolah hidupnya adalah sebuah game yang telah usang. Tak layak lagi untuk dimainkan dan harus dibuang.

"Angkasa, kenapa masih di luar?"

Angkasa mendongak, menyadari dirinya masih berada di luar kelas dengan sang adik yang terlihat sibuk mengedarkan pandangan pada sekitar. Menatap anak-anak berseragam merah putih itu dengan penuh binar.

"Abang Angkasa lagi melamun Bu, jangan diganggu," bisik Langit yang nyatanya justru Angkasa dengar.

"Oh, hai Langit. Sudah lama kita tidak ketemu, apa kabar?" tanya guru itu yang memang sudah mengenal sosok adik dari Angkasa.

Langit tersenyum lebar, memperlihatkan lesung pipi serta gigi kecilnya. "Baik, Bu! Ibu Ala apa kabal?"

"Alhamdulillah, ibu baik juga kok."

"Angkasa izin bawa Langit lagi ya, Bu," celetuk Angkasa dan untungnya selalu dibalas anggukan setuju dari guru muda tersebut.

Memang bukan rahasia umum lagi, jika guru yang bernama Ara tersebut memperbolehkan setiap anak panti untuk datang ke sekolah kapan saja.

"Pak Ari nggak bakal marah kok," tambahnya seraya tersenyum. Pak Ari yang dimaksud adalah kembarannya yang juga merupakan kepala sekolah di sini.

"Yeay, Ibu kembal baik deh. Langit sama Abang mau masuk ke kelas dulu ya, Bu gulu. Dadah!" Langit melambaikan tangannya, lalu menarik sang abang agar segera menjauh dari sana.

Setelah masuk ke dalam kelas yang ternyata sudah cukup ramai, Angkasa dan Langit langsung mengambil duduk di bagian nomor dua dekat jendela. Tempat biasa Angkasa duduk yang jika tidak ada Langit, maka hanya Angkasa saja yang duduk di sana sendirian.

"Jingga, ndak mau Bu!" teriakan itu lagi-lagi berhasil mengalihkan perhatian Angkasa.

Tatapan remaja berusia empat belas tahun itu, hanya terfokus pada sosok wanita paruh baya serta anak perempuan berbandana yang lagi-lagi merengek mengatakan tidak mau.

Langit Angkasa [SELESAI]Where stories live. Discover now