Chapter 2

1.3K 153 13
                                    

Krist hanya bisa menghela napas kesal. Entah karena apa ia baru sadar jika kunci rumahnya ketinggalan lagi. Seperti malam sebelumnya, dia kembali ke kantor pada jam yang sama. Dengan langkah cepat, Krist mengambil kunci rumahnya setelah tiba di lantai tujuan. Saat sudah mengantongi kunci, telinganya mendengar suara aneh. Kali ini bukan suara desahan, melainkan...

"Eh, copot-copot." Krist latah ketika pundaknya ditepuk cukup keras.

"Ampun, mas Kun, ampun. suwer nggak akan ke kantor lagi besok. Ini kunci saya bandel pake acara ketinggalan segala," ucap Krist dengan mata tertutup tanpa mau menoleh ke belakang. "Saya baru tau kalo kamu hobby banget ninggalin barang di kantor," ucap Singto.

Kebetulan dia baru akan pulang setelah mengerjakan beberapa pekerjaan yang menumpuk. Saat keluar ruangan, dia melihat Krist mengendap-ngendap kayak maling.

"Kok setannya bisa jawab gue sih? Sumpah, jaman udah makin horor. Ya, Tuhan, lindungi hambamu dari iblis terkutuk..."

"Apa menurut kamu wujud saya kayak iblis? Makanya nengok dulu."

Krist tidak berani menoleh ke belakang meskipun hati kecilnya menyuruh dia melihat asal suara tersebut.

"Nggak mau. Saya tau kamu penunggu di sini. Saya mau pulang aja biar bisa mimpi dipeluk pangeran." Satu kaki Krist mulai maju ke depan, namun tubuhnya tertahan karena tangan asing itu memutar tubuhnya. Akibat sentuhan ini, Krist mendadak bersimpuh. Dia menutup kepalanya dengan kedua tangan.

"Maaf, mas Kun. Maafin saya ganggu. Sumpah saya nggak akan dateng lagi besok malem. Saya kapok. Beneran. Tapi jangan ganggu saya. Plis..." Singto menggeleng.

"Reaksi kamu berlebihan banget. Ini saya bos kamu, bukan kuntilanak atau setan terkutuk." Mendengar kalimat itu, buru-buru Krist membuka kelopak matanya. Mulutnya menganga ketika menyadari sosok di depannya memang bosnya, bukan hantu yang dia kira.

Secepat kilat, Krist berdiri dan menundukkan kepala berulang kali. "Maaf, Pak. Saya pikir."

"Iya tau, kamu pikir saya setan. Mana ada setan ganteng kayak saya," potong Singto.

Krist membenarkan kalimat narsis yang satu itu. Siapa yang menyangkal kalau wajah Singto Prachaya Ruangroj gantengnya keterlaluan, bahkan nyamuk aja nggak akan berani nempel saking mindernya.

"Bapak belum pulang pasti lagi itu ya?" Krist menebak sebelum mengatup mulut sialan yang asal ceplos. "Jangan dijawab, Pak. Anggap aja pertanyaan tadi keluar dari setan kepo dalam diri saya."

"Kalo saya lagi nonton kenapa? Kamu mau nemenin saya nonton?"

"Nggak, Pak. Saya nonton sinetron aja. Kalo gitu saya pulang. Permisi, Pak. Silahkan dilanjutkan kegiatannya." Krist mengacungkan ibu jarinya lalu berbalik badan. Belum sempat melangkah, dia mendengar Singto bertanya. "Rumah kamu di mana? Saya anterin pulang."

Krist berbalik badan lagi, cengengesan tanpa dosa sambil berkata, "Eh, nggak usah, Pak. Nggak usah sekali maksudnya." Kalimat terakhirnya dia pelankan sehingga terdengar samar-samar. "Saya cuma basa-basi sih. Sana pulang. Hati-hati ya," kata SIngto dengan nada datarnya. Krist mengumpat kasar dalam hati. Dasar, manusia datar! Selain nada bicaranya yang tak bernada, wajahnya selalu tanpa ekspresi. Makanya Krist tidak heran kalau Singto dipanggil Singtar alias SIngto Datar.

"Ya udah kalo gitu-aaaakkkhh!!" Krist melompak memeluk Singto saat melihat kecoa merangkak ke arah kakinya. Singto yang terkesiap segera melihat ke bawah, mendapati kecoa kabur setelah mendengar teriakan Krist.

"Kecoanya udah kabur. Teriakan kamu lebih nakutin daripada suara ketawanya kuntilanak."

"Bohong."

The Devil's Secrets [Tamat]Where stories live. Discover now