Chapter 12

690 93 10
                                    

Suara derap kaki terdengar tidak santai, puncak kepala terlihat mengepulkan asap, dan sorot tajam menunjukkan tanda peperangan. Itulah yang menggambarkan sosok Singto sekarang.

Tangan kokohnya tidak memberi jeda ketika menggedor pintu berulang kali-mengabaikan bel yang masih berfungsi dengan baik.

"OFF! BUKA PINTU!" Kesabarannya tidak bisa mentolerir apa pun soal Off, ataupun alasan-alasan sialannya.

"OFF BUKA SEKARANG ATAU GUE DOBRAK PINTU LO!"

Teriakan barbarnya berbuah hasil. Pintu terbuka, menampilkan Off menatap santai seolah tidak menyembunyikan siapa-siapa, yang memang bukan menyembunyikan, tapi membawa pacar sepupunya tanpa izin. Singto kalap, marah, semuanya.

Tidak memerlukan waktu lama untuk Singto melancarkan tinju kerasnya ke wajah Off. Alhasil, Off jatuh tersungkur.

"Kalo lo nggak tau rumah Krist, lo anter dia ke rumah gue! Ngapain lo bawa dia ke sini? Brengsek!" makinya kasar, yang kemudian segera menerobos masuk lebih dalam demi mencari pacarnya, meninggalkan Off mengerang sakit.
Dari pandangan lurusnya Singto melihat Krist tidur atas sofa dengan ditutupi selimut. Langkah cepatnya berhenti setelah mendengar pertanyaan yang berhasil menambah tingkat emosinya.

"Kenapa? Lo takut Krist tiba-tiba berpaling dan jatuh cinta sama gue kayak Namtan?"
Singto lantas berbalik badan, dan tersenyum miring.

"Lo yakin Namtan berpaling dari gue? Seperti yang lo tau, dia masih cinta sama gue walau udah nikah sama lo. Dan gue yakin tindakan lo bawa Krist ke rumah ada maksud tersendiri. Jadi apa pun rencana busuk lo, jangan pernah deketin Krist atau lo tau sendiri akibatnya."

Suara tangis yang berasal dari lantai dua, lebih tepatnya di kamar putra bungsu Off, memecah atmosfir panas di antara dua lelaki yang saling berhadapan. Setidak-tidaknya berhasil membangunkan Krist.

Krist sempat bingung akan keberadaannya, namun segera mengerti setelah melihat Off mengenakan pakaian santai rumahan. Selagi Mix, anak bungsunya Off menuruni tangga, Singto menarik tangan Krist dengan cepat.

"Pak, tangan saya sakit. Jangan terlalu keras dicengkramnya." Protes Krist diabaikan begitu saja, bahkan sapaan Mix pada Singto ikut diabaikan lelaki itu. Jika sudah begini, Krist hanya bisa memandangi punggung Singto yang memancarkan aura tidak bersahabat.

Sepanjang perjalanan pulang hanya ada kesunyian. Krist melirik Singto sekilas, memastikan wajah lelaki itu sudah enak dilihat. Sialnya, tidak ada tanda-tanda Singto mengubah ekspresi marahnya, yang ada hanya kilat mata tajam seakan ingin membunuh orang.

"Pak, saya bisa..."

"Diem. Saya nggak mau dengar apa-apa."

"Tapi saya belum..."

"Kalo saya bilang diem ya diem," tegas Singto.

Krist melarikan pandangannya menuju jalanan, membiarkan Singto mengemudikan mobil dengan emosi yang meluap-luap. Kantuknya langsung hilang, dan matanya segar mendengar ucapan Singto barusan. Baru sekali ini dia melihat Singto marah, dan tentu ini bukanlah sisi terbaik yang pernah Krist lihat.

.

.

Semalaman Singto tidak bicara apa-apa. Turun dari mobil, masuk ke kamar, dan sunyi. Tadi pagi juga begitu. Wujudnya sudah menghilang entah dari jam berapa karena Krist pergi ke kantor naik angkutan umum, tidak seperti kemarin yang berangkat bareng Singto.

Kepala Krist terus bekerja mencari cara supaya Singto bersedia bicara dengannya. Belum tahu apa yang harus dia lakukan, telinganya mendengar pergunjingan para karyawan yang membahas mengenai sikap mengerikan Singto.

The Devil's Secrets [Tamat]Onde histórias criam vida. Descubra agora