Chapter 4

1.2K 121 11
                                    

Malam hari yang dipenuhi lalet eh, dipenuhi bintang maksudnya. Krist pergi main ice skating dengan gebetan sekelas Singto. Tidak disangka Singto menunggu di parkiran setelah pulang kerja. Kunci rumah yang suka ketinggalan di atas meja kerja, kini aman bersama Krist.

Dipandangnya wajah ganteng dengan berbagai kesempurnaan seperti hidung mancung, mata yang indah dan senyum hangat bagai laksana matahari terbit yang menyinari dunia. Krist tidak berkedip memandangi Singto yang sibuk memakaikan sepatu luncurnya.

Selain wajah, perhatian Singto meruntuhkan sikap malu-malu kucingnya. Singto membantunya memakai jaket super tebal agar dirinya tidak kedinginan. Urusan sarung tangan, Krist memilih pakai sendiri sebelum dibilang anak manja oleh segerombolan perempuan di belakangnya yang bergosip ria mengagung-agungkan sosok Singto.

"Pak, saya nggak pernah main ice skating. Kalo ke mall ini cuma ngelihatin orang main tapi nggak berani nyoba." Krist sudah bangun dari tempatnya, tapi masih tak berani turun merasakan dinginnya lantai es.

"Bapak main sendiri aja deh, kalo di kamar baru saya temenin. Eh, maksudnya kalo main sepak bola gitu saya temenin."

Singto mengandeng tangan Krist, menariknya pelan sampai lelaki manis itu turun ke lantai es. Krist mencengkram tangannya sekeras memegang pegangan wahana roller coaster.

"Ada saya, nggak perlu takut. Kalo kamu jatuh ya bangun sendiri."

"Ya kalo saya jatuh, saya guling-guling sekalian biar digendong Bapak," sahut Krist, masih memegang lengan Singto. Sedetik kemudian, Krist memekik kaget.

"Pak, eh, Pak! Kok ditinggal sih?? Eh, saya nggak bisa. Saya nangis nih!" Singto melepas tangan Krist, menjauh sedikit dan meninggalkan Krist mematung dengan wajah panik. Krist sigap berpegangan pada pegangan yang ada di pinggir rink skating.

"Aduh, Pak. Ini nggak lucu. Saya nangis beneran nih! Kakinya nggak bisa gerak. Saya takut jatuh."

Krist merengek dengan wajah memohon. Krist menggigit bibir bawahnya karena sebal. Merasa tidak tega, Singto kembali mendekati Krist, menggenggam tangannya perlahan dan membiarkan lelaki manis itu meremas tangannya. Sambil Krist berpegangan padanya, dia menarik dan mengajari Krist cara bermain ice skating. Krist memang tidak sepintar pengunjung lain, karena berulang kali diajarkan tetap tidak bisa, namun Singto menikmati hal-hal seperti ini.

"Pak, ini sengaja ya ngajak ke sini biar kita banyak skinship?" Singto tertawa kecil.

"Kalo mau banyak skinship, saya ajak kamu ke kamar aja. Lebih banyak, dan lebih enak." Krist menggeleng.

"Hadeh... Bapak mesum banget. Kalah itu bintang porno. Dengernya kan geli-geli gimanaaaaa gitu," ucap Krist.

"Geli-geli sayang kan?"

"Astagaaa, pede banget sih, Pak. Malah yang ada jangan-jangan Bapak udah sayang sama saya? Ngaku deh, ayo ngaku, iya kan?" Krist melempar kedip-kedip menggoda pada Singto.

"Kalo saya jawab, dapat hadiah apa dari kamu?"

"Dapat jatah dari saya. Eh, jatah dimasakin maksudnya."

Singto pusing setiap kali Krist mengatakan kalimat-kalimat ambigu dan sahutan asal-asalan, membuat pikirannya langsung melebar ke mana-mana. Sejak kejadian semalam pikirannya tidak pernah sejernih mata air. Satu kata yang mewakili dia sekarang, gila. Dia sudah gila karena lelaki manis dengan kulit seputih salju dan bibir semerah darah, bernama Krist. Satu-satunya orang yang berhasil meruntuhkan pertahanannya.

"Oke, saya tunggu jatah yang kamu bilang. Jawabannya saya kasih tau setelah kamu kasih saya."

"Eh?? Saya bercanda, Pak. Jangan dianggap serius terus dong, Pak. Nanti kalo diseriusin beneran gimana?"

The Devil's Secrets [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang