27. Be Brave

10.8K 1.1K 32
                                    

Semua tampak gelap. Tidak ada yang bisa Kiara lakukan. Ia bahkan tidak merasakan apa-apa ketika ada yang menyentuhnya.

Kiara seolah terkunci dalam ruang gelap di dalam tubuhnya sendiri. Namun wanita itu masih bersyukur, ia bisa mendengar suara semua orang di dekatnya.

Ia bisa mendengar bagaimana Saka begitu khawatir. Juga akhirnya tahu cerita sebenarnya dari apa yang terjadi pada hubungan mereka belakangan ini.

Sempat Kiara merasa bodoh karena telah berpikir untuk meninggalkan Saka tanpa mencari kebenaran lebih dulu.

"Mama, Javas udah bisa gambar apel."

Suara Javas yang menggemaskan, menghangatkan perasaan Kiara.

Sebetulnya wanita itu ingin sekali melontarkan pujian dan memeluk erat putra yang amat ia sayangi itu. Tapi keadaan membuatnya hanya bisa membisu. Membiarkan anak lelaki umur lima tahun itu melanjutkan aktivitasnya.

Tidak lama, suara pintu terbuka menyapa pendengaran Kiara.

"Javas, nanti ikut pulang sama pakde Purnama ya?" Itu suara Saka.

"Javas maunya sama mama sama papa." Anak itu menolak.

Sependengaran Kiara, Purnama memang sedang mengantar bunda melakukan kemoterapi. Javas dibawanya untuk bertemu dengan Kiara.

"Tapi kan mama lagi sakit," bujuk Saka.

"Nggak mau." Anak itu tetap pada kemauannya.

Saka menghela napas. Entah apa yang lelaki itu lakukan. Kiara tidak bisa melihatnya.

"Oke. Tapi jangan rewel kalau nggak bisa baca dongeng. Terus tempat tidur nya juga keras."

"Iya janji," ucap Javas dengan riang.

Sejujurnya, Kiara senang ada Javas. Ia terlalu merindukan anaknya dan ini kesempatan bagus untuk mereka bisa berkumpul sebagai keluarga utuh.

"Papa beliin buku gambar lagi kalau begitu, supaya jagoan papa nggak rewel."

Suara gelak tawa Javas saat ini terdengar. Kiara bisa menebak, pasti Saka menggelitiki perut Javas.

Kemudian suara tawa mereda. Saka tampaknya sudah pergi. Kali ini suara gesekan kertas dan pensil yang terdengar.

Pasti Javas sedang melanjutkan kegiatan menggambarnya.

"Ma, kemarin Javas ikut ke TK Mas Tara. Terus kita belajar nyanyi. Mau dengerin nggak?"

Kali ini suara kursi bergeser.

"Dengerin ya," ucap Javas. Suaranya lebih dekat. Seolah tepat di telinga Kiara.

"Satu satu, aku sayang mama. Dua dua, juga sayang papa. Tiga tiga..." anak itu tidak melanjutkan nyanyiannya.

"Javas bingung nggak bisa ubah liriknya. Soalnya Javas nggak punya adik sama kakak."

Anak itu pasti sedang berpikir untuk merangkai lirik baru dalam lagu tersebut.

Javas memang begitu. Suka sekali mengubah lirik agar sesuai dengan dirinya.

"Tiga tiga, sayang sama tante... Satu dua tiga, sayang semuanya!"

Nyanyian itu berakhir dengan tepuk tangan meriah Javas.

Kali ini, Kiara merasakan sentuhan tangan sang putra mengenai telunjuknya.

"Mama kapan sembuh? Javas kangen dibacain dongeng sama mama."

Siapa pun yang melihat hal ini pasti akan sedih. Seorang anak yang masih kecil, harus melihat ibunya berbaring tak berdaya.

Tanpa bisa dicegah, air mata keluar begitu saja dari mata Kiara yang tertutup rapat. Wanita itu menangis haru. Dalam dirinya meronta. Ingin sekali bisa bergerak dan memeluk Javas seperti dulu.

Different (Complete ✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang