Kiara & Saka: Bagian 1

2.3K 83 5
                                    


Bagian 1: Persahabatan


Bunda selalu bilang kalau setiap yang terjadi dalam hidup ini tidak ada yang namanya kebetulan. Semua yang terjadi sudah ditentukan Tuhan. Itulah yang disebut takdir. Kiara pun selalu mengingat hal itu. Makanya, ketika ia mendapati anak lelaki seusianya sedang menangis sesenggukan, Kiara menganggapnya sebagai takdir.

Gadis sebelas tahun itu juga mengingat perkataan bapak, bahwa setiap manusia lahir punya peranan dalam kehidupan. Baik itu kehidupannya sendiri atau dalam bersosialisasi. Sebagai manusia, kita harus bisa menentukan pilihan peran tersebut. Mau jadi orang baik atau jahat.

Di sini, Kiara tentu saja ingin menjadi baik. Gadis itu juga maunya bisa berguna untuk orang lain. Karena itu, ia mendekati anak lelaki tersebut. Matanya yang berbinar menatap lama ke arah anak tersebut.

"Kamu kenapa nangis?" Pertanyaan meluncur dari bibir mungilnya.

Anak lelaki yang tampak seumuran dengan Kiara itu menatap balik. Matanya sembab, merah, dan berair. Hidung mancung anak itu juga sama merahnya.

Hanya dari melihat ekspresi itu, Kiara bisa tahu jika anak di hadapannya itu sedang sangat bersedih. Entah karena apa, tapi ia tidak berani bertanya lebih jauh.

Sekali lagi, Kiara ingat perkataan kakak perempuannya tentang batasan. Kita, harus tahu batasan apa yang boleh ditanyakan pada orang. Tentu saja, kecuali orang itu sendiri yang mau memberitahukannya.

Jadi, gadis kecil itu tidak memaksa si anak lelaki menjawab pertanyaannya. Ia diam saja, malah duduk di ayunan sebelah yang kosong. Sementara ayunan satunya diduduki anak lelaki tersebut.

Keduanya terjebak dalam keheningan. Hanya suara hembusan angin yang menggerakkan daun-daun pohon di taman menemani mereka. Decit dari besi tua agak karatan di ayunan juga semakin tajam terdengar ketika Kiara menggerakkan ayunannya.

Taman kecil di sebuah komplek perumahan ini cukup sepi di siang hari. Namun, Kiara suka suasananya. Ia seolah bisa menguasai seluruh oksigen yang keluar dari pohon-pohon rindang di sekitarnya.

"Kamu..." anak lelaki itu buka suara. Kali ini, Kiara menghentikan gerakan ayunannya.

"Kamu pernah sedih karena ditinggalkan orang-orang yang kamu sayang?" Anak lelaki itu melanjutkan.

Tentu saja Kiara tidak pernah merasa sedih ditinggal orang-orang terkasih. Gadis itu punya banyak sekali orang yang menyayanginya. Mereka selalu ada di sisi gadis itu dalam keadaan apapun. Apalagi belakangan ini, Kiara merasa punya lebih banyak orang yang menyayanginya.

"Nggak pernah. Memang sedih banget?" Gadis itu menatap anak lelaki di sampingnya.

"Banget. Aku jadi nggak bisa main lagi sama Javas. Aku juga nggak bisa makan kue buatan bunda." Mata anak itu kembali berkaca-kaca.

"Memang kemana mereka?"

"Ke Belanda."

"Kok kamu nggak ikut?"

"Aku harus tinggal sama ayah."

"Ayah kamu kenapa nggak ikut sekalian?"

Kepala anak asing itu menggeleng. "Bunda sama ayah udah berpisah."

"Berpisah?"

Sebagai anak yang punya keluarga utuh, Kiara tidak bisa mengerti berpisah itu maksudnya apa. Mungkin nanti ia akan tanyakan pada bapak atau bundanya.

Anak lelaki di sebelahnya tiba-tiba kembali menangis. Kiara sempat terkejut sebentar, tapi kemudian, ia turun dari ayunan. Lalu, memeluk erat anak lelaki itu.

Different (Complete ✓)Where stories live. Discover now