Kiara & Saka: Bagian 5

534 60 18
                                    

Bagian 5: Jangan Pergi Juga

“Nggak bisa gitu!”

Ayah berseru keras. Matanya nyalang dan memerah akibat emosi. 

“Mas, duduk dulu.” Ibu –ibu tiri– Saka berusaha menenangkan. 

Suasana di ruang tamu rumah keluarga Saka begitu panas. Ayah telah berdiri berkacak pinggang sambil menuding ke arah pria muda, kakak lelaki Sarah.

"Jangan mentang-mentang kalian dari keluarga pejabat bisa seenaknya! Adik kamu sudah kami terima dengan baik, anak saya cinta sama dia, serius. Kenapa tiba-tiba pergi dan membatalkan semua rencana yang tinggal selangkah lagi?" 

Sementara ayah meluapkan emosinya, Saka hanya diam. Lelaki itu bingung dengan perasaannya sekarang.

Di satu sisi, ia sedih dan sakit hati karena ditinggalkan begitu saja. Namun, disisi lain, ada rasa lega menghinggapi hatinya. 

"Ini juga bukan salah adik saya. Anda juga harus mempertanyakan, bagaimana anak Anda memperlakukan adik saya selama ini sampai akhirnya dia ada di titik batas sabarnya!" 

Kakak lelaki Sarah ikut marah. 

"Mas," tegur sang istri. 

Dari posisinya duduk, Saka bisa melihat kakak ipar Sarah sesekali mencuri pandang ke arahnya. 

"Yaudahlah, Yah. Kalau memang Sarah belum siap, kenapa harus maksa?" Saka berdiri. 

Ia menatap ayah dan kakak lelaki Sarah secara bergantian. Lalu, pergi dari ruang tamu menuju kamarnya di lantai dua. 

Seolah ada beban berat menindih tubuhnya, Saka langsung menjatuhkan diri di kasur. Netranya menatap lurus ke langit-langit kamar yang putih bersih.

Tiba-tiba, ia merasa gamang. Lelaki itu jadi kepikiran. Apakah Sarah marah karena sampai kemarin Saka masih menunjukkan kepeduliannya secara terang-terangan pada Kiara? 

Rasa bersalah kini menghantui. Seharusnya, ia bisa menyelesaikan segalanya dengan baik-baik. Jika memang Saka tidak benar-benar punya rasa mendalam pada sang kekasih, bukankah lebih baik ia yang mengakhirinya? 

"Aargghh!" 

Kepala lelaki itu terasa penuh. Bukannya membayangkan Sarah atau mencari keberadaan gadis itu, sosok Kiara yang malah muncul di otaknya. 

"Nggak bisa gini," gumamnya.

Segera ia bangkit dari kasur. Setelah itu mengambil kunci motornya. Iya, motor. Saka punya motor dan mobil, dibelikan ayahnya. 

"Mau kemana?" Tanya ayah yang masih terlihat marah. Namun, tanda-tanda kehadiran kakak Sarah sudah tidak ada. 

"Pergi sebentar," jawab pemuda itu. 

Kaki jenjangnya melangkah lebar. Hanya saja tiba-tiba terhenti saat sang ibu tiri mencegat di pintu garasi.

"Cari Sarah. Pernikahan kalian itu kurang dari dua minggu. Hal kayak gini, biasa untuk calon pengantin. Jangan kamu lepas gitu aja, atau nanti menyesal." Ucapan ibu tiri sangat menggelikan di telinga Saka. 

"Nggak usah ajarin saya begitu. Jalan Anda bisa nikah sama Ayah terlalu mulus." 

Saka tak tahan lagi. Ia tidak mengindahkan ucapan ibu tirinya. Lelaki itu memilih tancap gas. Tidak peduli langit kelam siap memuntahkan air dengan deras. 

Lelaki muda itu sudah tahu tujuannya. Iya, kemana lagi kalau bukan Kiara. 

***

Hujan turun begitu deras. Kiara yang tadinya memberikan kelas menggambar di pendopo, jadi pindah tempat ke ruang makan bersama di gedung panti. 

Different (Complete ✓)Where stories live. Discover now