Kiara & Saka: Bagian 3

507 55 13
                                    

Bagian 3: Tangis dalam Badai


Tahun ketiga SMA memang sibuk. Jam sekolah menjadi lebih lama karena ada pelajaran tambahan. Tugas menumpuk, dan belum lagi try out ujian yang diadakan berulang kali untuk menguji kesiapan para murid dalam menghadapi ujian kelulusan nanti.

Kesibukan itu sangat disyukuri oleh Kiara. Intensitas pertemuannya dengan Saka semakin tidak jelas. Perasaan lebihnya pada sang sahabat itu pun berangsur hilang.

Kini, Kiara sudah lebih berlapang dada. Ia tahu diri kalau Saka itu memang lebih pantas bersanding dengan Sarah sebab mereka sekufu. Lingkaran sosial keluarga mereka sama, jadi tidak masalah. Kiara juga jadi lebih fokus untuk belajar demi bisa mendapat beasiswa di kampus incarannya. 

Selain itu, ia juga lebih fokus mengajar adik-adik panti belajar, seperti hari ini. Kiara dengan telaten membimbing anak-anak yang tertarik belajar menggambar.

"Kak, hujan." Salah seorang anak berseru.

"Iya, hujan. Kalau gitu, sampai sini dulu menggambarnya. Kalian langsung ke dalam aja sebelum deras." Kiara mengakhiri sesi menggambar. 

Anak-anak itu pun menurut. Mereka berlarian memasuki gedung panti yang bangunannya masih baru.

Bapak dan bunda akhirnya bisa merampungkan gedung asrama putri. Jadi, sekarang mereka bisa menerima lebih banyak anak untuk tinggal dan di rawat di rumah panti milik keluarganya. 

"Pelan-pelan larinya, licin!" Kiara berseru. Ia menjadi orang terakhir yang meninggalkan pendopo. 

Namun, langkah gadis itu terhenti ketika melihat sosok Saka berdiri tidak jauh dari pendopo. 

"Saka?" Gumam gadis itu.

Baju pemuda itu sudah basah karena air hujan. Matanya memerah dan raut wajahnya begitu pilu. 

"Kia," kata Saka. Kakinya yang jenjang melangkah lebar, mendekat.

Tubuh Kiara langsung terasa kaku saat sang sahabat memeluknya erat. Saka terisak dan wajahnya terbenam di ceruk leher Kiara. 

"Kamu kenapa?" Tanya gadis itu, bingung.

"Bunda… Javas…" lirih Saka. 

Suara pemuda itu sarat akan pilu. Kesedihan mendalam juga terdengar jelas dari caranya bicara.

"Ada apa sama bunda dan Javas?" Tanya Kiara. 

Ia membiarkan sang sahabat menumpahkan sedihnya. Gadis itu juga tidak peduli tubuhnya ikut basah. Belum lagi, angin kencang yang membawa air hujan ikut menerpa wajahnya. 

"Bunda…. Javas…" ulang Saka. 

Kali ini, Kiara tidak akan bertanya lagi. Ia akan menunggu Saka tenang. Maka, gadis itu hanya bisa mengelus pelan punggung lelaki muda itu. 

"Aku kehilangan bunda dan Javas selamanya." Saka berucap dengan sangat pilu. 

Setetes air mata, ikut jatuh dari mata Kiara. Gadis itu terkejut. Namun, ia tidak mau banyak bertanya. Ia hanya akan berdiri kokoh agar Saka bisa bersandar. Namun, tetap saja akhirnya ia ikut terisak. 

"Dunia itu kejam, Kia." Tangis Saka masih pecah. Suaranya serak dan sengau. 

Telapak tangan mungil Kiara hanya terus menepuk punggung lebar Saka. Ia tidak bisa bicara apa-apa, takut salah dan hanya akan membuat Saka semakin sedih. 


***


Secangkir coklat panas tersaji di atas meja makan, tepat di hadapan Saka. Pemuda itu duduk dengan handuk tebal menyelubungi tubuhnya yang basah. 

Different (Complete ✓)Where stories live. Discover now