Kiara & Saka: Bagian 9

648 73 23
                                    

Bagian 9: Tak Terucap

Hujan kembali mengguyur kota. Udara yang panas akhirnya teredam. Polusi juga ikut tersapu air yang sudah lama tidak membasahi bumi. Aroma tanah basah pun menenangkan orang-orang yang gelisah, seperti Kiara. 

Kejadian satu minggu lalu ketika Saka mengigau dan menyebut nama Sarah terus menghantui. Gadis itu merasa kecil lagi. Kepercayaan dirinya runtuh. Anggapan kalau memang dirinya hanyalah sosok pengganti semakin kuat. 

Oleh karena itu, pulang dari kampus, Kiara tidak pulang ke tempat Saka. Ia pulang, tapi ke rumah bapak dan bunda. 

"Nanti dijemput Saka?" Tanya bunda.

Kiara yang sedang memotong wortel hanya mengangguk sebagai jawabannya. Padahal ia tidak bilang pada Saka kalau sedang ada di rumah bunda. Urusan nanti bisa diatur. Kiara mungkin akan sedikit berbohong lagi agar hari ini tidak kembali ke rumah Saka. 

"Kalian baik-baik aja kan?" Bunda melontarkan pertanyaan lagi.

"Baik."

"Kamu sama Saka sering nengok orang tua dia juga?"

Rasanya Kiara sudah seperti sedang diinterogasi saja. Bunda kalau urusan mengorek informasi tentang kehidupan anak-anaknya itu selalu detail. 

"Lumayan sering," kata Kiara. Ia tidak sepenuhnya bohong. Meski Saka jarang ikut, tapi Kiara beberapa kali mampir ke rumah orang tua Saka dalam sebulan. 

"Bunda lihat kan si Saka itu kurang akur ya sama ayah dan ibunya, jadi kalau bisa kamu jadi penjembatan mereka. Bagaimanapun, mereka orang tua yang membesarkan Saka." Bunda berpesan.

"Iya bunda." 

Begitulah bunda yang selalu mengajarkan anak-anaknya tetap berbuat baik pada siapa saja. Tidak heran kehidupan beliau yang tampak biasa-biasa saja malah terasa penuh berkah. Baik pada sesama makhluk hidup dan bersyukur adalah kuncinya. Itu menurut Kiara, sesuai dengan pengamatannya selama ini. 

Di luar, hujan mulai reda. Langit yang tadi tertutup awan kelabu terlihat lebih terang. Seberkas sinar mentari juga mengintip dari kumpulan awan gelap yang tersisa. 

"Oh iya, Ratna kemarin telpon. Katanya, habis lahiran nanti dia sama suaminya mau pindah." Topik pembicaraan berganti.

"Pindah kemana?" 

"Swiss." 

"Swiss, luar negeri?" 

"Iya. Jauh sekali, tapi namanya ikut suami yang kerja, mau gimana lagi." Bunda jelas sedih. Putri tertuanya akan jauh dari jangkauan sebentar lagi. 

"Kan ada aku, Purnama, sama Satria. Nanti kalau ada rejeki, kita samperin Mbak Ratna ke Swiss," kata Kiara, membesarkan hati bunda. 

"Iya." Meski tersenyum, tampak raut sedih dari wajahnya.

Selama ini bunda dan bapak tidak pernah jauh dari anak-anaknya. Saat Purnama merantau ke Bandung saja, bunda sedih sekali. 

"Bunda baru ingat." Kesedihan bunda tertunda dulu. Semangatnya kembali berkobar. "Itu si Satria kan mau syukuran empat bulan hamilnya Gina, acara nanti habis maghrib di rumah orang tua Gina." 

"Oh ya?" 

"Iya, bunda lupa bilang. Coba kamu telpon Saka deh, biar kalau nggak sempat kesini langsung nyamperin ke sana aja." 

Baiklah, sepertinya Kiara tidak bisa mencari alasan untuk tidak bertemu dulu dengan Saka. Gadis itu terpaksa menghubungi Saka dan ternyata lelaki itu bilang akan pulang lebih cepat. Jadi, ia bisa mampir ke panti dan berangkat bersama ke rumah mertuanya Satria. 

Different (Complete ✓)Where stories live. Discover now