34. Mengikhlaskan (2)

39 7 2
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya!! :)

-------------------------------------------------

Dava membentur-benturkan tinjuannya ke tembok toilet kamarnya sampai jarinya terluka. Belum puas, ia menyayat lengannya sendiri. Setelah kejadian perpisahan itu, Dava yang kacau setelah tahu Dira ternyata mencintainya. Dira berharap padanya, tapi Dava belum siap. Masih banyak hal yang belum sembuh dari dirinya. Masih banyak hal yang harus diselesaikan olehnya, termasuk kesembuhan ibunya. Dava berteriak kesakitan, lalu menangisi keadaannya. Kenapa ia menjadi seegois ini. Ketika Dira sudah membuka pintu hatinya, kenapa ia malah menutup pintu hatinya. Namun, bagaimana? Dava juga tidak ingin Dira menjadi susah karenanya. Meskipun Dira rela, tapi di mana harga dirinya sebagai lelaki yang membiarkan Dira juga merasakan pahit kehidupannya. Dava tidak bisa.

Seketika Dava mendengar pintu toiletnya dibuka dan muncullah papanya. Dia terkejut melihat Dava berdarah-darah dan terluka tangannya. Papanya mendekat dan dengan sigap membersihkan luka Dava.

"Kamu kenapa Dava astaga? Apa yang kamu lakukan?!" tanya papanya panik sampai beristighfar berkali-kali. Tanpa basa-basi, Dava memeluk papanya. Papanya memeluk balik. "Ada apa? Ceritakan..."

"Aku jahat Pa sama Dira. Aku jahat. Tapi Dava nggak bisa Pa."

"Jahat kenapa? Nggak bisa apa?" papanya mencoba menenangkan. "Bersihkan lukamu dulu. Ayo, papa bantu. Sekalian mengobati luka kamu."

Setelah membersihkan darah yang keluar, papanya mengeringkan air dengan tisu kering yang bersih, kemudian diberilah betadine pada sebuah kapas yang kemudian diletakkan pada luka-luka itu, baru ditutup menggunakan perban. Purnama membawa Dava menuju kamar dengan memapah tubuh Dava yang lemas. Keduanya duduk di tepi ranjang kamar Dava.

"Dava jahat Pa."

"Apa yang kamu lakukan sama Dira, Nak? Apa?" tanya papanya.

"Dira tahu kita saling mencintai, tapi aku nggak bisa sama-sama Dira terus Pa. Aku memilih berpisah. Aku belum siap Pa dengan keadaanku yang masih sakit seperti ini. Dava nggak mau repotin Dira, tapi karena hal itu Dava menyakiti hati Dira."

"Apa yang kamu takutkan?"

"Kondisi Dava, kondisi mama, kondisi keluarga kita. Berat hati rasanya Dava harus membawa Dira menerima pahit-pahitnya hidup Dava Pa. Dava cuma ingin membuat Dira bahagia. Bukan malah mengurusi Dava yang sakit mental ini. Bahkan saat mama melihat Dira, mama masih mengira Dira itu Tasya. Dava nggak bisa Pa, apa Dava salah?"

Purnama diam merenungkan perkataan Dava yang menyinggung kehidupan mereka. Papanya jadi merasa bersalah. Karena kelakukannya dahulu, keluarga mereka jadi berantakan.

"Maafkan Papa, Nak. Semua gara-gara Papa. Coba kalau—"

"Pa! ini Kesalahan kita bersama. Bukan salah Papa sendirian. Kita semua lalai atas terjadinya kematian Kak Tasya. Dava cuma tanya, apa Dava salah meninggalkan Dira? Meminta Dira untuk ikhlas?"

"Kamu tahu kan, Papa bukan pakar cinta yang hebat. Papa orang yang gagal dalam urusan cinta. Kenapa kamu yakin tanya ke Papa?"

"Kalau Papa gagal, Papa nggak mungkin masih bertahan di sini buat Dava, buat mama juga. Itu bukti cinta Papa masih ada untuk kita."

"Baik. Sebelumnya Papa tanya, kamu nyaman nggak sama Dira? Kamu bener cinta nggak sama dia?"

"Nyaman banget Pa. Cinta banget juga. Nggak pernah Dava senyaman ini deket sama perempuan."

"Kalau begitu, sebaiknya... kamu jangan benar-benar meninggalkan dia. Dia perempuan yang baik Nak. Tulus. Setidaknya kamu sapa dia. Jangan bersikap seolah kamu nggak kenal sama dia. Bagaimana pun juga dia satu-satunya perempuan yang nerima keadaan kamu kan?"

"Iya, Pa. Cuma Dira yang tulus. Cuma Dira yang terima. Berarti Dava salah ya, udah ngebuat Dira sakit hati karena Dava memutuskan untuk pergi dari hidupnya?"

"Bukan salah, tapi cara kamu kurang tepat. Mungkin kamu bermaksud untuk menata hidup kamu dulu sebelum mengikat Dira. Benar?"

"Iya, Pa."

"Kalau itu tujuan kamu. Jangan lepaskan Dira."

"Terus Dava harus gimana Pa? Dava terlanjur bilang ke Dira untuk mengikhlaskan Dava."

"Kalau dia cinta kamu, dia pasti menunggu. Sementara, kamu sapa dulu dia setiap kalian berpapasan. Jangan abaikan Dira. Coba itu dulu. Bagaimana respon Dira. Kalau dia chat kamu, balas sekedarnya. Tapi satu hal penting yang harus kamu lakukan. Minta maaf."

Dava merenungkan kata-kata papanya. Dava merasa lebih tenang sekarang. Papanya tersenyum sambil menepuk pundak Dava tiga kali. Kemudian Purnama meminta Dava untuk istirahat dan kalau ada masalah ceritakan kepada Purnama. Jangan lagi-lagi melukai diri sendiri karena itu akan menjadi bumerang buat diri Dava sendiri.

...

"Arkan, Sifa!"

Dira memanggil kedua sahabatnya itu dari belakang saat melihat keduanya duduk berdua di kantin sambil bercakap-cakap entah apa. Sifa menoleh duluan dan terkejut saat melihat Dira sudah masuk kuliah lagi dengan cahaya wajah yang segar. Arkan dan Sifa otomatis berdiri.

"Diraaa!!!" teriak Sifa kegirangan sembari memeluk erat sahabatnya itu, sementara Arkan ikut-ikutan memeluk Dira dan Sifa. Hal itu disaksikan oleh mahasiswa lain di sekitar mereka. "Akhirnya lo sehat juga. Gue kangen banget sama lo. Lo nggak kelihatan seminggu kayak nggak ketemu lo seabad tahu nggak!"

"Lebay lo!" jawab Dira sambil tertkekeh.

Sifa dan Arkan menyudahi pelukannya. Sifa terkejut Dira tertawa.

"Lo ketawa Dir!? Akhirnya Dira yang dulu kembaliii!!!" teriak Sifa heboh dan kembali memeluknya.

Arkan hanya tersenyum melihat kembalinya diri Dira. Perempuan itu mengulet, merenggangkan pelukannya dengan Sifa.

"Dah, ah. Apaan sih lo Sif. Berlebihan deh," kata Dira setelah mereka berhenti pelukan. "Hai Ar! Kamu kelihatan baik-baik aja," kata Dira agak kikuk dengan Arkan.

Lelaki itu tertawa.

"Terus aku harus ngapain? Kayang di depan mukamu?"

Dira terbahak, "Ya, nggak juga. Sa ae sandal jepit."

Kemudian Sifa, Arkan, dan Dira serempak tertawa. Sifa menyuruh Dira untuk duduk di sebelahnya. Arkan disuruh Sifa untuk memesan minuman dan makanan apa yang ingin Dira pesan. Tapi Dira bilang minuman saja. Arkan menurut. Sifa tidak habis senyum untuk Dira yang sudah kembali sehat dan bugar. Dira bertanya ada tugas apa saja selama dirinya tidak masuk kelas. Diberitahulah oleh Sifa tugas-tugasnya, bahkan catatan-catatan per mata kuliah juga Sifa bagi.

Dira meminjam buku-buku Sifa untuk ia salin dan cicil sekarang. Sambil menunggu minuman Dira datang, Dira mulai menyalin tugas. Arkan kembali membawa minuman yang Dira pesan, kali ini Arkan mentraktir Dira. Mereka lalu berbagi bahagia di meja makan itu.

------------------------------

Jangan lupa vote dan komen ya!! :)


Merayakan Cinta ✔ [NEW]Where stories live. Discover now