15. Berdamai dengan Keadaan

39 13 5
                                    

Jangan menilai seseorang dari cerita orang

Jadilah bijaksana dengan kenali dulu siapa dia sebenarnya


"Hey, Arkan! Makasih ya jamnya. Nih, aku pakai loh," seru Dira setelah duduk di samping Arkan yang menunggunya di lembah kampus dengan muka girang.

Lelaki itu hanya tersenyum tipis tak berucap apa-apa dan menatap Dira sekilas.

"Ar? Kenapa sih, kok diam aja?" tanya Dira, heran sekaligus was-was.

Lelaki itu masih diam tak merespon, kemudian Dira mencoba menebak.

"Kamu marah aku nonton konser berdua sama Dava?"

"Kalian baikan?" tanya Arkan tanpa menatap Dira.

"Ar, kita udah dewasa. Aku sama Dava memang harus baikan. Nggak mungkin ribut-ribut terus cuma perkara masalah sepele waktu ospek."

"Oh," jawab Arkan singkat. Ia terdiam sejenak, begitupun Dira. "Kamu katanya mau ceritain kenapa Dava tahu rumah kamu?" kata Arkan, menagih janji Dira.

"Oke... jadi waktu liburan semester, aku nggak sengaja ketemu dia di pantai. Dia datengin aku setelah kita udah lama banget nggak saling ngobrol. Ya... kita bicara singkat di situ, karena waktu itu udah sore. Cuma sekadar tanya kabar dan kenapa dia tiba-tiba nggak ngajak ribut aku lagi setelah kata maaf dia nggak aku terima. Terus dia nawarin tebengan. Nggak maksa sih. Cuma berhubung udah sore aja, jadi aku mau nebeng dia. Gitu deh."

"Oh," jawab Arkan lagi dengan singkat.

"Kamu kenapa sih se-enggak suka itu kalau aku pergi sama cowok lain? Termasuk Dava, orang yang nggak kamu kenal."

"Udah berkali-kali kan aku bilang. Aku sayang kamu, Dir. Aku nggak mau kamu salah pilih cowok sembarangan."

"Dava nggak sembarangan kok."

"Tahunya? Kalian kan baru baikan."

"Gimana kita bisa tahu orang itu baik atau enggak kalau kita nggak membuka diri buat mengenal dia dulu. Ya sama, kayak gimana akhirnya aku ngebuka diri buat kenal kamu waktu SMA sampai akhirnya kita bersahabat kayak sekarang. Semua orang punya kekurangan masing-masing Ar. Wajar kalau Dava nggak sempurna. Aku dan kamu juga nggak sempurna. Aku yakin nurani kamu juga bilang kayak gitu."

Arkan terdiam, kemudian memalingkan wajah. Ada suatu hal lain tertahan di dalam kepalanya yang ingin sekali dia katakan kepada Dira, namun tidak siap menerima konsekuensinya.

"Kamu belum ngejawab aku tentang kenapa kamu ketawa di rumahku waktu aku mohon ke kamu buat nggak lukain atau nyalahin Dava," Dira menagih jawaban.

"Lucu aja. Kamu sampai sepanik itu cuma buat ngebela Dava yang sempat bersikap nggak baik sama kamu. Lagian aku juga udah tahu semua kok apa yang terjadi sama kamu dan Dava. Emang nggak detail sih, tapi aku cukup tahu."

"Sebenarnya aku panik bukan buat ngebela Dava. Tapi aku nggak mau kamu bersikap buruk sama orang lain dengan cara yang keras kayak waktu SMA. Aku nggak suka lihat kamu berantem main pukul-pukulan sembarangan. Aku pingin kamu menjadi diri kamu yang lebih baik dari kamu yang dulu Ar. Bersikap dewasa. Aku peduli sama kamu."

Arkan terdiam dan hanya menatap perempuan kesayangannya itu dalam-dalam. Begitupun Dira kepada Arkan. Cukup lama tatap mata mereka saling bertaut sembari mengumpulkan rasa saling percaya dalam diri masing-masing, kemudian Arkan menarik Dira dalam peluknya erat. Dira mati-matian menahan perasaan terdalamnya saat dipeluk Arkan. Usai berpeluk, Arkan mengusap puncak kepala Dira lembut sambil tersenyum.

...

"Telat lima belas menit! Push up 30 kali!" perintah Dava bergurau saat perempuan yang akhir-akhir ini sedang masuk kembali dalam hidupnya dan baru saja menghampiri Dava sambil ngos-ngosan.

Merayakan Cinta ✔ [NEW]Where stories live. Discover now