11. Tahu Segalanya

53 15 0
                                    

Seperti minggu-minggu sebelumnya, hari minggu merupakan hari sakral Arkan dan Dira untuk main bersama. Entah itu main ke rumah Dira atau Dira yang ke rumah Arkan. Bisa juga nonton film di bioskop, main di taman, jalan-jalan, atau wisata. Jika tidak ada yang sibuk di antara keduanya, maka mereka akan meluangkan waktu. Sebenarnya mereka lebih sering meluangkan waktu daripada tidaknya.

"Kamu mau jodohin aku sama Sifa apa gimana, Dir? Pake segala acara ninggal-ninggal kita berdua segala di McD waktu itu?" Arkan membuka percakapan pada Dira yang sibuk makan cokelat dairy milk sambil menonton film horor di laptop Dira.

Bukannya dijawab, Dira malah terbahak. Arkan menyentil ujung hidung Dira gemas.

"Yeee... bukannya dijawab malah ketawa," protes Arkan.

"Ya sorry... habis aku nggak enak sama Sifa yang baru datang masa tiba-tiba aku minta kamu anter pulang. Kan mending aku yang balik sendiri aja."

"Ya tapi nggak tiba-tiba gitu juga kalik. Mana yang dikabarin Sifa lagi, bukan aku. Dasar aneh."

"Eh, tapi seru kan ngobrolnya sama Sifa?" tanya Dira penasaran.

"Seru sih. Easy going gitu anaknya. Cantik juga," jawab Arkan yang diakhiri senyum malu-malu di akhir kata saat memuji Sifa.

"Cielah... inget Indi, Ar."

"Aku maunya selalu mengingat kamu aja, Dir."

Mendengar itu, pipi Dira merona malu.

"Apaan sih," celetuk Dira.

Arkan hanya tersenyum manis menatap Dira yang salah tingkah. Dira mengalihkan diri dengan fokus menatap layar laptop untuk melihat film horror yang sedang dirinya dan Arkan tonton.

"Dira," panggil Arkan yang hanya direspon tolehan oleh Dira. "Maaf ya. Aku udah buruk sangka sama kamu soal Dava," lanjut Arkan sembari menatap Dira dalam.

Dira otomatis menjeda filmnya, lalu fokus kepada perkataan Arkan barusan yang sungguh membuatnya terkejut tak menyangka. Arkan yang waktu itu marah-marah tidak jelas hanya karena Dira berbicara dengan Dava tanpa Arkan tahu bagaimana hubungan mereka, lalu tiba-tiba Arkan minta maaf duluan tanpa Dira tegur. Dira tahu ini adalah pertama kalinya Arkan bersikap seperti itu, tapi Dira tentu yakin ada sebab dibaliknya.

"Untuk pertama kalinya seorang Arkan minta maaf duluan tanpa ditegur," jawab Dira dengan air muka bertanya-tanya.

"Kenapa? Kamu penasaran alasan apa yang ngebuat aku minta maaf duluan?" tanya Arkan, namun tidak Dira jawab. Arkan melanjutkan, "Aku udah tahu siapa Dava dalam hidup kamu."

"Maksudnya?" tanya Dira hati-hati.

"Aku tahu kalian pernah berantem. Aku tahu dia sempat bersikap nggak baik sama kamu. Aku tahu awal mula kamu ketemu dia karena apa. Ospek kan."

Dira mengerjapkan mata dan mendadak panik sembari membayangkan hal-hal buruk yang kemungkinan akan Arkan lakukan kepada Dava.

"Itu bukan salah Dava kok Ar, bener. Itu salah aku," Dira membela Dava. "Aku yang emang nggak disiplin, ngaret, dan nggak teliti."

"Aku juga tahu, Dava melebihkan hukuman yang nggak seharusnya cuma karena dia kesel sama kamu, terus kamu marah sama dia. Sampai-sampai kamu harus nulis kesan dan pesan spesial buat Dava."

Arkan benar-benar jago membuat Dira jantungan. Dari mana pula Arkan tahu tentang itu semua. Dira tidak habis pikir. Siapa kiranya penyebar sumber informasi itu. Tidak mungkin Sifa kan? Pikir Dira skeptis. Iya jelas tidak mungkin. Buat apa juga Sifa bercerita tentang hal itu kepada Arkan yang padahal Sifa sudah tahu Arkan tidak suka kalau Dira dekat dengan laki-laki lain.

"Perkara itu, aku udah maafin Dava kok Ar. Aku yang salah. Aku yang terlalu berlebihan kesel sama dia sampai segitunya. Tapi aku sadar kalau kesalahanku lebih besar daripada hukuman apa yang dia lakukan buat aku. Kamu tahu ini semua dari siapa sih?"

"Nggak penting kamu tahu aku dari siapa. Yang pasti suatu saat mungkin kamu akan menyadari. Ada satu hal yang aku nggak tahu. Satu hal yang aku nggak akan ngomong sama kamu sekarang sampai aku tahu sendiri itu apa."

"Ar, please. Dava nggak salah apa-apa. Please, jangan lukain dia ya? Dia udah berusaha minta maaf sama aku kok. Tapi akunya yang nggak merespon baik dia." air muka Dira terlihat begitu gelisah.

Arkan menatap Dira tanpa kata-kata, begitupun sebaliknya Dira kepada Arkan. Hal itu membuat Dira semakin panik dan takut kalau Dava akan dilukai oleh Arkan. Pikiran-pikiran buruknya soal Arkan mengendur perlahan setelah ia melihat Arkan tertawa geli kepadanya.

"Kok ketawa?" tanya Dira bingung.

Belum sempat Arkan menjawab, ponsel Dira berbunyi menandakan telepon masuk. Dira meraih ponselnya yang diletakkan di atas meja, lalu melihat ke layar untuk melihat siapa yang menelpon. Namun nomornya asing. Dira angkat saja.

"Siapa lagi nih," protes Dira yang mengusik keseriusan berbicara dengan Arkan. Mau tak mau, Dira harus mengangkat teleponnya. "Halo?"

"Kenal suaraku nggak?"

Seseorang yang terbayang oleh Dira setelah mendengar suara itu adalah Dava. Seketika Dira melirik Arkan sekilas yang tengah mengamatinya intens.

"Ngapain sih telepon, kenapa nggak chat aja. Ribet!" protes Dira tanpa berani menyebutkan nama Dava di samping Arkan.

"Satu jam lagi artinya jam 1 siang aku jemput kamu di rumah, siap-siap gih cepet."

"What! Ngapain? Tiba-tiba banget gitu sih," Dira mendadak panik karena Arkan masih di rumahnya.

"Ketemuan. Di kafe kita bahas tugas jurnalistik. Besok Senin kan laporan ke Pak Trisno. Kita belum bahas apa-apa tahu."

"Ya tapi nggak jam 1 juga!" protes Dira yang masih jantungan.

"Emang kenapa sih? Sok sibuk amat. Hari minggu juga," protes Dava balik.

"Bukan gitu... masalahnya ada temenku lagi main di rumah."

"Ya usir lah, gimana sih. Gitu aja kok repot. Bodo amat nggak mau tahu jam 1 aku sampai rumah kamu, titik."

Seketika sambungan telepon diputus dari pihak Dava. Otomatis Dira mengumpat. Kepalanya terasa mendidih. Lelaki itu benar-benar tak bisa berbaikan dengannya. Bahkan di kondisi genting seperti saat Arkan masih ada di rumahnya.

"Siapa yang telepon? Ada apa sama jam 1?" tanya Arkan, menyelidiki.

"Eh, itu anu, emm... aku... jadi gini Ar. Maaf banget, maafff banget kamu pulang ya sekarang? Soalnya aku harus pergi jam 1 itu nanti. Aku harus siap-siap. Mendadak emang. Soalnya aku lupa kalau besok ada matkul penyampaian proses dari tugas yang udah dikasih minggu lalu," pinta Dira, memohon.

"Oh, oke. Sama siapa kamu ngerjain tugasnya? Sifa?"

"A... emm... itu, e..."

"Dava?" jelas Arkan gamblang.

Dira hanya tersenyum hambar, lalu mengangguk.

"Panjang umur ya. Baru diceritain, orangnya langsung telepon. By the way... kok dia tahu rumah kamu?" tanya Arkan biasa.

"Emm... long story. Besok kalau kita ketemu lagi, aku ceritain deh."

"Oh. Ya udah," jawab Arkan biasa.

Segera Arkan beranjak dan izin pamit. Dira terheran-heran melihat Arkan biasa saja dan tidak marah sama sekali mengetahui ini. Dira memberi Arkan senyum manis saat ia mengantar Arkan ke muka pintu keluar rumah Dira.

"Kenapa senyum-senyum gitu?" tanya Arkan heran.

"Seneng aja sama kamu yang lebih bersahabat dengan keadaan kali ini. Makasih ya udah mau ngertiin."

Tak Dira sangka, tiba-tiba Arkan mengecup keningnya. Dira menatap kepulangan Arkan dengan lutut yang terasa lemas, rasanya tidak karuan, mau pingsan. Hormon serotoninnya meningkat drastis. Beberapa detik kemudian ia tersadar kalau Dava akan ke rumahnya. Dira berpikir ulang. Kenapa juga ia harus ke kafe, kalau bisa mengerjakan di rumahnya saja. Segera saja Dira menyampaikan idenya itu kepada Dava lewat chat. Dava menyetujuinya.

------------------------------

Jangan lupa VOTE / Komen ya! :)

Merayakan Cinta ✔ [NEW]Where stories live. Discover now