9. Kebohongan dan Rahasia

47 14 2
                                    

Terkadang lebih baik tidak tahu apa-apa
Daripada tahu kenyataannya tapi tidak siap

Dava baru saja melepas almamaternya, lalu memasukkan ke dalam ransel karena merasa gerah. Lantas segera digulung lengan kemejanya sebatas siku. Itulah kebiasaan Dava selepas mata kuliah selesai. Perempuan yang baru saja selesai bercermin dan menebalkan lipstick di bibirnya yang sudah mulai tipis itu kemudian menepuk bahu Dava.

"Yuk, ke kantin FEB," kata perempuan itu yang berangsur berdiri dari duduknya.

Lelaki yang diajak bicara hanya mengangguk saja dan berjalan mengikuti perempuan anggun berkaki jenjang itu dari samping. Dava sudah berjanji untuk menemani Anin, sahabat karibnya sejak SMA ini untuk bertemu dengan saudaranya yang sekarang ulang tahun dan menjanjikan untuk satu meja makan gratis dengannya. Sekaligus Anin ingin mengenalkan Dava pada saudara baiknya itu. Manusia mana yang akan melewatkan makan gratis ini. Dava tentu tidak.

Anin buru-buru menarik tangan Dava untuk cepat-cepat menghampiri saudara sepupunya yang sudah duduk manis sendirian di meja nomor 10 kantin Fakultas Ekonomi Bisnis. Dava menurut saja disuruh cepat-cepat. Seorang perempuan di meja 10 itu melambaikan tangan ke arah Anin, lalu disambut perempuan itu dengan segera. Dava sudah tahu sejak dulu kalau Anin punya saudara sepupu yang sekampus, tapi beda angkatan satu tahun di bawah mereka.

Dava baru tahu kalau yang selama ini sering disebut-sebut Indi oleh Anin itu adalah manusia yang duduk di kursi nomor 10 itu. Cantik, pikirnya. Sebelas dua belas dengan Anin yang seorang model majalah dan endorse dengan follower instagram kira-kira 198.000-an. Indi membagi pandangan antara Anin—saudaranya—dengan lelaki tampan yang ada di sampingnya dan belum sama sekali Indi tahu siapa dia. Anin langsung meneriaki Indi "happy birthday" sembari bersalaman dengan Indi dan mencium pipi.

"Indi... makin plus-plus yaa... semoga makin cantik, sukses, bikin bangga orang tua, daaaann... langgeng sama pacar lo sampai pelaminan!" pekik Anin membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh penasaran dengan apa yang terjadi. "Eh, tapi kok lo sendirian sih Ndi? Pacar lo mana?" heran Anin.

"Berdua kok... dia lagi di toilet. Nanti juga ke sini. Eh, kok yang itu nggak dikenalin gue sih Kak?" tagih Indi sambil mengkode Anin dengan melirik Dava yang paham kalau dirinya yang dimaksud.

Otomatis Dava berdehem. Anin melingkarkan tangannya ke sebelah lengan Dava. Perempuan itu memang terbiasa begitu. Terbiasa manja dan melendoti Dava. Tentu lelaki itu tahu alasannya mengapa. Selain ingin orang kira mereka pacaran, juga Dava yang tahu Anin naksir padanya sejak duduk di bangku SMA. Dava tahu itu dari sahabat mereka yang lain dan bahkan pernah menyinggung itu kepada Anin sekaligus menjelaskan kalau ia hanya akan tetap menganggap Anin sahabat, sebab tidak ada rasa apapun yang lebih dalam hatinya. Itu mengapa Dava tidak pernah ingin menciptakan kemesraan di antara mereka meskipun keduanya bersahabat. Pelan-pelan Dava menyingkirkan tangan Anin dari lengan tangannya. Anin merasa tersinggung menyadari itu, tapi untuk menghilangkan kecanggungan di depan Indi, Anin harus bicara.

"Kenalin Ndi, ini Dava. Sahabat gue," jelas Anin yang kemudian disambut Indi dengan bersalaman.

"Oh... sahabat yang sering lo ceritain ke gue waktu SMA itu ya kan Kak?" cerocos Indi seperti kereta api melaju cepat, membuat Anin mesti memelototinya untuk tidak keblabasan bicara.

Indi langsung nyengir usil kepada Anin, lalu beralih menatap Dava, "Salam kenal ya Kak, aku Indi. Saudara sepupu Kak Anin asal Tangerang. Karena kakak sahabat baiknya Kak Anin, aku mau traktir kakak juga di ulang tahun aku."

Dava melempari Indi senyum, "Makasih loh Ndi, traktirannya. Padahal kita baru kenal. Sukses selalu deh buat kamu, makin lancar rezekinya, dan menjadi seseorang yang bermanfaat."

Merayakan Cinta ✔ [NEW]Where stories live. Discover now