12. Kenangan-Kenangan (2)

40 12 7
                                    

Kehadiran Dava kembali dalam hidupnya membuka kembali setiap keping ingatan tentang mereka. Dira ingat betul kejadian pada malam keakraban sebelum acara dimulai dan masih kondisi santai. Dira sengaja duduk di sebuah kursi panjang sembari melihat sebagian kakak-kakak panitia menyiapkan perapian untuk membuat api unggun di lapangan. Ia sengaja menarik diri dari kerumunan hanya untuk menikmati suasana kesunyian yang selalu ia suka. Udara malam di lokasi makrab malam itu cukup membuatnya gigil. Sialnya ia lupa tak membawa jaket saat makrab. Namun itu tak menjadi masalah untuknya tetap menikmati kesunyian.

Tak berapa lama, Dava datang menghampiri Dira sembari membawa teh manis hangat dan jaket bomber biru dongker miliknya. Lelaki itu meletakkan jaketnya ke pangkuan Dira, lalu duduk di sampingnya. Merasa dikejutkan, Dira spontan berdecak kesal dan memukul bahu Dava hingga hampir membuat segelas teh manis hangat yang dipegangnya nyaris tumpah.

"Eh, sorry-sorry!" ucap Dira spontan setelah sadar akan kesalahannya.

"Makanya mukul tuh pelan-pelan pakai perasaan," jawab Dava biasa.

"Mana ada mukul pakai perasaan."

"Pakai tuh jaketnya!" perintah Dava pada Dira.

"Sok peduli! Aku kuat kok," ketus Dira.

"Sok-sokan lagi. Giliran kedingian yang disalahin panitia. Dibilang panitia nggak peka. Ditolong protes, nggak ditolong protes. Nyusahin orang!"

"Iya biasa aja dong. Nggak usah ngegas! Nih, aku pakai nih!" kata Dira sambil praktek memakai jaket kesayangan Dava. Lelaki itu hanya berdecak.

"Terus, kamu pakai apa?" tanya Dira setelah ia selesai memakai jaketnya.

"Sok peduli," sinis Dava.

"Nyesel udah tanya."

Dava meneguk teh manis hangatnya dua kali. Dira mengamatinya karena sebenarnya Dira ingin, tapi gengsi mau mengaku. Sadar diamati, Dava menoleh, sementara Dira praktis membuang muka jutek.

"Mau?" tanya Dava saat itu juga.

"Nggak!"

"Nggak panas kok. Ditiup dikit saja. Kamu minum yang sebelah sini," kata Dava sambil menunjuk bibir gelas di posisi lain yang bukan bekas Dava, lalu menyodorkan pada Dira.

Dira masih diam membagi pandangan antara secangkir teh dan muka Dava. Dira ingat sekali kalau malam itu menjadi malam paling kalem antara dirinya dengan Dava. Karena Dira tidak segera mengambilnya, Dava mendekatkan cangkirnya ke bibir Dira.

"Tiup dikit," kata Dava.

"Iya, iya. Bisa sendiri kalik," jengah Dira sembari mengambil cangkirnya dari tangan Dava, lalu segera meminumnya.

Dalam tegukan yang ketiga kali, Dira berhenti, lalu menoleh kepada Dava yang juga menoleh kepada Dira disertai senyum tipis. Keduanya saling berpandangan. Entah mengapa malam itu pandangan Dava terhadapnya terasa hangat. Dira meneguk tehnya lagi sedikit, lalu perempuan itu mengembalikannya pada Dava. Menyadari itu Dava mengelak.

"Nggak usah. Buat kamu aja. Aku bisa buat lagi kok nanti."

"Jangan gitu dong!"

"Habisin aja, Dira. Ntar gelasnya balikin ke dapur langsung."

"Nggak mau ah kalau habisin sendiri. Kan kamu yang buat."

"Bilang aja nggak mau balikin gelasnya ke dapur!" sewot Dava.

"Ih, suudzon! Ya nggak gitu juga. Kan kamu bikin teh bukan buat aku."

"Kan aku udah bilang itu buat kamu. Kurang jelas? Udah, ah. Habisin gih. Aku mau bantu teman-teman nyiapin api unggun. Jaketku jangan lupa balikin besok! Jaket kesayangan aku tuh!"

Merayakan Cinta ✔ [NEW]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora