7. Duduk Perkara

45 14 1
                                    

Mencintai memang di luar kemampuan seseorang
Tapi mencintainya tanpa alasan bisa jadi itu cinta buta

Sifa berhenti mencerocos tentang kelompok majalahnya yang kurang kompak karena masing-masing dari mereka adalah aktivis di kegiatan yang berbeda-beda setelah menyadari kalau Dira tidak benar-benar mendengarkannya. Saat Sifa memanggil namanya berkali-kali, perempuan yang duduk di sampingnya sambil mengaduk-aduk jus jambu itu tidak merespon apa-apa. Pandangannya ke depan, tapi kosong. Sifa tak tahu apa yang sedang mengganggu pikiran Dira. Tapi ia yakin, ini masih perkara percintaan Dira yang katanya rumit itu.

"Woy, Dir!" senggol Sifa sembari meninggikan suara.

Barulah Dira tersadar kalau dirinya melamun entah selama berapa menit.

"Lo tuh ya, gue curhat dari tadi juga nggak didengerin?" protes Sifa sembari mengerutkan kening kesal. "Lo tuh kenapa sih bengong? Masalah percintaan lo lagi? Sebenarnya siapa sih cowok yang lo taksir itu? Cerita sini sama gue. Siapa tahu gue bisa bantu lo," tanya Sifa simpati.

Dira bergeming sejenak, berpikir untuk menyusun kata-kata apa yang pas untuk dibicarakan dengan Sifa.

"Sif, gimana perasaan lo, kalau lo punya sahabat cowok yang lo udah bukan sekadar sayang lagi, tapi cinta. Sahabat lo itu nggak tahu kalau lo cinta sama dia. Terus sahabat lo juga udah telanjur bilang ke lo duluan supaya lo nggak boleh nunggu dia, nggak boleh jatuh cinta sama dia."

Sifa bergeming menyadari itu duduk perkara yang menjadi kegelisahan Dira selama ini. Praktis Sifa mengusap bahu Dira, menenangkan.

"Kok dia bisa setega itu sih bilang kayak gitu. Perasaan kan nggak ada yang tahu bakal jatuhnya ke siapa."

"Iya kan, maka dari itu. Mana gue tahu pada akhirnya gue bakal jatuh cinta sama dia duluan. Mana dia perhatian banget lagi sama gue. Selalu bilang sayang sama gue. Cara dia memperlakukan gue itu melebihi perlakuan dia sama kekasihnya Sif. Gimana gue nggak baper coba?"

"Tapi benar omongan dia, Dir."

"Lah, kok benar sih!?" protes Dira seketika.

"Lo emang nggak pantes mencintai cowok yang nggak menghargai perasaan lo."

"Ya, itu kan karena dia nggak tahu...."

"Bela aja terus orangnya. Udah dibuat sakit hati, masih aja dipertahanin. Cowok banyak Dir. Nggak harus dia banget. Move on! Coba terbuka sama cowok lain. Dia cuma bakal membuat hidup lo kacau! Buktinya tuh, lo selalu sedih tiap hari. Nggak punya semangat hidup. Insecure juga. Kan ngerusak lo banget. Mempertahankan persahabatan itu nggak apa-apa, tapi ketika dia udah kasih isyarat buat nggak mau lo masuk dalam hubungan asmaranya, lo cukup berhenti buat nggak cinta lagi sama dia."

"Nggak bisa Sif. Susah... dia udah terlalu dekat banget sama gue dari SMA kelas sepuluh. Empat setengah tahun kita bersahabat. Dari dulu gue udah mencoba terbuka sama cowok, tapi pada akhirnya rasa gue tetep buat dia dan gue juga terlalu takut nerima konsekuensi kalau dia tahu gue deket sama cowok lain selain dia."

"Maksudnya? Konsekuensi apaan?"

"Dia selalu nggak suka kalau gue deket sama cowok lain siapa pun orangnya, kecuali dia. Dia juga selalu takut gue dibuat sakit hati. Konsekuensinya kalau gue masih deket sama cowok lain, dia nggak segan-segan buat berulah kayak cari orangnya sampai ketemu, dikatain macem-macem, diancam, terus bisa juga dibuat luka-luka kayak dihajar misalnya. Ya... walaupun sebenarnya cowok itu nggak salah apa-apa. Terus gue harus gimana? Gue serasa serba salah sama para cowok yang nggak bersalah ini."

"Seposesif itu?" selidik Sifa.

"Iya, sebegitu cara dia melindungi gue. Tapi, kalau misal dia lihat pacarnya lagi sama cowok lain, ya udah putus. Padahal belum tentu itu cowok selingkuhannya. Bisa jadi saudaranya. Tapi dia nggak mau tahu. Terus dengan mudahnya dia cari cewek lain."

"Lah, aneh banget. Dia playboy?"

Dira hanya tersenyum getir.

"Wah, toksik sahabat lo, Dir! Parah... kok lo bisa sih mau-maunya sahabatan sama cowok kayak gitu. Lo nyadar nggak sih ada yang salah sama diri lo?"

Ternyata bukan cuma Dava yang menganggap Arkan toksik, tapi Sifa juga. Dira semakin mengerti kalau dirinya bodoh.

"Ya... gue tahu lo mau bilang kalau gue bego kan kenapa nggak bisa lepas dari dia?"

"Bukan cuma bego Dir, tapi lo korban!"

"Korban, gimana maksudnya?" Dira kebingungan sendiri.

Sifa menepuk jidatnya menyadari sahabatnya sepolos ini. Sifa memandang muka Dira yang manis lekat-lekat. Sorot matanya menatap Dira dalam seolah mencoba menyalurkan energi positif kepada Dira. Sifa memegang sebelah bahu Dira, baru dia membuka suara.

"Dir, lo korban manipulasi pelampiasan dia... lo harus tegas sama diri lo sendiri untuk ngelawan segala tekanan yang dia bebankan ke lo. Jangan terus lo iyain semua yang dia perintahkan ke lo gitu aja. Lama-lama dia ngelunjak sama sikap otoriter dia sendiri yang nggak pernah lo lawan. Lo nggak terikat sama dia, lo bebas bergaul sama siapa aja. Lo cuma sahabat dia," Sifa menghentikan bicaranya sejenak untuk menunggu respon Dira. Namun Dira tak merespon apa-apa hanya air mukanya saja yang seolah mengatakan bahwa tidak sepenuhnya Arkan bersalah.

"Ya memang boleh melindungi seseorang yang disayang dari orang-orang yang kemungkinan bakal nyakitin lo. Cuma, ya nggak gitu juga caranya sampai lo nggak boleh bergaul sama cowok lain selain dia. Itu namanya dia menguasai dan mengendalikan lo, Dir."

Kening Dira berkerut, air mata membendung membasahi kelopak matanya lalu mengalir sampai ke pipi. Dira mengusapnya.

"Lo nggak ngerti Sif..." jawab Dira dengan intonasi tertekan.

Giliran kening Sifa yang mengerut. Ia menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya perlahan sambil menahan emosi yang meluap-luap ingin meledak.

"Gue yang nggak ngerti sama lo, Dir. Lo maunya apa?!" tanya Sifa dengan intonasi yang tegas. "Lo sadar itu membuat lo tertekan, sedih, sakit hati. Tapi lo juga rela menjadi orang yang terus-terusan diperlakukan seperti itu. Coba lo pakai logika deh dalam hal ini. Perasaan lo singkirin dulu. Siapa tahu cinta lo ke dia itu cinta buta. Sampai lo lupa harus mencintai diri lo sendiri. Gue ngebantuin lo buat membuka mata. Terus lo bilang gue nggak ngerti. Jelasin sekarang alasan apa yang ngebuat lo menyimpulkan gue nggak ngerti. Faktor apa yang mendasari lo bilang kayak gitu ke gue?"

Dira meletakkan kedua sikunya di atas paha, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sifa melihat seolah Dira begitu berat mengatakan alasan yang sebenarnya Dira simpan. Terjadi keheningan di antara mereka dalam beberapa detik.

"Ya udah, gini aja. Mungkin, emang nggak setiap hal yang rahasia bisa lo ungkapkan begitu aja. Dira lihat gue," kata Sifa sembari menarik pelan sebelah lengan Dira untuk berhenti menutup wajah.

Dira melihat ke arah Sifa dengan air muka yang sudah begitu lesu dan sedih. Tapi sorot mata Dira menyiratkan seolah menjawab perkataan Sifa dengan 'apa?'.

"Kenalin sahabat cowok lo itu ke gue. Buat kita sering ketemu dan main bareng biar gue juga bisa kenal sama dia secara langsung. Biar gue ngerti duduk perkara kenapa dia bersikap kayak begitu ke lo. Gue akan bersikap seolah gue nggak tahu apa-apa tentang sikap dia ke lo dan apa yang lo rasain ke dia. Gue bantu lo jadi mediasi antara lo sama dia. Gimana?"

Dira diam sejenak, menunduk, nampak berpikir. Tak lama, Dira mendongak lagi. Menatap Sifa dengan menaruh rasa harap, namun juga merasa merepotkan.

"Kayaknya bakal nyusahin lo banget nggak sih? Lo kan banyak kegiatan. Lo juga bakal capek ngurusin hidup lo, masa iya lo harus repot-repot bantuin gue sampai segitunya."

"I'am ok. Nggak masalah. Gue juga butuh main buat hiburan kalik. Ya anggap aja lo kenalin gue ke dia buat nambah temen doang. Percaya Sifa. Gue akan berusaha hati-hati, Dir."

Dira memasang tampang haru, lalu membentangkan kedua tangan.

"Mau peluk..." rengek Dira.

Sifa tertawa, lalu mereka berpelukan. Dalam hatinya, Dira sangat bersyukur memiliki sahabat sepeduli Sifa. Dira tidak bisa membayangkan bagaimana dirinya tanpa Sifa yang selalu memberi energi positif padanya, membuatnya bangkit dari kecemasannya, dan menguatkannya. Ia jadi merasa harus balik menyikapi hal-hal baik itu juga untuk Sifa.

------------------------

Jangan lupa VOTE / Komen YA! :)

Merayakan Cinta ✔ [NEW]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora