18. Perkara Hati (2)

36 12 4
                                    

Jangan lupa VOTE / Komen ya! :)

...

"Capek, Dir. Udahan dulu ya?" keluh Dava setelah beberap jam mereka mengerjakan tugas dengan begitu seriusnya.

Dira mengecek jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 5 kurang 10 menit sore. Seketika Dira mengangguk, lalu menjawab keluhan Dava.

"Iya, udah. Santai saja. Aku juga capek. Lanjut besok-besok masih bisa. Mending habisin ini makanan dulu."

Dira, tidak mau memaksakan juga. Dava menurut. Saat Dira sedang asik-asiknya mencomot nugget, suara gelegar petir tertangkap oleh telinga mereka, lantas keduanya saling bertukar tatap. Dalam pikirannya sama-sama menebak kalau sebentar lagi akan hujan. Dava bangkit dari duduknya setelah menutup laptop dan mencabut penyambung listriknya.

Lelaki itu berjalan mendekati jendela, membuka gorden putih yang menutupi kaca, lalu menatap keluar ruangan. Dava melihat cuaca begitu buruk disertai rinai hujan yang sudah mulai turun membasahi bumi. Awalnya hanya rintik-rintik ringan, namun begitu cepatnya air hujan melebat. Mengetahui ini, tentu saja Dava tidak bisa mengantar Dira pulang. Dava cuma ada motor. Daripada Dira kehujanan, Dava tidak ingin memaksakan Dira untuk pulang hujan-hujanan. Repot di jalan juga. Dira berjalan mendekati jendela, berdiri di samping Dava, menekan tangannya di bingkai jendela, menatap keluar jendela, dan diam saja di sana.

"Pasti mau sok-sok melankolis. Ngelihat hujan sambil mikirin dia. Hahaha..." ledek Dava, masih sambil terkekeh.

"Sok tahu!" Mereka lalu diam.

"Iya juga nggak apa-apa kok. Wajar."

Dira tidak menanggapi jawaban Dava. Perempuan itu merenungkan sesuatu. Dava mengamatinya sekilas, tapi entah lelaki siapa yang sedang dibayangkan oleh Dira. Mungkin sosok lelaki yang pernah Dira tulis di pesawat kertasnya dulu. Bukankah hanya itu orang yang disayanginya? Dava sebenarnya penasaran siapa, tapi rikuh untuk mempertanyakan. Sebab perkara hati tentu urusan pribadi.

"Kamu kalik yang sering gitu..." kekeh Dira tiba-tiba, meledek balik.

"Jujur, aku memang melankolis Dir. Tapi bukan tentang perasaan sama perempuan. Aku justru orang yang sulit banget buat jatuh cinta. Aku nggak pernah tuh punya hubungan spesial sama perempuan."

"Masa? Sekalipun nggak pernah?" tanya Dira sembari menatap penuh muka Dava.

Dira hampir tidak percaya mendengar pengakuan seniornya yang tampan itu tidak memiliki hubungan spesial dengan perempuan. Karena Dira pikir, manusia setampan Dava pasti pernah punya pasangan yang banyak.

"Serius. Seumur hidup aku belum pernah pacaran. Dan nggak mau juga sih. Aku kalau suka sama perempuan, nggak pernah sampai yang secinta banget itu. Ya, cuma suka-suka biasa aja. Kayak misal, dia cantik, lucu, dan baik. Udah.

Sebatas itu aja, terus besok-besoknya bosen. Nggak pernah sampai yang lama banget dan kepikiran terus. Bahkan kepikiran buat memperistri aja enggak. Pacaran ngapain sih? Buang-buang waktu aja. Rawan patah hati. Udah nikah aja masih ada yang broken home atau bahkan KDRT. Ya, itu perspektif aku sih. Kalau orang lain beda pendapat, ya terserah."

Dira tersenyum getir mendengar pernyataan Dava. Lucu saja baginya. Ternyata lelaki tampan yang belum pernah pacaran itu bukan mitos. Memang benar-benar ada.

"Tapi kamu percaya cinta kan Dav? Pernah cemburu atau patah hati kan? Terus, kamu mau nikah nggak tuh suatu saat nanti?" tanya Dira melanjutkan topik sebelumnya.

"Cinta? Percaya lah!" Dava tertawa. "Nggak harus suka sama orang dulu buat kenal cinta. Begitu pula nggak harus pacaran dulu buat tahu rasanya cemburu atau patah hati. Cemburuku sih selama ini cuma sebatas naksir perempuan yang ternyata pacar orang atau perempuan itu cenderung suka ke orang lain, tapi nggak sampai yang pingin rebut gitu enggak sih. Suka ya, suka aja. Sewajarnya aja. Kalau berlebihan dan nyatanya nggak bisa dapetin dia, malah nanti sakitnya banget-banget.

Merayakan Cinta ✔ [NEW]Where stories live. Discover now