✩06. Bad Day✩

102 37 97
                                    

Ketika Erina berniat menginjakkan kaki ke anak tangga. Dia merasakan sebuah jaket mendarat di bahunya. Spontan, Erina melirik ke kanan, mencari tahu siapa yang telah menaruh jaket di bahunya. Akan tetapi, pandangan Erina langsung menunduk. Dia menyembunyikan wajah, di balik rambut sebahu miliknya. "Nicholas? Mau apa dia naruh jaket di bahu gue?" batin Erina.

Nicholas mengerutkan kening. Dia menatap selidik ke arah Erina. Erina langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Dia terus menyembunyikan wajah, sampai Nicholas berjongkok, mendongak melihat wajah Erina yang menunduk, "Erina? Lo abis disiram air pel juga? Kayak si Arga?"

"Eng ... enggak!" Erina langsung menaikkan pandangannya. Dia melirik ke kiri, tak mau menatap langsung ke bola mata Nicholas.

Perlu beberapa detik, untuk Erina mengingat tentang jam pelajaran yang dia lewati. Erina langsung melepas jaket, berniat memberikannya pada Nicholas.

"Jangan diambil, mendingan lo pake aja," tawar Nicholas.

"Engga ... enggak usah. Gue gak butuh," tolak Erina menjulurkan jaket Nicholas.

Nicholas menundukkan pandangan, ke arah jaket yang ada di tangan Erina. Dia mendorong jaket itu ke depan, meminta Erina menerimanya, "Jangan bohong. Gue tahu lo butuh."

"Gue beneran gak papa. Lagian di sekolah ini 'kan dilarang pake jaket kalo di kelas," ucap Erina.

"Halah, gak usah sok peduli sama aturan sekolah. Lagian lo udah bolos satu jam pelajaran," kata Nicholas.

"Pake jaket sehari ini aja, tambahin ngelanggar aturannya," kompor Nicholas.

Erina mendengkus, dia menaikkan pandangannya ke atas. "Gue gak kayak lo---"

Ketika matanya bertemu mata Nicholas, Erina langsung menundukkan kembali pandangannya. Dia mendorong jaket ke tangan Nicholas. "Ambil ini, terus balik lagi ke kelas lo. Jangan bolos kelas."

"Gue lagi jamkos, lo gak perlu khawatir," kata Nicholas.

Erina terus menerus mendorong jaket ke tangan Nicholas. Nicholas lalu melanjut, "Dibanding ngekhawatirin gue, mendingan lo pikirin gimana cara supaya bisa nutupin, seragam basah yang lo pake. Soalnya dalema---"

Kedua mata Erina memelotot, dia menutup bibir Nicholas dengan salah satu tangannya. Sebelum mengambil jaket yang sedari tadi Nicholas tawarkan. Tanpa permisi, Erina memakai jaket itu hanya dalam hitungan detik. "Gue ... gue pinjem jaketnya."

Nicholas bernapas lega, setelah bibirnya dilepas Erina. Dia menyilangkan tangan di depan dada. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas, dia menggelengkan kepala. Nicholas memberitahu, "Awalnya jaket itu buat si Arga. Gara-gara temen gue gak sengaja ngelempar ember berisi air ke kepalanya. Siapa tahu dia butuh jaket."

"Tapi pas dipikir-pikir, bisa jadi Arga udah pinjem seragam ke sekolah," sambung Nicholas.

Erina tanpa sadar tertawa kecil, memikirkan ember yang mendarat tepat di kepala mantannya. Seharusnya Erina mengucapkan terima kasih lebih, karena Nicholas membantunya melampiaskan rasa kesalnya. Meskipun pada akhirnya, Arga kembali membuatnya geram. "Gue---"

Nicholas tiba-tiba menundukkan wajah lalu menatap ke arah wajah Erina. Matanya memincing, "Lo baru aja ngetawain gue?"

Bola mata Erina membulat sempurna, melihat wajah Nicholas yang ada tepat di depannya. Dia langsung memundurkan langkahnya, sebelum membalas, "Gue ... gak ketawa."

Nicholas tetap menatap tajam Erina. Setelah beberapa detik, akhirnya dia tertawa sendiri menertawakan tingkah Erina. "Kalo mau ketawa, ya ketawa aja. Lagian gak ada yang ngelarang lo ketawa 'kan?"

Detik-detik berlalu, Erina berjalan ke kelasnya di temani dengan Nicholas. Arah kelas keduanya memang sama, jadi, mau tak mau Erina harus berjalan bersama Nicholas. Tak jarang ada guru yang mereka temui. Tanpa rasa malu, Nicholas menyapa sembari memberitahu alasan dia dan Erina berkeliaran di luar kelas. Setidaknya Erina merasa tenang, karena tak ditandai sebagai siswi pembolos.

Diam-diam, Erina melirik ke samping, lebih tepatnya mencuri-curi pandang agar bisa melihat wajah Nicholas secara langsung. Mata agak sipit yang menatap lembut ke arah depan. Hidung mancung yang terlihat jelas jika dilirik dari samping. Ditambah bibir yang senang berbicara tanpa henti. Untuk beberapa waktu, sudut bibir Erina terangkat. Dia tersenyum kecil, mendengarkan ucapan tak bermutu Nicholas.

"Kelakuan betina. Kalo guru gak ada, mereka diem-diem dandan di kelas berjamaah. Apa mereka pikir sekolah ini acara kondangan ya?" celetuk Nicholas ketika melewati kelas tanpa guru.

Erina tak menyangkal ucapan Nicholas. Dia menganggukkan kepala setuju. Terkadang Erina juga sempat bingung, melihat mereka berdandan tanpa takut ketahuan guru.

Nicholas lalu berbisik, "Menurut kelas 10 Ips 2, siswi-siswi di sana kalo nyembunyiin alat-alat kecentilan dari razia dadakan ... Bener-bener berusaha keras."

"Bahkan, lipstik aja bisa disembunyiin di kaus kaki. Gue gak abis pikir, sebau apa tuh lipstik ada di sana."

"Osis udah berulang kali ngerazia, tapi mereka gak ada kapok-kapoknya."

Setelah sampai di depan kelasnya. Erina tak langsung membuka pintu. Dia diam-diam mengendap-endap ke arah jendela. Baru kemudian berjinjit, mengintip ke dalam ruangan. Erina sempat kesusahan memeriksa apakah ada guru atau tidak. Nicholas berinisiatif membantunya. Dia berjinjit sedikit, lalu memberitahu, "Gak ada guru. Kelas lo lagi jamkos. Mungkin aja temen-temen lo lagi dikasih tugas, makannya pada diem."

Kepala Erina mengangguk senang. "Oh oke, gue ... masuk duluan ya," pamitnya tanpa melirik ke arah Nicholas. Nicholas hanya berdeham, dia lalu berjalan santai menuju kelasnya.

Setelah Nicholas tak ada di sampingnya, Erina baru berani menatap ke depan. Dia melihat punggung Nicholas semakin menjauh dari pandangannya. Nicholas masuk ke kelasnya, tanpa mengintip-ngintip seperti yang Erina lakukan. "Ah, gue lupa bilang makasih sama Nicholas."

Erina masuk ke kelasnya dengan perasaan lega. Dia duduk manis di meja, tanpa ada seorang pun yang bertanya kenapa dia baru masuk kelas. Erina menjatuhkan pipinya ke meja. Dia perlahan menutup kelopak matanya. Dalam ingatan Erina, dia masih memikirkan produk-produk kecantikan untuk merawat kulit wajahnya.

Terlintas di piliran Erina untuk meminta sang Ibu membelikannya perawatan seperti itu. Akan tetapi keluarga Erina adalah keluarga kurang mampu. Erina sudah menjadi beban keluarga, dia tak mau membebani orang tuanya dengan permintaannya ini.

Namun, perkataan-perkataan orang lain selalu menghantuinya. Erina tak bisa hidup tenang, jika wajahnya terus-terusan seperti ini. Dia harus berubah.

"Ngumpulin uang jajan buat beli skincare, bakal cukup gak ya?" Erina langsung mengangkat pipinya dari meja. Dia mengambil ponsel, lalu melihat ke arah kalender di ponselnya.

"Nabung 60 hari, apa bisa?

Erina tersenyum manis, membayangkan banyak perawatan kulit yang akan ada dipelukannya. Dia jadi tak sabar, untuk menunggu waktu di mana wajahnya bisa terawat. Hanya saja apakah semudah itu untuk mengumpulkan uang? Padahal saat ini, banyak sekali kebutuhan yang harus Erina penuhi.

· · • • • ࿙✩࿙ • • • · ·

BYE BYE MY NIGHTMARE ☑Where stories live. Discover now