✩30. Bongkar Pasang✩

47 20 3
                                    

Tepat di sebuah taman kota, seorang gadis tengah duduk di kursi taman. Helaian rambut panjang gadis itu tertiup angin. Dia perlahan menutup kelopak mata, sembari bersenandung bahagia. Padahal, salah satu kakinya baru saja mengalami kecelakaan. Oleh karena itu, dia izin tak masuk sekolah, lalu menghabiskan waktu di taman seorang diri.

"Kalo gue gak bisa meranin peran putri bulan, berarti Erina juga gak boleh meranin peran utama," gumam Sabrina.

Bola mata gadis itu fokus menatap ke arah bunga-bunga yang ada di depan matanya. Sabrina membawa salah satu tangkai bunga ke arah hidungnya. Dia mencium aroma harum, sebelum meremas-remas bunganya yang cantik. "Meskipun kaki gue cedera dan gak bisa ikut tampil. Tapi itu gak papa, yang penting Erina gak bisa jadi Putri bulan, dan bahkan disalahin semua anggota klub."

"Beruntung juga, gue punya temen-temen beg* yang mau aja dikibulin," ujar Sabrina tersenyum senang.

Ketika jari jemarinya sibuk meremas-remas bunga. Sabrina tiba-tiba mencium aroma tak sedap dari tangannya. Dia langsung mendekatkan tangan ke hidung, mengingat bau apa yang menempel pada tangannya. "Perasaan gue udah mandi, gue juga pake losion sama parfum. Kok masih bau sabun yang kemarin sih?"

"Bisa gawat, kalo ada yang tau tangan gue bau sabun ini," ujar Sabrina panik. Dengan langkah terpincang-pincang, Sabrina berjalan menuju keran air. Tak butuh lama, untuk menyalakan keran air dan membasuh kedua tangannya.

Sabrina sudah berulang kali membasuh tangannya dengan teliti. Hanya saja, bau sabun itu tak kunjung hilang. Sabrina mengernyitkan alis, saat hidungnya mencium bau di tangannya lagi. "Kenapa gak ilang-ilang sih baunya? Gue harus gimana supaya bau ini ilang?"

Aliran air terus mengalir mengenai tangan Sabrina. Gadis itu membersihkan tangannya sampai memerah. Dia kesal, sekaligus marah karena tak bisa menghilangkan baunya. Hingga akhirnya, Sabrina memutuskan untuk berhenti mencuci tangan. "Gue harus beli sabun cuci tangan kayaknya."

Tepat saat Sabrina mengatakan hal itu, tiba-tiba saja sebuah botol sabun kecil terulur ke depannya. Sabrina mengernyitkan alis, siapa yang sudah memberinya botol sabun ini? Tanpa memedulikan apa-apa, Sabrina mengambil botol sabun itu. Dia menuangkan sabunnya ke atas tangan, sebelum melirik ke samping.

"Makasih sabun---"

Sabrina pikir, botol sabun itu dari Arga. Namun, matanya memelotot lebar melihat Nicholas berdiri tepat di hadapannya. Cowok berhidung mancung, dengan mata sipit itu menyilangkan tangan di depan dada, sementara matanya menatap rendah ke arah Sabrina. Dia berkata, "Gak usah bilang makasih segala. Lagian gue emang ngasih sabun itu khusus buat lo kok. Biar hati lo bersih, tanpa rasa iri."

"Nicholas? Ngapain lo ada di sini?" tanya Sabrina.

"Febri bilang, lo gak sekolah karena cedera. Jadi gue sengaja pergi ke rumah lo. Tapi, kata nyokap lo ... Lo lagi ada di taman ini. Jadi ya, gue ke sini, niatnya mau ngejenguk lo sih," ungkap Nicholas.

Sabrina langsung memberikan sabun yang dia pegang kepada Nicholas. Gadis itu berusaha untuk menyembunyikan rasa gugupnya. Dia berkata, "Ngejenguk? Tumben lo mau jenguk gue?"

"Bukan jenguk juga sih, lebih tepatnya menginterogasi," jelas Nicholas.

Ucapan Nicholas semakin membuat Sabrina ketakutan. Gadis itu memundurkan langkahnya ke belakang. Dia tertawa kecil, sebelum menerka, "Jika ini soal masalah Erina. Maaf, gue gak mau ngurusin soal itu lagi."

Sabrina berbalik ke belakang. Dia kembali berjalan terpincang-pincang menjauhi Nicholas. Sementara Nicholas memandang heran ke arah Sabrina. Dia tersenyum kecut, sebelum berucap, "Sabrina, lo udah kena azab. Masih aja, seneng nyari-nyari masalah. Lo emangnya mau, kena azab yang lebih parah?"

"Harusnya lo mikir. Kalo lo buat hubungan Erina sama anggota klub teater lainnya renggang, terus gimana sama pertunjukan mereka nanti?"

"Kalian udah latihan bareng-bareng. Dan lo juga tahu, gimana susahnya latihan itu. Ngehafal dialog, nada, sama tariannya itu gak gampang."

"Dan sekarang? Tiba-tiba dua anggota yang ngambil peran paling penting, gak jadi tampil?" kata Nicholas.

Sabrina berbalik ke arah Nicholas. Dia tergagap, "Gue ... gue gak ngelakuin apa-apa! Erina ... Erina ... Erina emang berniat nyelakain gue! Dia mau jadi putri bulan, lo juga tau itu 'kan?"

"Masih belum mau ngaku juga, ternyata," batin Nicholas.

Nicholas mengambil ponselnya. Dia berniat menghubungi salah satu temannya, sementara bibirnya mengungkap, "Lo tau, kalo gue itu peramal abal-abal? Menurut prediksi gue, lo bakal dibenci satu klub kalo masih gak mau ngaku."

"Erina emang punya bakat akting, tapi dia gak punya bakat bohong. Beda lagi sama lo, lo 'kan emang ratu drama yang suka nyari-nyari perhatian," jelas Nicholas.

Sabrina mulai kesal. Kedua tangannya mengepal, sementara matanya menatap tajam ke arah Nicholas. "Udah gue bilang! Gue beneran korbannya Erina!"

Nicholas tak memedulikan perkataan Sabrina. Dia menunduk, sementara jari jemarinya fokus mengetik di layar ponsel. Setelah nomor yang dia tuju mengangkat teleponnya, Nicholas berkata, "Halo Farel. Kemarin-kemarin lo bilang, lo abis liat Sabrina beli sabun di supermarket sebelah sekolah. Itu beneran?"

"Benerlah! Masa gue bohong! Gue mau nyapa dia, tapi takut si Arga ngamuk lagi. Jadi gak bisa godain dia lagi," jawab Farel di telepon.

Nicholas langsung mematikan sambungan telepon. Dia melirik ke arah Sabrina yang sudah mematung dengan wajah tanpa ekspresi yang jelas. Semua tubuh Sabrina bergetar, tapi gadis itu masih belum mau mengaku, "Dia pasti bohong!"

"Bohong? Jadi harus kah kita cek cctv supermarket?" tanya Nicholas.

"Gue emang beli sabun, tapi itu pesenan nyokap gue!" ucap Sabrina.

Nicholas mengeluarkan napas panjang. Dia berdecak, kemudian memeriksa pesan terbaru dari para temannya. Setidaknya Nicholas bangga, karena dia bersahabat dengan semua murid yang ada di Sma Harapan Bangsa. Jadi tak sulit baginya untuk mengamati gerak gerik Sabrina. Karena Nicholas mempunyai mata-mata di semua sudut sekolah. "Gue harus telepon siapa lagi ya? Yang pernah liat lo bawa-bawa sabun ke sekolah diem-diem?" tanya Nicholas.

Sabrina semakin merasa cemas, apalagi saat Febri tiba-tiba datang entah dari mana. Gadis itu mendatanginya dengan tatapan tajam. "Gue kecewa sama lo."

"Karena ulah lo, latihan kita selama ini hampir aja jadi sia-sia," kata Febri.

Terjadi keheningan beberapa saat. Febri terus memandang ke arah Sabrina. Sementara Sabrina hanya bisa mematung tak bisa mengelak, karena tak ada satu pun dari Nicholas dan Febri yang membela dirinya.

Febri menghela dan mengeluarkan napas cemas. "Nikol, apa kita masih bisa tampil buat acara ulang tahun sekolah?"

"Waktunya tinggal beberapa hari,lagi."

"Dibanding ngeributin hal ini, lebih kita nyari solusi buat klub teater," kata Febri.

Nicholas memasukan ponsel ke dalam jaketnya. Dia mengangguk,"Gue nanti coba minta bantuan Erina, sama temen-temen gue yang lain."

· · • • • ࿙✩࿙ • • • · ·

BYE BYE MY NIGHTMARE ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang