✩10. Buku Gratis

60 22 7
                                    

Tepat saat matahari terbit, Erina sudah bersiap-siap pergi ke sekolah. Dari membuka mata, sampai sarapan di meja, dilakukan Erina secepat mungkin. Itu karena dia belum mengerjakan tugas fisika, dan sialnya lagi buku itu malah tertinggal di kelasnya. Erina berharap, dia bisa datang lebih awal ke sekolah. Tentunya untuk mengerjakan tugas Fisika.

"Kalo guru lain pasti memaklumi, tugas gak dikerjain karena bukunya ketinggalan di kelas. Tapi kalo guru fisika gue? Udah kena marah karena gak disiplin, nilai jadi berkurang lagi," rutuk Erina sembari menalikan tali sepatunya.

Tiba-tiba saja, sebuah ingatan muncul dari otaknya. Erina mengingat saat salah satu temannya tak mengerjakan tugas, karena bukunya ketinggalan. Selain tugasnya membuat otak pusing, gurunya juga mempunyai hobi menggerutu dan memotong nilai seenak hati. Hal itu membuat Erina bergidik ngeri. "Seenggaknya karena gue gak cantik, gue gak boleh males apalagi jadi sasaran amarah guru fisika."

Erina bersemangat pergi ke sekolah. Sasarannya saat ini hanya satu, mengerjakan tugas secepat mungkin. Sayangnya, hal itu hanya bisa menjadi rencana saja. Ketika Erina melewati ruang guru, tiba-tiba saja Bu Mirna, seorang guru Biologi memanggil namanya.

Jika musuh Erina adalah fisika. Maka teman dekat Erina adalah biologi. Selain Erina suka mempelajari alam, guru biologi Erina juga sangat dekat dengannya. Sangat dekat, sampai guru itu mengandalkan Erina untuk dimintai tolong. Seperti saat ini, Erina mengembuskan napas pelan, pastinya orang itu akan meminta bantuan. Terlebih, tak ada murid lain yang ada di sekolah ini.

"Selamat pagi, Bu," sapa Erina dengan senyum ramah.

Bu Mirna ikut tersenyum. Tanpa lama-lama, dia langsung berkata, "Erina, Ibu boleh minta tolong?"

Sudah Erina duga. Sudut bibir Erina masih terangkat. Dia menganggukkan kepala, lalu membalas, "Minta tolong apa, Bu? Kalo bisa saya lakuin, pasti saya bantu."

Bu Mirna tampak mengembuskan napas lega. Dia melirik ke arah ruang guru, kemudian berbisik, "Gantiin ketua osis buat ikut mewakili sekolah memberi sumbangan."

"Sumbangan?"

"Hari ini, sekolah berniat memberikan sumbangan itu ... kepada anak-anak korban banjir yang mengungsi di kelurahan kamu. Sayangnya, kami gak tahu letaknya di mana, " sambung Bu Mirna.

Mata Erina memelotot. "Emangnya kenapa harus diganti, Bu? Kak Yudha 'kan juga tahu jalan ke sana."

"Tadi pagi, mendadak dia sakit perut. Jadinya harus diganti. Kamu mau 'kan ngewakilin murid sekaligus ngasih tahu jalannya?"

Erina sempat berpikir beberapa saat. Sekolah ini selalu membantu memberikan sumbangan secara langsung. Itu karena takut sumbangannya dikorupsi oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

"Kita mau berangkat sekarang, tapi belum ada murid yang datang selain kamu," kata Bu Mirna.

"Sekarang?!" Erina semakin memelototkan mata. Dia tiba-tiba langsung setuju. "Berarti saya dispen sekolah sehari dong, Bu."

"Iya."

Rasanya Erina seperti mendengar jawaban dari surga. Siapa yang tak senang, bisa izin tak melewati pelajaran yang tak disukai? Akhirnya Erina bisa lolos dari tugas yang belum dikerjakan. Memang benar, jika Bu Mirna---guru biologi---merupakan guru kesukaan Erina. "Baik, Bu!"

Senyum Erina melebar, memikirkan saat tangan dan otaknya tak perlu bersusah payah berpikir. Sebenarnya teman-teman Erina terkadang berbagi sontekan tugas dari kelas lain. Berbeda lagi dengan Erina yang selalu memikirkan semuanya sendiri. Dia tak suka menjawab pertanyaan, secara instan. Erina lebih suka mengerjakan satu persatu.

Setelah berpikir, bisa melewati hari ini dengan indah, tiba-tiba saja terdengar celetukan Nicholas, "Ohh berarti saya sama Erina yang wakilin siswa siswi ya, Bu?

"Nicholas?!" Erina langsung melirik ke samping. Dia mengerutkan kening, melihat Nicholas tiba-tiba ada di sampingnya. Dari mana orang ini muncul? Lalu sejak kapan dia ada di samping Erina? Terkadang Erina tak mengerti, kenapa Nicholas bisa muncul secara tiba-tiba. Erina jadi curiga jika Nicholas sebenarnya adalah seorang penyihir. "Nichopotter."

Bu Mirna menjawab, "Iya, kamu sama Erina. Ibu percaya, kalian bisa ngarahin guru-guru."

Nicholas tersenyum percaya diri. Setelah Bu Mirna pergi, dia mengibas-ngibaskan rambut. Sebelum memuji dirinya sendiri, "Oiya dong, Nicholas gitu."

"Loh? Kalo ada Nicholas yang ngarahin, kenapa saya juga harus ikut?" heran Erina.

Nicholas berbisik, "Buat nemenin gue mungkin. Masa gue murid seorang diri, di antara para guru."

"Gue gak punya temen ngobrol sebaya."

Erina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Dia kemudian berjalan, beriringan dengan Nicholas menuju parkiran. Seperti biasa, ketika berada di dekat Nicholas. Erina harus bersabar, telinganya dipenuhi oleh ucapan-ucapan Nicholas. Erina tak mengerti, apa Nicholas tak bisa menutup bibirnya untuk tak berbicara?

"Erina. Lo masih marah sama gue?" tanya Nicholas.

"Enggak," jawab Erina singkat.

"Gue 'kan udah minta maaf. Lagian cuman bercanda kok. Jepitnya bener-bener udah gue bersihin dulu," ucap Nicholas.

Erina mendengkus, dia kembali mengingat jepit dari tong sampah yang diberikan Nicholas. "Gak papa. Gue cuman kesel sedikit."

"Tapi lo mar---"

"Gue gak papa! Jadi diem, jangan dibahas lagi." Erina hampir saja marah, mengingat jepit itu pernah menempel di rambutnya. Dia sekarang mengerti, kenapa setiap hari banyak orang yang mengejar-ngejar Nicholas dengan amarah. Bagaimana tidak dimarahi, jika Nicholas sangat senang berulah. Tampaknya cowok itu tak bisa hidup tanpa masalah sehari saja.

Erina mempercepat langkah, begitu juga dengan Nicholas yang membuntutinya dari belakang. Keduanya akhirnya sampai di parkiran, mereka menunggu beberapa guru yang akan ikut. "Erina."

"Apa?"

Nicholas membuka tasnya. Dia mengambil sebuah buku, kemudian menjulurkannya ke arah Erina. "Ambil ini."

"Ini ... apa?" tanya Erina bingung, ketika buku itu sudah ada di tangannya.

"Kertas jimat," jawab Nicholas.

"Apa?!"

Nicholas berdecak, sembari menunjuk-nunjuk buku yang ada di tangan Erina, "Itu buku lah!"

Kening Erina mengerucut, sementara Nicholas tersenyum. "Buku itu berisi cara menemukan jati diri dan cara-cara mencintai diri sendiri."

"Kenapa lo ngasih ini ke gue?" tanya Erina.

"Buku itu buat lo. Sebenarnya itu hadiah dari Tante gue, yang kerja di toko buku. Tapi berhubung, gue udah selesai baca dan hapal semua isinya. Dibanding nganggur, mending kasih ke orang yang membutuhkan," ucap Nicholas.

"Lo ngasih gue segampang ini? Gratis lagi?" tanya Erina.

Nicholas menepuk jidat. "Enggaklah. Karena lo gak mau gue bertanggung jawab, sama makanan yang gue jatuhin. Sebagai gantinya, lo bisa milikin buku gue."

"Lo mungkin but---"

"Ish! Gue udah sangat mencintai diri gue sendiri, jadi gak perlu baca-baca lagi buku itu. Mendingan bukunya buat lo aja," gerutu Nicholas.

Erina akhirnya menganggukkan kepala. Sembari menunggu para guru, jari jemari lentiknya membuka lembaran halaman kertas. Dia diam-diam tersenyum membuka halaman pertama. Erina membaca, "Teruntuk Bocil Nakal Kesayangan Tante."

"Kayaknya buku ini dikasih spesial buat lo. Kenapa lo malah ngas---"

"Erina. Gue emang bawel dan suka ngomong. Tapi gue juga males kalo harus jawab pertanyaan lo dua kali. Jadi jangan nanya hal yang sama. Bibir gue cape ngejelasin," gerutu Nicholas.

"Iya deh." Jari jemari Erina menelusuri tiap kalimat yang ada di buku. Dia tersenyum senang, menyukai barisan kalimat yang dibacanya. Nicholas tanpa sadar ikut tersenyum memperhatikan Erina membaca bukunya dengan teliti. Dia berharap, teman masa kecilnya itu selalu tersenyum seperti ini.

· · • • • ࿙✩࿙ • • • · ·

BYE BYE MY NIGHTMARE ☑Where stories live. Discover now