✩29. Bakat Berbohong✩

45 20 1
                                    

Di bawah pohon mangga, yang berada di belakang perpustakaan sekolah. Erina duduk bersandar di batang pohon. Tetes demi tetes air, berjatuhan dari mata gadis itu. Erina segera menghapusnya, tapi air itu masih tetap berjatuhan dari matanya. Akhirnya, Erina menggunakan kedua tangannya untuk menutupi wajah.

"Kenapa gak ada yang percaya sama gue?"

"Kenapa mereka percaya sama Sabrina gitu aja?"

"Kenapa juga, Sabrina nuduh gue tanpa bukti. Gue salah apa sama dia?" tanya Erina dalam hati.

Kenapa, kenapa dan kenapa. Puluhan pertanyaan memenuhi pikiran Erina. Dia tak bisa berpikir positif lagi. Sehingga bola matanya terus dilapisi cairan bening. Kapan air mata Erina akan menghilang? Erina bosan, terus menangisi nasib hidupnya yang malang. Padahal dia baru saja melupakan semua mimpi buruk, yang membuat kepalanya pusing.

"Sabrina dibela, karena dia punya banyak temen. Semua temennya pasti mihak Sabrina, walaupun dia cuman asal ngomong aja," pikir Erina.

"Gue gak punya banyak temen, yang bakal belain gue kayak Sabrina."

"Lagi-lagi gue kalah."

"Gue kalah Nicholas."

"Gue kalah."

Erina memeluk tubuhnya sendiri. Dia menenggelamkan wajahnya ke tangan, untuk menyembunyikan tangisan yang tak kunjung berhenti. Andai saja, Nicholas ada di sini. Erina ingin menceritakan semua yang sudah terjadi.

· · • • • ࿙✩࿙ • • • · ·

Ulang tahun sekolah, sudah bisa dihitung oleh jari. Sejak kejadian Sabrina menuduh Erina mencelakainya, Erina tak sudi untuk menemui gadis itu lagi. Terlebih lagi, saat Sabrina sengaja memberitahukan hal ini, pada semua kenalannya. Jelas saja, satu sekolah mulai mengetahui hal ini.

Erina memutuskan untuk tidak mempedulikan kalimat yang menyakiti hatinya. Dia terkadang mendengar, orang-orang di koridor sekolah membicarakannya. Akan tetapi, suara-suara sindiran mereka tak didengar Erina. Gadis itu memilih untuk menyumpal lubang telinganya, dengan earphone.

"Febri terus-terusan ngirim pesan sama gue. Tapi gue gak pernah buka, apalagi bales pesannya," gumam Erina saat melihat notifikasi ponselnya.

Gadis itu menatap beberapa detik ke arah layar ponselnya. Terbesit ide untuk membaca pesan dari Febri. Namun, hal itu segera ditolak oleh egonya. Erina menduga, "Febri salah satu temen baik Sabrina. Palingan, dia cuman mau nyalahin gue aja. Sama kaya temen-temen Sabrina yang lainnya."

"Percuma baca pesannya. Bikin hati gue sakit aja."

Karena Erina menyumpal telinganya dengan earphone, dia tak bisa mendengar suara-suara orang yang sedang membicarakannya. Erina fokus mendengarkan musik, dengan pandangan lurus ke depan. Harapan Erina adalah pergi ke kelas tanpa hambatan. Sayangnya, di tengah jalan, seseorang mengambil earphone yang dikenakan Erina. Jelas saja, Erina naik darah. Dia sedang tak mau diganggu, dan earphone-nya malah dilepas. "Lo mau apa sih?"

"Eh? Nicholas?" Erina tersentak kaget, saat menemukan sosok Nicholas dengan napas terengah-engah. Cowok itu memegangi earphone Erina, sembari berkata, "Pantesan aja, gue panggil-panggil gak denger! Ternyata lo pake earphone!"

Sudut bibir Erina tanpa sadar terangkat. Kedua matanya berbinar, menemukan cowok berhidung mancung yang tidak dia temui selama berhari-hari. Erina tanpa sadar menyentuh kening Nicholas, dia bertanya, "Lo udah masuk sekolah lagi? Udah sembuh?"

Nicholas menepuk kening Erina. Dia ikut bertanya, "Lo kenapa semangat banget liat gue masuk sekolah? Udah kangen berat, ya?"

Erina kali ini tak mengelak ucapan Nicholas. Dia tanpa malu, menganggukan kepala. Perlu Erina akui, dia memang merindukan sosok Nicholas. Tanpa orang itu, Erina tak mempunyai teman yang ada di sisinya ketika semua orang menyudutkannya.

Nicholas tersenyum manis, dia memegangi keningnya sebentar. "Gue udah sembuh."

Hanya tiga kata, yang membuat senyum di bibir Erina merekah indah. Gadis itu berucap, "Syukur aja kalo lo udah sembuh."

Erina berjalan bersama Nicholas ke arah kelasnya. Mereka mengobrolkan hal-hal tak penting. Sampai Nicholas akhirnya mengungkit soal klub teater. "Erina, lo gak mau nyeritain soal Sabrina ke gue?"

Terjadi keheningan bebeberapa menit. Erina ingin bercerita, tapi dia tak yakin Nicholas akan mempercayainya. Erina takut, Nicholas malah menyudutkannya seperti teman-temannya yang lain. "Kita bahas lain kali aja. Gue sekarang mau ke kelas dulu," tolak Erina.

"Ceritain sekarang, biar lo gak punya beban pikiran lagi. Gue siap kok, dengerin cerita lo," kata Nicholas.

"Tapi lo bawel, gue takut, lo malah ngumbar ucapan gue, buat dijadiin bahan gosipan sama temen-temen lo," ujar Erina.

Nicholas tertawa kecil. "Selain bawel, gue juga bisa dipercaya buat jaga semua rahasia lo. Gue janji, gak bakal bikin masalah makin pusing."

"Gue berniat bantuin lo Erina," lanjut Nicholas.

Erina menundukkan kepala, dia memainkan jari jemarinya. "Lo emangnya bakal percaya sama semua ucapan gue?" tanya Erina ragu.

Pertanyaan dari Erina, malah membuat Nicholas tertawa kecil. Cowok itu menepuk-nepuk bahu Erina, sebelum mengungkap,"Percaya sama ucapan manusia itu, merupakan salah satu hal terbeg* yang ada di dunia ini."

"Gue gak akan percaya sama ucapan siapa pun, kecuali sama kebenaran yang ada di depan gue," lanjut Nicholas.

Erina semakin menurunkan sudut bibirnya, dia benar-benar tak berminat untuk bercerita pada Nicholas. Mungkin saja pemuda itu malah menertawakan ceritanya. Namun, tiba-tiba saja suara Nicholas melembut. Dia berbisik pelan ke telinga Erina. "Salah satu kebenaran itu, adalah ucapan yang selalu muncul di bibir lo."

"Karena lo gak punya bakat buat bohong Erina."

"Bener-bener gak punya bakat bohong," lanjut Nicholas tersenyum lebar.

Hati Erina menghangat mendengar ucapan tulus Nicholas. Dia tak bisa menyembunyikan senyuman di wajahnya. Erina akhirnya memberanikan diri, menatap langsung ke arah wajah Nicholas.

Kedua bola mata Erina bertemu langsung dengan Nicholas. Mendadak Erina menjadi gugup, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Dia juga merasakan sakit melilit di bagian perutnya. Perasaan ini membuat Erina memalingkan wajah ke arah lain. "Nicholas, gue ... gue ... gak bisa cerita sekarang."

"Kenapa lagi?" tanya Nicholas mengerutkan kening heran.

"Nanti aja jam istirahat. Soalnya, gue mendadak sakit perut," kata Erina.

Nicholas bertanya, "Lo belum sarapan?"

"Udah sih, cuman sedikit."

"Yaudah, kita ke kantin dulu, buat beli sarapan buat lo," ajak Nicholas.

Kepala Erina langsung menggeleng. Dia tak bisa bersama dengan Nicholas lebih jauh lagi. Semua anggota tubuhnya menegang. Erina bahkan tiba-tiba menahan napasnya sendiri, takut Nicholas mengetahui kegugupannya. "Enggak usah! Gue, gue pergi ke kelas sekarang juga! Bye bye Nikol!" ucap Erina sembari berlari pergi.

Nicholas menatap heran ke arah punggung Erina yang semakin jauh dari pandangannya. Dia menatap Erina sembari tersenyum kecil. "Gue sebenernya udah tau, semua gosip tentang Erina dari Febri."

"Abang Nicholas yang tampan, rajin beramal, dan tak pernah hilang akal, gak mungkin gak tahu info terbaru tentang sekolah ini."

"Gue cuman mau, Erina ceritain semua masalahnya ke gue," batin Nicholas. Perlahan, cowok itu mengambil ponsel di saku jaketnya. Jari jemarinya mulai menelepon seseorang. Sementara bibirnya tersenyum kecil, Nicholas bergumam,"Tenang aja, gue bakal bantuin ngurus semua kekacauan ini."

· · • • • ࿙✩࿙ • • • · ·

BYE BYE MY NIGHTMARE ☑Where stories live. Discover now