✩32. Berubah ✩

52 19 3
                                    

"Jadi, gimana tawaran gue? Lo mau 'kan jadi putri bulan?" tanya Nicholas.

Butuh waktu beberapa detik, bagi Erina untuk menjawab pertanyaan Nicholas. Kening gadis itu berkerut bingung, sementara jari jemarinya berulang kali meremas rok sekolah. Setelah berpikir keras, Erina kembali menolak, "Enggak."

Nicholas mengembuskan napas pasrah. Entah harus bagaimana lagi, cara untuk membujuk Erina. Kenapa Erina tak kunjung menuruti permintaan Nicholas? Padahal Nicholas sudah membujuk dengan berbagai macam cara.

"Erina, gue mohon." Mata Nicholas berbinar ke arah Erina. Dia menyatukan telapak tangannya, dengan wajah yang berhadapan ke arah Erina.

Diperhatikan sedekat ini, membuat Erina semakin gugup. Erina tak bisa melihat Nicholas mengemis kepadanya seperti ini. Gadis itu akhirnya berucap, "Bakal gue coba. Tapi kalo anggota klub yang lain gak setuju, lo gak boleh bujuk-bujuk gue kayak gini lagi."

Nicholas tersenyum lebar. Dia menepuk kepala Erina, sebelum berujar, "Nah! Gini dong! Harusnya sejak tadi lo bilang kayak gini, jangan buang-buang waktu."

Tepat saat Nicholas berniat mengajak Erina masuk ke ruangan klub. Tiba-tiba di balik tembok, muncul satu persatu anggota klub teater. Sebenarnya mereka sudah mendengar dan memperhatikan Nicholas membujuk Erina.

"Loh?" Erina mengernyitkan kening, melihat satu persatu anggota klubnya ada di hadapannya. Mereka tersenyum ke arah Erina, tanpa mengatakan kalimat-kalimat yang menyakiti hati Erina.

Febri berdeham, dia menepuk-nepuk punggung Nicholas. "Makasih udah bawa Erina ke sini lagi."

Tak ada ujaran kebencian atau hinaan yang tertuju pada Erina. Sekarang, semua anggota meminta maaf dan membujuk Erina untuk kembali. Mereka bahkan berjanji tak 'kan mengulangi hal yang sama.

"Maaf, gue belain Sabrina. Karena dia temen baik gue. Tapi, pas tau Sabrina fitnah lo, gue beneran merasa bersalah. Jadi, maaffin kita semua."

Kalimat permintaan maaf, terdengar tulus di telinga Erina. Gadis itu tersenyum senang. Akhirnya kesalahpahaman ini berakhir juga. Erina bahkan diberikan tempat untuk menjadi peran utama yang diimpikannya. "Gue udah maapin kalian semua. Lagian ini cuman salah paham. Tapi lain kali, kalo mau nuduh orang, lebih baik dipikir-pikir lagi," peringat Erina.

Nicholas tersenyum mendengar ucapan Erina. Dia ikut senang, karena Erina sekarang sudah mau menyampaikan apa yang ada di otaknya. "Yaudah, dibanding buang-buang waktu, mendingan kita latihan sekarang juga."

Erina tersenyum, menerima ajakan Nicholas. Harus Erina akui, setelah terbebas dari masalah ini, hubungan Erina dengan anggota klub teater semakin membaik. Bahkan lebih erat dari sebelumnya. Erina mulai diperlakukan baik oleh semua anggota. Tak ada lagi yang menganggapnya sebagai makhluk yang tak terlihat. Kondisi ini jauh lebih baik, dari saat Erina masih sendirian. Sekarang gadis itu mempunyai Nicholas, Febri, dan semua anggota klub teater sebagai temannya.

· · • • • ࿙✩࿙ • • • · ·

Setelah selesai mengubah peran, dan berlatih. Erina pulang bersama Nicholas. Sebelum naik ke sepeda motor milik Nicholas, Erina sempat bertanya, "Nicholas, lo 'kan udah sembuh, tapi, kenapa lo gak ngajuin diri jadi penjajah lagi?"

Pertanyaan Erina langsung membungkam rapat bibir Nicholas. Biasanya Nicholas tak membutuhkan banyak waktu untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan Erina. Namun, kali ini. Nicholas terdiam cukup lama, seolah-olah dia sedang memikirkan kalimat yang tepat untuk diucapkan.

"Udah gue bilang, bukan? Gue menderita penyakit kemalasan. Jadi males latihannya," kata Nicholas.

"Bohong," balas Erina.

Detik demi detik berlalu. Erina menatap heran ke arah Nicholas. Dia sebenarnya mulai merasa curiga, karena akhir-akhir ini Nicholas sering melamun. Entah apa yang cowok itu pikirkan, tapi Erina benar-benar ingin mencari tahu masalah yang sedang menimpa Nicholas. "Kalo lo males latihan, ngapain lo nemenin gue latihan di ruang klub teater?"

Kali ini, Nicholas langsung menjawab pertanyaan Erina. Dia mencondongkan tubuh ke depan Erina, kemudian berbisik, "Kalo cuman liat Balerina gue latihan doang, itu gak bikin males. Karena apa? Karena gue suka hal itu. Gue suka liat lo akting."

Erina buru-buru mengenakan helm hitam milik Nicholas. Dia sengaja menyembunyikan wajahnya yang memerah malu. Entah kenapa, akhir-akhir ini Erina selalu merasakan perasaan aneh ketika berdekatan dengan Nicholas. Dia langsung naik ke sepeda motor cowok itu, tanpa berucap satu kata pun.

"Gak sabar banget," kata Nicholas. Nicholas tersenyum jail, dia bertanya, "Lo gak berniat peluk pinggang gue?"

Tangan Erina berpegangan erat pada jaket Nicholas. Gadis itu menundukkan kepala, lalu meminta, "Jangan modus, cepet jalan!"

"Gue gak modus. Gue cuman nawarin aja, siapa tau lo malu buat meluk pinggang gue. Tenang aja, pinggang gue pelukable kok," ujar Nicholas.

"Nicholas! Cepetan jalan aja! Gak usah banyak ngomong!" kata Erina.

"Tapi gue suka ngajak lo ngomong? Gimana dong?" ujarnya.

"Yaudah! Kalo lo masih banyak ngomong, mendingan gue turun lagi," kata Erina.

Ancaman Erina membuat Nicholas segera menjalankan sepeda motornya. Di balik helm yang dikenakannya, Nicholas tersenyum saat tangan Erina mencengkeram erat jaket miliknya. Sepanjang perjalanan, Nicholas menutup mulutnya, sesuai dengan permintaan Erina.

Ketika sampai rumah Erina pun, Nicholas masih terdiam. Dia hanya tersenyum, mengamati Erina yang turun dari sepeda motornya. Gadis itu melepas helm, lalu merapikan helaian rambutnya yang berantakan.

"Wah, ternyata jepit yang gue kasih bagus juga, ya," puji Nicholas pada jepit rambut yang ada di atas kepala Erina. Erina memelototkan mata, dia meraba-raba jepit dari Nicholas. "Gue lupa ngelepasin jepitnya."

"Gak usah dilepas, lagian lo lebih cantik kalo pake jepit kayak gitu. Soalnya rambut lo suka ngalangin wajah, jadi kayak nenek lampir," komentar Nicholas.

Mulai lagi, Nicholas kembali berbicara seenak jidat. Erina hanya bisa mengelus dada, dia kemudian berpamitan masuk ke rumah, "Gue masuk dulu. Lo mau mampir dulu?"

"Emangnya lo ngizinin," tanya Nicholas.

"Enggak sih. Gue ngomong gitu cuman buat basa-basi doang. Lagian gue gak terbiasa, bawa temen cowok masuk ke rumah," kata Erina sembari tersenyum kikuk.

"Yaudah gue pamit pulang," kata Nicholas.

"Hati-hati," balas Erina.

Nicholas perlahan mulai meninggalkan rumah Erina. Setelah punggung cowok itu menghilang dari pandangannya. Erina bisa mengeluarkan napas lega. Dia memegangi jantungnya yang terus berdetak tak normal. Berada di dekat Nicholas itu, kadang membuat Erina risi, jengkel, nyaman, dan sekarang tak normal. Sumpah, jika begini terus Erina tak yakin bisa terus berada di dekat cowok itu.

Diam-diam Erina memegangi jepit yang dipasangkan Nicholas ke rambutnya. Tanpa sadar, sebuah senyuman terbit di bibir Erina. Gadis itu menepuk-nepuk jepitnya senang, sebelum berbalik berniat masuk dan berguling-guling senang di ranjangnya.

"Gue kenapa sih? Senyum-senyum sendiri kayak orang gila?" tanya Erina heran pada dirinya sendiri. Dia mencoba untuk tak tersenyum, tapi memikirkan Nicholas membuat sudut bibirnya terus naik.

Sayangnya, ketika Erina bersenandung senang memikirkan Nicholas. Suara panggilan dari masa lalunya yang kelam, membuat perasaan hati Erina menjadi sedih.

"Erina."

Erina mengenali suara ini. Dia berbalik ke belakang, menemukan sosok Arga yang berdiri tepat di depan gerbang rumahnya. "Mau apa Arga ke mari?" batin Erina.

· · • • • ࿙✩࿙ • • • · ·

BYE BYE MY NIGHTMARE ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang