✩22. Bebas Masalah✩

44 18 3
                                    

"Erina gak meranin peran apa-apa, tapi dia masih rajin kumpulan. Erina bahkan selalu bantuin kita semua."

Sabrina mengepalkan kedua tangannya. Bola matanya berair, dia muak mendengar nama Erina masuk ke dalam kupingnya. Kenapa di antara banyaknya murid di sekolah ini, Sabrina harus dibandingkan dengan Erina? Rasanya sangat menjengkelkan, sampai Sabrina ingin mengacak-acak klub teater.

Tanpa sepatah kata pun, akhirnya Sabrina pergi dari ruangan klub teater. Dia tak bisa melampiaskan amarahnya di tempat ini. Kemarahan terkadang membuatnya hilang kendali, seperti orang gila. Sabrina tak mau, semua anggota klub tahu kebiasaan buruknya.

"Sabrina!" panggil Febri.

Suara Febri diabaikan Sabrina. Gadis itu terus berlari menuju toilet sekolah. Setidaknya, Sabrina menemukan tempat untuk meredakan amarahnya.

"Erina! Erina! Erina! Erina lagi!"

"Emangnya pantes, dia dibandingin sama gue?" gumam Sabrina lalu menutup pintu toilet. Gadis itu terburu-buru menyalakan air keran, sebelum membasuh wajahnya yang memerah.

Aliran air terus mengalir, sampai Sabrina mematikan keran air. Dia menatap bayangan wajahnya yang ada di cermin. Terlihat jelas, gadis cantik berhidung mancung, dengan sorot mata tajam. Sabrina mendengkus, dia mengelap wajah dengan salah satu tangannya.

"Apa yang dimiliki Erina, sampai semua orang bilang, dia lebih baik dari gue?" batin Sabrina.

"Rajin? Emangnya dengan rajin, dia bisa ngerebut peran gue?"

"Tentu aja enggak! Gue gak akan biarin, peran utama jatuh sama Erina! Gak akan pernah!"

Ketika otaknya terus memikirkan Erina, sudut bibir Sabrina melengkung ke bawah. Bibirnya bisa saja berucap, tak akan membiarkan perannya jatuh pada Erina. Namun, aksinya selanjutnya? Sabrina sendiri tidak tahu, bagaimana cara supaya Erina tak mendapatkan peran miliknya.

Sabrina tak mau, kesempatan untuk tampil sebagai pemeran utama, lenyap sekejap mata. Gadis itu berjalan mondar-mandir, dengan gigi yang sibuk menggigiti kuku jarinya. Kedua keningnya mengernyit, mengingat semua ketakutannya.

"Erina punya bakat akting!"

"Dia pinter akting, dan pastinya cocok meranin semua peran."

"Aktingnya bahkan ngelebihin Sabrina."

"Akting Sabrina masih agak kaku, beda lagi sama Erina."

"Berarti, peran utamanya  ... buat Erina aja."

"Dia hebat."

Sabrina mengacak-acak rambut. Dia menutup kedua kupingnya dengan tangan. Ucapan-ucapan kakak kelasnya semakin lama, semakin membuat Sabrina kesal. Sabrina ingin menjadi satu-satunya yang terbaik. Dia benci kalah, dari orang biasa seperti Erina.

"Satu-satunya cara, supaya Erina gak rebut posisi gue cuman satu. Gue harus terus latihan, dan buktiin kalo gue lebih berhak jadi pemeran utama," pikir Sabrina.

"Ya, itu satu-satunya cara."

Setelah berpikir panjang, Sabrina kemudian keluar dari toilet. Dia mengusap buliran air yang ada di wajah, sampai sebuah ide muncul di benaknya. Sabrina tersenyum, bersamaan dengan lesung pipinya yang mulai terlihat. Dia memperhatikan buliran air yang berada tepat di atas telapak tangannya. "Atau ... ada cara lain, supaya Erina gak bisa ngalahin gue lagi?"

Sabrina tersenyum miris, dia menatap rendah ke arah telapak tangannya yang basah. "Kita lihat, apa yang gue bisa lakuin ... sampai Erina ngundurin diri dari klub teater."

"Kalo dia pergi, itu berarti, gue bisa jadi satu-satunya pemain utama."

· · • • • ࿙✩࿙ • • • · ·

BYE BYE MY NIGHTMARE ☑Where stories live. Discover now