3. Kiss

62.9K 3.1K 26
                                    

"Kalau gitu gue lebih baik mati nemuin sahabat gue daripada balikan sama lo." Aeris berusaha melepaskan diri dari pelukan Gale.

"Balikan sama gue nggak seburuk itu."

Aeris beralih menatap lelaki itu dengan tatapan penuh hujat.

"Nggak seburuk itu? Terakhir kali lo nyoba perkosa gue!" desisnya tajam, namun tak begitu keras.

"Tapi belum kan?"

"Mati lo sana!" maki Aeris dan masih kembali mencoba melepaskan pelukan Gale.

Lelaki itu malah terkekeh. Lalu, mengeratkan pelukan. Aeris memukul-mukul lengannya.

"Pemerkosaan itu tindakan kejahatan, Gale."

"Terus?" Gale berucap acuh tak acuh.

"Lo emang nggak waras. Gale lepasin!"

"Main-mainnya udah cukup. Dari kemarin gue biarin lo ngehindar. Sekarang nggak akan."

"Gue bakalan teriak biar orang-orang datang gebukin lo!" ancam Aeris.

Gale malah kembali tertawa. "Emang mereka berani?"

Aeris frustasi. Ia mulai pasrah dan tak lagi mencoba melepaskan diri. Gadis itu mengalihkan wajah ke arah lain dengan ekspresi bad mood kentara.

"Nanti sore jalan ya, gue jemput." Gale meraih dagu Aeris dengan sebelah tangan, mengarahkan wajah gadis itu agar menghadap ke arahnya. Lalu ia mengecup pipi Aeris selama beberapa detik.

Gadis itu benci ketika tak bisa melakukan apa-apa atas sikap semena-mena orang lain. Tapi ia jarang memiliki kesempatan untuk menolak apa yang Gale inginkan.

Diusapnya dengan kasar bekas kecupan Gale menggunakan punggung tangan.

Jika pada dasarnya ia tak bisa lepas dari lelaki itu selama Gale tidak memutuskannya duluan. Mengapa Aeris tidak sekaligus saja manfaatkan kesempatan agar Gale membantunya?

Tapi ia cukup kapok berhubungan dengan Gale. Meminta bantuan lelaki itu sama saja berhutang budi dan ia harus membayarnya.

"Ay ...." Gale berbisik lembut tepat di telinga kirinya.

"Iya," jawab Aeris malas.

"Itu cowoknya teman lo yang bunuh diri itu kan? Si Rana? Dia kelihatan fine-fine aja, lo juga nggak perlu sesedih itu."

Aeris menatap ke arah yang ditunjukkan Gale. Tepatnya pinggir taman yang akan memasuki koridor kelas. Memang ada mantan pacar sahabatnya yang sedang tertawa-tawa sambil melangkah bersama teman-teman lelaki itu. Ia juga terlihat sedang merangkul perempuan yang entah siapa. Seolah kesedihan atas kepergian orang yang ia sayangi baru-baru ini bukan apa-apa.

"Mungkin dia sedih ..., tapi nggak nunjukkin di depan orang lain," guman Aeris tapi masih bisa didengar Gale.

Lelaki itu tersenyum, melonggarkan pelukan eratnya pada pinggang Aeris. "Sok tahu, lo itu ada di antara bego dan naif."

Aeris tak merespons. Ia hanya menatap ke arah mantan pacar sahabatnya sampai lelaki itu tak terlihat lagi karena berbelok ke arah lain.

"Liat apa? Orangnya udah nggak ada." Gale menghalangi pandangan mata Aeris dengan tangannya.

Gadis itu menurunkan tangan Gale.

"Gue mau ke kelas," ucap Aeris.

Ia mulai berpikir, mungkinkah sahabatnya pernah menceritakan sesuatu hal yang berkaitan dengan kepergian gadis itu sebelumnya pada Rana? Setidaknya memberi petunjuk. Mungkin ..., Rana juga bisa membantu Aeris. Ya kan? Kenapa tidak? Jika sahabatnya masih hidup, lelaki itu saat ini masih berstatus pacar, bukan mantan kekasih yang ditinggal mati. Rana pasti akan membantunya.

"Cium dulu."

Perkataan Gale membuat emosi Aeris kembali naik. Ia langsung mendelik.

"Nggak!"

"Kalau lo bandel gue makin sayang." Gale sudah nyosor duluan mengecup pipi chubby Aeris.

"Gale, lo nggak malu apa di sini banyak orang lalu lalang?"

"Nggak. Gue nggak peduli apa yang mereka pikirin. Cepat cium katanya mau ke kelas."

Aeris mendengus. "Lo gila kalau mikir gue mau nyium lo duluan."

"Yaudah gue duluan."

"No!!!" Aeris menahan dada lelaki itu dengan tangannya karena jarak mereka semakin merapat.

"Gue malu!" desis Aeris.

Gale mengubah ekspresi menjadi datar. "Fine, lo berhutang satu ciuman pulang dari kampus nanti."

Ia melepaskan pelukannya. Tak mau hilang kesempatan, Aeris langsung berlari karena takut lelaki itu akan berubah pikiran dan mengejarnya.

Gale menggelengkan kepala dengan samar. Ia mengambil smartphone yang dari tadi terasa bergetar dari saku jaket. Ada panggilan dari salah satu orang yang membawa Prisma tadi.

"Gale ..., si Prisma udah pergi. Adek lo tadi tiba-tiba datang dan bawa dia sambil marah-marah."

"Terus?"

"Kami biarin dia pergi. Lo tahu gimana Achlys, gila."

"Dia sinting kalau soal si Prisma. Biarin aja. Bentar lagi pasti bakal nyari gue."

"Kami harus lakuin sesuatu soal dia?"

"Nggak usah, dia urusan gue."

"Oke. Btw tadi adek lo bawa benda tajam, nggak tahu dapat darimana, lo mungkin harus lebih hati-hati."

"Lo nggak perlu ngingetin gue, lo cuma orang luar."

Gale memutus telepon secara sepihak dan mulai berdiri dari duduknya. Kelas berlangsung sebentar lagi, tapi mood Gale tak begitu baik. Ia tak bisa bolos masuk kelas lagi karena kemarin sudah dapat teguran dari mamanya.


***

Jangan lupa vote, komen dan bagikan cerita ini ya guys ya

See you!

Gale's Dark SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang