10. Pasrah

45.5K 2.5K 26
                                    

Beruntung pekerja yang ada di club menyimpan smartphone dan tas Aeris. Setelah menunggu cukup lama, barang miliknya sampai di tangan juga. Baterai ponselnya bisa dibilang masih cukup banyak. Aeris berniat langsung menghubungi nomor yang berikan Rana.

Ia memperkenalkan diri lebih dulu lewat pesan chat. Tapi meskipun nomor itu aktif, pesannya belum dibalas juga.

"Langsung telepon aja," kata Gale melihat Aeris hanya memantengi layar ponsel sambil harap-harap cemas.

"Emang nggak papa?"

Gale hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Aeris mendecak, ia memutuskan akan menelponnya langsung.

Teleponnya tak langsung diangkat. Setelah dering ke tujuh, panggilan pun terhubung.

"Halo?" ucap seorang perempuan dari seberang sana.

"Iya, gue Aeris. Teman dekatnya Anastasya, gue pengen ketemu lo, bisa nggak?"

"Hah? Lo siapa njir tiba-tiba nelpon minta ketemu? Gue lagi sibuk."

"Udah gue bilang gue temennya Anastasya. Ada beberapa hal yang mau gue tanyain soal Anastasya. Kalian cukup dekat kan sebelum dia meninggal?"

Orang di sana hanya diam.

"Halo? Maria?"

"Ah? Sorry kayaknya gue nggak bisa. Lagi sibuk juga nih, ada event."

"Tapi cuma-"

Tut

Ucapan Aeris terhenti karena sambungan telepon diputus dari sana. Ia menghela napas dan mencoba menahan emosi. Siapa perempuan yang begitu sibuk itu sampai seenaknya menutup telepon?

Gale melirik. "Mau aku bantu?" entah keberapa kalinya ia menawarkan bantuan.

Aeris mendelik sinis. "Nggak, gue bisa lakuin sendiri. Gue mau pulang."

"Pulang kemana?"

"Ke neraka!" sungut Aeris sebal, ia mengambil tas dan tote bag berisi pakaiannya, hendak berdiri tapi Gale menahan dengan memegang tangannya lebih dulu.

"Hush! Mulut kamu minta aku cium ya?"

"Apasih? Ya ke rumah lah, lo nanya yang bener dong."

Gale selalu jadi bahan semprot gadis itu saat sedang kesal. Tapi terkadang amarah Aeris sudah seperti hiburan bagi Gale. Wajah kesalnya lucu.

"Ini kan rumah kamu juga."

"Gue nggak pernah nganggap apartemen ini rumah gue. Lo mau nganterin pulang nggak?"

Tumben Aeris bertanya, Gale kira perempuan itu akan ngeluyur begitu saja.

"Tumben nggak langsung pergi?"

"Pintu apartemen lo kan pakai password."

Gale menaikan sebelah sudut bibirnya. "Masih sama kayak yang dulu kok. Ulang tahun kamu."

Lelaki itu melirik smartphone yang berada di atas meja, bergetar dan menyala menandakan ada panggilan masuk. Aeris tak sempat melihat siapa yang menelepon. Tapi setelah melihat itu, Gale langsung berdiri, lalu melangkah agak menjauh.

"Bentar ya," katanya pada Aeris lalu mengangkat telepon.

Perempuan itu memicingkan kedua mata, padahal meski Gale di sini, ia juga tak tertarik untuk menguping.

Pembicaraan rahasia itu tak begitu lama. Gale menatap pada Aeris.

"Aku ambil kunci mobil dulu."

"Pakai motor aja, macet."

Gale menggeleng tak setuju. "Panas, entar kamu kebakar terus jadi abu."

"Garing, udah ah gue mau pakai ojol," ucap Aeris jutek.

"Nggak boleh. Lo dengar gue kan Aeris?"

"Ya."

Aeris mencebik, Gale tersenyum tipis, lalu melangkah menuju kamarnya untuk mengambil kunci mobil.

Sepertinya ia tak perlu mencari kebenaran tentang Anastasya sejauh ini. Temannya itu juga tak meninggalkan apa pun untuknya, jika memang benar, seharusnya ia diberikan petunjuk. Namun di sisi lain, bagaimana jika Anastasya sudah memberikan petunjuk, tapi ia yang tak bisa menemukannya? Aeris tak akan bisa tidur dan akan terus merasa dihantui.

Sekarang dirinya benar-benar sangat labil.

Ahhhh!!! Lama-lama Aeris bisa gila. Ia mengalihkan pandangan, menatap Gale yang baru keluar dari kamar.

"Gale?"

"Iya sayang?"

Perempuan itu membulatkan tekad. "Kira-kira kalau lo bantuin gue soal Anastasya. Bakal berapa lama? Tapi lo harus serius."

Gale tersenyum. "Nggak akan lama. Mau?"

Sudahlah, ia memang tak bisa lepas dari lelaki ini jika Gale tak mau melepaskannya. Apalagi ..., baik keluarga Gale atau keluarganya sudah merestui hubungan mereka. Terutama keluarga sendiri yang selalu mendorongnya untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Gale. Mereka mungkin akan menghardik dan mengucilkannya saat tahu ia pernah memutuskan lelaki ini.

Tapi tentu, itu karena mereka ada maunya. Sekali dua kali ia ingin mengutuk, namun seburuk apapun, mereka tetap keluarganya.

"Hm, terserah deh lo lakuin apapun. Gue capek."

Lelaki itu tersenyum lebar. "Aku urus setelah antar kamu pulang."

***

Jangan lupa tinggalkan jejak ya!

See you!

Gale's Dark SideWhere stories live. Discover now