5. Fact

51.1K 3K 27
                                    

Gale membuat kepala Aeris kembali menghadap ke arahnya. Lalu menarik telapak tangannya yang menutupi mata gadis itu. Aeris terlihat kaget dan agak membeku.

"Sayang banget lo harus lihat itu." Gale malah tertawa pelan, entah apa yang lucu, lalu mengecup permukaan bibir Aeris.

"Beneran akhir zaman kan?"

Gadis itu kehilangan kata-kata. "Gue harap gue salah lihat," katanya lalu mengerjap dua kali.

"Lo masih mau bicara sama dia?"

Kening Aeris mengernyit. Menghiraukan ucapan Gale, ia malah terpikirkan akan hal lain. Apakah sahabatnya tahu Rana seperti itu? Aeris ingin muntah.

Ia menatap Gale. "Lo tahu dia gitu?"

"Apa?"

"Ck, si Rana belok."

Gale mengangguk.

"Sejak kapan?"

"Udah lama, nggak banyak yang tahu, apalagi anak-anak kampus. Lagian club ini nggak bisa sembarangan dimasuki."

Bagaimana jika sahabatnya tak tahu?

Menjijikan.

Aeris tak ingin menghakimi, tapi melihat kejadian tadi ia bersumpah itu hal paling menjijikan yang pernah ia lihat.

"Kelihatannya kamu nggak tertarik lagi untuk bicara sama dia."

Ia menggeleng. "Gue harus tetap nyoba."

"Mungkin kamu harus segera nyamperin mereka sebelum mereka pergi," kata Gale sambil menatap ke arah belakang Aeris.

Tapi ..., saat ini ia merasa tak siap. Mungkin besok saja?

"Aeris?"

Gale mengecupi pipi Aeris.

"Ayang?"

Aeris meletakan telapak tangannya pada wajah lelaki itu.

"Mau ditemenin?" Gale menurunkan tangan Aeris dan menggenggamnya.

Tampaknya lelaki ini bisa membaca keresahan Aeris dengan sangat baik. Mereka bertatapan.

"Bentar, gue masih sulit menerima apa yang gue lihat. Gue nggak akan pernah nerima itu, iuw .... astaga, gue lihat itu dengan mata kepala gue sendiri. Gue banyak dosa, hina, Gale. Tapi yang tadi ..., anj*ng." Aeris benar-benar merinding.

"Kamu nggak perlu menerima, dasarnya juga itu bagian musuh masyarakat. Ada banyak hal di dunia yang nggak bisa kita terima dan menentang hukum, yang tadi cuma bagian kecilnya, Ay."

Benar. Mungkin itu bukan apa-apa di dunia Gale. Sepertinya Gale sudah terbiasa menyaksikan hal-hal gelap di sekitarnya, sesuatu yang tak akan pernah bisa Aeris terima. Sesuatu yang amat sangat tidak wajar.

"Mau pulang aja?"

Tidak.

Ia sudah pernah menghadapi Gale ketika lelaki itu sedang benar-benar gila. Kondisi ini bukanlah apa-apa. Aeris memejamkan matanya sesaat. Siapa sangka niat mencari tahu mengenai satu hal, ia jadi mengetahui rahasia lain?

"Mungkin ini kesempatan satu-satunya, nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti," ucap Aeris.

***

Semula hanya ia dan Gale yang ada di sofa, kini bertambah dengan keberadaan Rana. Gale tadi menyuruh seseorang memanggilnya.

"Gue nggak berharap ada anak di kampus yang tahu gimana gue. Nggak mungkin ada yang bisa nerima gue dengan keadaan gini kan?" ucap Rana sambil agak mencondongkan badan dan meningkatkan volume suara karena musik yang cukup berisik meredam suara mereka.

Aeris tak menatap ke arah lelaki itu. Gale berada tepat di sampingnya, mengangkat gelas dan menggoyangkannya pelan, ia berniat mendengarkan saja. Tadi Aeris sempat menyinggung kejadian yang dilihatnya pada Rana.

"Berarti Anastasya juga nggak tahu?"

"Dia tahu."

"What?" Kening Aeris mengernyit.

"Hubungan kami emang cuma sekadar status. Dia tahu gue yang sebenarnya."

Aeris mengerjap, ia butuh waktu untuk mencerna maksud ucapan Rana.

"Maksud lo?"

"Gue bilang gue butuh dia sebagai pacar pura-pura, biar nggak ada yang curiga kalau gue emang belok. Dia oke-oke aja."

Sahabatnya benar-benar gila!

"Oke, fine. Tapi hubungan pura-pura kalian baik-baik aja kan? Maksud gue, dia nggak berperilaku aneh?"

Rana mengernyit. "Terakhir kali gue sama dia jalan bareng sekitar lima hari sebelum dia bunuh diri, kita fine-fine aja. Dia emang sering nggak ngasih kabar, gue rasa itu wajar."

"Tapi dia pernah cerita soal pelecehan nggak sama lo?"

"Nggak, kenapa? Dia cerita apa sama lo?"

Aeris menggelengkan kepala dan menghembuskan napas lesu.

"Tapi ..., terakhir kali gue jalan sama Anastasya, dia bilang melakukan kesalahan besar. Gue nggak begitu ngeh maksudnya apa, dia juga nggak cerita lagi."

Aeris kali ini menatap Rana. "Gue nggak kontakan sama Anastasya sekitar tiga hari sebelum dia bunuh diri. Dia hubungin lo nggak?"

"Nggak sih. Dua hari sebelum kematian, dia ada di sg salah satu teman gue. Gue nggak sengaja lihat kayaknya mereka lagi party."

"Serius? Siapa? Boleh gue minta kontaknya?"

"Wow ..., tahan, sebelum itu lo harus menjelaskan apa yang terjadi ke gue."

Aeris memutar bola matanya. "Justru itu, sekarang gue lagi mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."

"Intinya, pacar gue cuma pengen tahu apa lo punya informasi berharga soal kematian si Anastasya, mungkin dia pernah ngirim pesan, cerita apa soal pelecehan sebelum dia mati sampai mutusin bunuh diri." Gale nimbrung begitu saja.

"Gale!"

"Lama sih, terlalu bertele-tele." Gale cemberut dan memeluk Aeris dengan manja.

Rana mengerjap. "Nggak, mungkin sebaiknya lo menghubungi orang yang terakhir kali sama Anastasya sebelum dia mati. Kontak teman gue yang tadi mau nggak?"

***

Jangan lupa vote, komen, dan bagikan cerita ini!

See you!

Gale's Dark SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang