6. Obat

55.9K 2.7K 17
                                    

Rana sudah pergi, berhubung urusan Aeris dengan lelaki itu untuk saat ini sudah cukup, ia hanya perlu menghubungi nomor yang diberikan Rana. Sedari tadi, Aeris hanya menatap kontak nomornya. Membuat Gale cemberut karena merasa tak diperhatikan. Lelaki itu memanggil seorang pelayan dan membisikan sesuatu. Kemudian, pelayan tadi tampak mengangguk dan pergi.

"Kalau orang itu juga nggak tahu apa-apa soal kematian teman kamu gimana? Kalau dia emang cuma mau bunuh diri?"

Aeris mendelik. "Orang bunuh diri pasti ada alasannya. Gue yakin ada orang lain yang bersalah dalam hal ini!"

"Hm yaudah. Kamu emang keras kepala."

Gale memeluk Aeris dan mengecup pipinya.

Tapi bagaimana jika Gale benar? Aeris kesal, ia sudah mendapat sedikit pencerahan tapi di sisi lain takut jika apa yang ia lakukan hanya sebuah kesia-siaan.

"Gale berhenti!" Aeris menahan dada lelaki itu ketika Gale semakin merapat dan hendak mencium bibirnya. Lelaki ini benar-benar seperti serangga yang senang menggerayangi tubuhnya.

Seorang pelayan yang sempat Gale panggil menaruh minuman di atas meja. Kemudian berlalu pergi setelah tugasnya selesai.

"Lo bau alkohol, jangan minum lagi," kata Aeris.

"Aku kuat minum kok."

Gale mengambil minuman di atas meja dan mulai meminumnya. Lalu, tanpa diduga, ia langsung mencium Aeris. Lelaki itu ternyata sama sekali tak meneguk minuman, malah membagikannya ke mulut Aeris agar gadis itu menelannya.

"Mmmhh!!!" Aeris memaksa melepas ciuman.

Ia merengut. "Uhuk! Ini alkohol ya?!"

Gale meminum minuman lain yang ada di meja untuk menetralisir minuman tadi.

"Iya."

"Ck, lo taruh apa?"

Gale mengerjap polos. "Maksud kamu?"

"Gue serius. Lo masukin apa di dalamnya?"

Gale malah tersenyum. "Nanti juga kamu tahu."

"Gale! Minggir! Gue mau pulang! Benci gue sama lo!"

Gale segera memeluk pinggang Aeris untuk menahan gadis itu.

"Nggak boleh. Lo pulang sama gue. Tunggu obatnya berefek ya."

"Bajingan! Brengsek!" Aeris mengumpati lelaki itu.

Teriakannya teredam oleh suara musik yang menghentak begitu keras. Sayang sekali ia juga tak bisa memukuli Gale yang memegangi kedua tangannya.

"Kita pergi sekarang aja."

Gale berdiri dan memangku Aeris seperti karung beras. Ia membawanya keluar dari klub dan melangkah menuju mobil. Gadis itu terus memberontak. Walau sama sekali tak berhasil sampai Gale melajukan mobilnya entah kemana.

***

Kening perempuan itu mengernyit, matanya yang terpejam perlahan mulai terbuka. Ia kembali memejamkan mata ketika pusing menyerang. Aeris meringis dan melenguh kecil. Tubuhnya terasa sangat berat.

Ia kembali membuka mata lagi meski masih setengah terpejam. Perempuan itu samar menatap langit-langit kamar yang rasanya ..., asing tapi juga tidak. Tentu saja, loh? Itu tak terlihat seperti langit-langit kamarnya.

Sesak ....

Mata Aeris kini sepenuhnya terbuka, nyawanya juga sudah terkumpul. Ia menatap pada tubuhnya lalu tersentak mendapati Gale tidur di atasnya.

Pantas saja terasa berat.

Bagian yang Aeris syukuri, ia masih memakai baju.

"Gale," ucap Aeris dengan suara khas bangun tidur.

Ia mengguncang bahu lelaki itu. Kepala Gale saat ini berada di bagian tengah dadanya.

"Gale ih!" Aeris dengan gemas menjambak rambut lelaki itu walau tak begitu keras.

Gale mengerang pelan. Ia sebenarnya sudah bangun tadi. Tapi memilih tiduran lagi di atas tubuh Aeris.

"Udah bangun?" ucapnya dengan suara serak.

"Belum, ini ngigau," ucap Aeris jutek.

Lelaki itu terkekeh pelan.

"Lo berat, minggir."

Gale menggulingkan tubuhnya ke samping Aeris, lalu memeluk pinggang gadis itu.

"Galak banget, padahal tadi malam nggak," bisik Gale.

Hah? Tadi malam?

Sebentar. Aeris takut melewatkan sesuatu yang mungkin belum ia ingat.

Tapi memangnya apa yang terjadi tadi malam? Ia tak melakukan hal aneh dengan Gale kan?

***

Lama nggak update, cuma mau nyapa, hai! Apa kabar?

Baik? Bagus.

Syukur author jg masih hidup

Gale's Dark SideWhere stories live. Discover now