31. Rasa Bersalah yang Bersarang

12.5K 815 51
                                    

Suasana di tempat itu terasa agak mencekam. Pencahayaan kurang karena lampu yang hanya menyala sebagian dan berkedip-kedip. Cahaya matahari pun tidak mungkin masuk.

Cat dinding terkelupas, lumut dan jamur tumbuh. Suara air dari pipa yang bocor, terdengar seperti detik pada jam.

Sebuah mobil terparkir di sana. Seorang lelaki duduk di bagian belakang mobilnya yang terbuka, ia menghembuskan asap rokok dari mulutnya.

Sementara itu, seorang perempuan meringkuk di dekatnya dengan tangan dan kaki yang diikat tali dan mulut yang ditutup lakban.

Ia kehausan dan lapar, namun lebih dari itu, ia ketakutan. Kondisinya tidak terlihat baik dengan rambut acak-acakan, mata sembab dan kulit pucat. Blouse yang ia pakai tergeletak di sisi kaki lelaki itu. Di tubuhnya tersisa bra dan rok hitam yang robek sampai setengah paha atas.

"Sebentar lagi dia pasti ke sini, tapi ini cukup lama kan? Berarti dia beneran lagi nggak ngawasin lo?" Lelaki itu menyunggingkan senyuman.

Ia mengusap rambut Aeris, kemudian menjambaknya dan menarik perempuan itu agar bangun.

"Gue hampir beneran ngira lo nggak lagi berharga buat dia. Tapi teman gue udah mati. Dia murka, ya? Kita lihat seberapa murka dia dengan apa yang gue lakuin ke lo."

Lakban yang menutup mulut Aeris dibuka, tapi untuk sekadar teriak saja, Aeris lemas. Matanya berkedip sayu.

Bibirnya bergerak hendak mengucapkan sesuatu. Namun sudah lebih dulu dibungkam dengan bibir lelaki itu.

Air mata menetes menelusuri pipi Aeris.

Sebelum ini terjadi, ia baru saja dari tempat peristirahatan terakhir sang ibu. Seharusnya setelah itu ia hanya berjalan-jalan, mencari udara segar dan menjernihkan pikirannya.

Tapi ia bertemu dengan Rana secara tak sengaja setelah keluar dari sana. Aeris hanya merasa ia harus meminta maaf lagi atas kehilangan Rana terhadap Anastasya, karena jauh di lubuk hatinya yang pernah bersyukur atas hal itu, karena hatinya yang tenang sebab Anastasya tiada. Jadi ia mengejar Rana.

Sesuai dugaan, respons Rana tidak ramah.

"Keadaan nggak akan berubah dengan lo minta maaf. Dia nggak akan kembali, dan gue mungkin akan tetap seperti ini. Orang dungu kayak lo mana bisa ngerti. Lo juga minta maaf pasti cuma buat nenangin diri lo, selain itu lo pasti senang."

Aeris merasa ditembak tepat.

"Kalau aja ada yang bisa gue lakuin."

"Nggak ada. Gue akan senang sih kalau lo mati, seharusnya pihak si Gale bisa ngerasain perasaan gue. Tapi nggak mungkin kan? Lo nggak akan mati semudah itu di bawah pengawasan si Gale.  Gue penasaran apa yang lo lakuin sampai dia bertindak sejauh ini buat lo. Apa yang lo kasih? Tubuh lo?"

Aeris mengalihkan pandangan, membuat Rana menyunggingkan senyum sinis.

"Ternyata bener."

"Lo salah. Gue nggak di bawah pengawasan siapa pun sekarang, jadi seandainya lo mau bunuh gue, lakuin aja kalau dengan itu lo puas."

Rana sama sekali tak tertarik. Jika benar pun ia pasti tetap akan mati.

Tapi ..., memangnya kenapa?

Ia tidak akan sendiri jika membawa Aeris bersamanya.

Rana melirik perempuan yang terlihat lesu tak ada semangat hidup itu. Ia muak melihatnya. Seolah Aeris menderita padahal hidupnya pasti menyenangkan.

"Apa maksud lo?"

"Tiga hari, selama itu nggak ada siapa pun yang ngawasin gue. Ini hari kedua."

Kening Rana mengernyit. "Kenapa?"

Gale's Dark SideWhere stories live. Discover now