7. Nafsu

70.9K 3K 53
                                    

Belum sempat Aeris mengingat-ingat semalam apa saja yang ia dan Gale lakukan. Pikirannya mengembara pada hal lain, semalam ia sudah dapat kontak nomor seseorang dari Rana. Bukankah seharusnya ia tak membuang-buang waktu dan gerak cepat? Semakin lama malah mungkin akan semakin samar.

Tapi saat ini gadis itu masih merasa agak pusing. Ia merasa tak bisa terlalu memikirkan hal berat. Ini semua karena Gale! Lelaki itu semalam memberikannya sesuatu.

"Semalam lo naruh apa di minuman itu?"

"Obat tidur."

"Lo jangan ngibulin gue." Aeris seratus persen tak percaya pada ucapan Gale, walau jika ia ingat kembali, efek yang dirasakannya kurang lebih memang letih dan kantuk.

"Percaya atau nggak itu urusan kamu. Aku udah bilang."

"Jangan lakuin itu lagi."

"Padahal itu belum seberapa." Gale bangun tidur, mengubah posisi menjadi duduk dan menatap Aeris.

"Ay pengen ciuman."

"Gue jambak lo ya."

Lelaki itu tertawa, Aeris selalu demikian. Awal mereka pacaran gadis itu sudah sering berbicara frontal. Sepertinya jaim Aeris sudah nyaris lenyap, mengingat pertemuan pertama mereka bisa dikatakan cukup aneh. Kejadian yang tak akan pernah Gale lupakan.

Tapi kali ini lelaki itu lebih serius. Ia memegang kedua tangan Aeris, lalu tubuhnya semakin membungkuk, menepis jarak di antara keduanya.

"Kamu bau jigong," ucap Gale ketika wajah mereka sudah sangat dekat.

Bukannya tersinggung dengan ucapan lelaki itu, Aeris malah dengan sengaja menghembuskan napasnya yang hangat sampai menerpa permukaan wajah Gale.

"Makan tuh jigong!"

Gale nyengir lebar. Benar-benar tidak waras. Ia mengecupi permukaan bibir gadis itu dan mulai menciumnya.

Lalu, suara dering ponsel Gale berbunyi. Nada dering yang lain. Lelaki itu mengernyit, merasa terganggu. Ia berhenti mencium Aeris dan menatap ke arah sumber suara.

Air muka Gale berubah. Lelaki itu melepaskan tangan Aeris dan bergerak mengambil ponsel yang berada di atas nakas.

Sementara itu, Aeris masih diam. Sampai setelah beberapa detik ia sadar ini adalah kesempatannya untuk melarikan diri. Meski masih agak pusing, Aeris bangun. Gale membelakanginya dan mungkin saat ini prioritas lelaki itu adalah smartphone dan entahlah siapa yang menelepon.

Ia duduk dan mulai turun dari ranjang. Waktu yang tepat. Gale biasanya tak akan membiarkannya turun dari ranjang semudah ini. Setelah beberapa tahun bersama, hal yang mampu mengalihkan perhatian Gale darinya adalah urusan keluarga dan 'bisnis tertentu' yang katanya tak bisa anak buahnya tangani.

Setelah memastikan ia tak akan oleng saat berdiri. Aeris melangkah, tujuannya adalah toilet. Gadis itu mulai berjalan dengan agak terseok. Melirik sekilas ke arah Gale yang tampak mengangkat panggilan dan mulai bicara.

Sepertinya ada masalah cukup serius yang terjadi karena sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi, Aeris mendengar Gale mendesis. "Gitu aja nggak becus! Kalau sampai kali ini gue juga harus ikut turun tangan, lo yang bakal tamat!"

Karena tujuannya memang menghindar sebelum Gale selesai menelpon. Aeris memilih tak begitu menyimak percakapan itu. Toh apa yang lawan bicara Gale katakan saja ia tak bisa mendengarnya.

Ada beberapa hal yang harus ia lakukan sekarang. Pipis, cuci muka, gosok gigi dan ... masa bodoh soal mandi, ia mungkin hanya perlu mengganti baju. Aeris kini berdiri di depan toilet. Melihat dirinya sendiri, rambut berantakan dan ada ruam merah di sekitar leher dan atas dadanya.

Gale's Dark SideWhere stories live. Discover now