2 - JAZMINE

582 32 2
                                    

"Lo yakin nggak mau apa-apa lagi? Mumpung gue masih belum balilk."

Jazmine Anjani menatap Mina yang tampak kewalahan membawa tubuhnya. Kurang dari dua bulan lagi, perutnya yang membesar itu akan melahirkan bayi yang jenis kelaminnya masih dirahasiakan Mina dari Jaz. Sebagai satu-satunya orang yang dipercaya Mina, Jaz merasa punya kewajiban berada di samping sahabatnya tersebut. Andai Mina tidak menghalanginya, satu hal yang sudah pasti dilakukan Jaz adalah menyeret Richard Ackles dengan berbagai cara untuk berada di samping Mina dan memaksa pria itu bertanggung jawab.

"Jaz, kamu nggak perlu tiap hari ke sini. Aku nggak akan kenapa-kenapa. Kegiatan kamu kan banyak, jangan sampai gara-gara aku, hidup kamu malah jadi berantakan."

Jaz berdecak. "Lo nggak usah mikirin hidup gue. Semuanya masih aman terkendali. Gue nggak ngorbanin apa pun, kok. Lo nggak perlu khawatir."

Jika Mina sedang tidak hamil, sahabatnya itu akan langsung menangkap kebohongan Jaz dalam hitungan detik. Namun sejak kehamilannya memasuki trimester ketiga, tidak satu kali pun Mina mempertanyakan atau meragukan alasan yang dikemukakan Jaz. Bukannya Jaz dengan senang hati berbohong, tetapi dia hanya menghindarkan Mina dari kekhawatiran yang akan berdampak pada janinnya. 

Mina adalah sahabat Jaz sejak mereka SMP. Cuma perempuan yang justru kelihatan lebih cantik dengan perut membesar seperti ini yang tahu seluruh rahasianya. Begitu pun sebaliknya. Maka ketika tahu Mina hamil—terlebih dengan pria seperti Richard yang dia sudah tahu tidak akan bertanggung jawab—Jaz berusaha menemukan alasan Mina bisa berakhir di tempat tidur bersama Richard malam itu. Namun jawaban yang dicarinya tidak kunjung datang. Nihil. 

Jaz bahkan sempat mengusulkan kepada Mina untuk menyeret Richard ke meja hukum atas tuduhan perkosaan, tetapi Mina menolak. Perempuan itu malah menyalahkan diri sendiri karena terlalu banyak mengonsumsi alkohol hingga kehilangan kesadaran. Jaz meyakinkan Mina bahwa seorang pria yang baik justru tidak akan mengambil kesempatan seperti itu karena tidak adanya persetujuan dari dirinya. Namun Mina bergeming. 

Kebencian Jaz kepada Richard semakin menggunung ketika pria itu dengan tegas mengelak tentang Mina. Meskipun hanya dua tamparan, cukup bagi Jaz untuk melampiaskan kekesalannya. Jaz tahu, menyudutkan Richard malam itu tidak akan membawa hasil yang dia inginkan. Maka dengan menggunakan relasinya, dia mengembuskan kabar tentang Richard yang menghamili Mina. Bukan tindakan terpuji memang, tapi tumpukan marah bercampur sebal Jaz tidak lagi bisa dibendung.

Dengan cepat, kabar itu menyebar hingga kemudian Richard bersama pengacaranya mengajak Mina bertemu. Jaz mendesak supaya ikut ke dalam pertemuan tesebut. Di sana, Jaz mati-matian menahan diri supaya tidak menghampiri Richard dan kembali melayangkan tamparan. Pria itu masih tidak mau mengakui perbuatannya, hingga kemudian, semuanya sepakat untuk melakukan tes DNA begitu bayi yang dikandung Mina lahir. Richard akan bertanggung jawab penuh jika memang anak itu darah dagingnya sendiri. 

"Kamu nggak ada pemotretan atau syuting gitu?"

Jaz menggeleng. "Besok ada sih, tapi sore. Jadi gue ke sini mungkin pagi atau siang sebelum ke lokasi."

"Jaz, seriously, kamu nggak perlu ke sini tiap hari. Kamu tetap jadi yang pertama tahu misalkan ada apa-apa sama aku. Kamu nggak punya kewajiban buat ngurusin aku." Mina mengulurkan tangan untuk menggenggam tangan Jaz. "Aku tahu kamu khawatir, dan masih nggak bisa maafin Richard, tapi bukan lantas kamu yang bertanggung jawab atas kondisiku. Aku milih buat mempertahankan  bayi ini, jadi aku sangat sadar dengan konsekuensinya."

Jaz menepuk pelan punggung tangan Mina. "Mina, lo sahabat gue, dan satu-satunya orang yang gue percaya. We've been through thick and thin. Gue nggak bakalan bisa hidup damai sementara gue tahu lo nggak mau balik ke rumah keluarga lo, which means, lo sendirian di sini. Yang penting sekarang, lo nggak usah mikir macem-macem, termasuk mikirin cowok brengsek satu itu." Menyadari dirinya kelepasan, Jaz menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Semuanya akan baik-baik aja. Lo percaya gue, kan?"

Mina mengangguk. 

"Ya udah, gue balik dulu," ujar Jaz sambil bangkit dari duduknya. "Pikiran lo pokoknya harus relaks, oke?"

Jaz mencium kedua pipi Mina sebelum keluar dari unit apartemen sahabatnya itu. Tawaran Jaz agar Mina pindah ke rumahnya—setidaknya sampai lahiran—ditolak, dan Jaz tidak mau memaksa. Dia tahu, Mina tidak ingin mengusik hidup Jaz jika dia ada di sana. 

Begitu Jaz berada di lorong, ponselnya berdering. Beruntung tangannya sudah berada di dalam tas hingga dia hanya perlu meraih benda tersebut. Menatap nama asistennya pada layar, Jaz langsung mengangkatnya.

"Iya, Nggi?"

"Kamu lagi di mana?"

"Baru aja keluar dari tempat Mina."

"Kamu ada janji lain yang nggak aku tahu setelah ini?"

Jaz berpikir sesaat sebelu mengatakan, "Nggak ada kayaknya, deh. Lo kan lebih tahu jadwal gue dibanding otak gue yang udah pikun ini."

"Ya siapa tahu kamu ketemuan sama siapa gitu, yang aku nggak perlu tahu."

Bola mata Jaz berputar, sangat paham dengan maksud kalimat Anggi. "Nggak ada kencan sama cowok mana pun. Puas?" sahut Jaz yang disambut tawa Anggi. 

"Mau ke apartemen nggak? Aku ada berita super penting!"

Langkah Jaz terhenti. Jantungnya berdegup dengan kencang begitu mendengar kalimat Anggi. "Sepenting apa sampai gue harus ke tempat lo?" tanya Jaz penuh keingintahuan. "Sebenernya, lo apa gue sih yang butuh asisten? Heran gue."

Lagi-lagi, tawa Anggi terdengar. "Aku tunggu, ya?"

"Eh, emangnya berita pentingnya apa? Awas aja kalau gue udah sampai sana, tapi berita yang lo sampein nggak penting sama sekali."

"Jazmine Anjani, you would like to hear this news, ASAP!"

Jika Anggi sudah menggunakan nama lengkapnya, itu berarti Anggi memang sedang tidak bercanda. Informasi yang akan didengarnya pasti sangat penting. 

"Nggak bisa kasih gue kisi-kisi gitu?"

"Kalau aku kasih kisi-kisi. yang ada kamu nanti nggak sampai tempatku, tapi justru berakhir di rumah sakit karena kamu nggak konsen nyetir."

Menghela napas sebal, Jaz mengangguk. "Ya udah, gue ke sana. Lo mau gue bawain apa?"

"Jaz!" seru Anggi. "Udah berapa lama sih aku kerja sama kamu? Masak masih perlu nanya begituan? Bos yang baik itu ya langsung dibeliin terus dibawain, nggak pake acara nanya segala."

Jaz menggeleng heran, tapi senyum di bibirnya tersungging lebar. "Gue heran kenapa masih sama lo, Nggi. Sumpah!"

"Because you love me very very much?"

"Ih, najis!" pekik Jaz. "Okay, see you in a bit!"

Begitu panggilan berakhir, Jaz melanjutkan ayunan kakinya hingga mencapai depan lift. Tangannya terulur untuk memencet tombol turun. Sementara menunggu, pikiran Jaz melanglang buana pada kemungkinan berita yang akan disampaikan Anggi. 

Gue harap akhirnya tawaran film yang gue tunggu dateng. Cuma itu yang gue pengen, batin Jaz.

Begitu terdengar suara ting dan pintu lift terbuka, Jaz segera masuk, memencet angka satu. dan memeriksa tampilannya di cermin. Beruntung lift tersebut kosong hingga dia bisa melihat bahwa make-up-nya masih rapi. 

REVULSIONМесто, где живут истории. Откройте их для себя