35 - RICHARD

236 30 1
                                    


Bagi Richard, keributan serta persiapan sebelum syuting dimulai justru membuatnya sangat bersemangat. Semua perasaan yang berkumpul di dalam dirinya seolah saling berjingkrak karena untuk sampai di titik tersebut, ada andil berbagai pihak, bukan hanya yang akan tampil di depan kamera.

Alih-alih tinggal di hotel bersama dengan kru lainnya, Richard memilih untuk tinggal di vila milik salah satu temannya yang kebetulan sedang pulang ke Melbourne. Setidaknya di sana, dia bisa mendapatkan istirahat yang sangat diperlukannya setelah syuting selesai. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk tampak berbeda atau diperlakukan khusus. Bagi Richard, lebih mudah mengatur kebiasaannya sehari-hari tanpa harus mengorbankan apa pun, mengingat jadwal yang tidak teratur.

Beruntung dia pernah tinggal di Bali selama dua tahun, dan lumayan sering mengunjungi Pulau Dewata, hingga dia tidak perlu sopir untuk mengantarnya jika ingin bepergian. Apalagi temannya punya satu motor dan Richard diberi izin untuk menggunakannya. Ada banyak rencana yang ingin diwujudkan Richard selama kru Revulsion ada di Bali.

Salah satu adegan yang akan mereka lakukan hari ini adalah pertemuan pertama Brian dan Claudia, yang merupakan awal perseteruan mereka. Karena itu, mereka harus stand by di sebuah bar sejak pukul sebelas siang. Selain itu, mereka juga akan mengambil adegan di pantai saat matahari terbenam, adegan yang menuntut komitmen mereka untuk beradegan romantis. Raya memang tidak mengambil adegan secara runut, jadi Richard dan Jaz dituntut untuk bisa menjadi bunglon dalam satu hari karena adegan-adegan yang mereka lakukan saling bertentangan.

Duduk di depan kipas angin raksasa yang sedikit mendinginkan badannya—Richard mengenakan setelan jas ketika suhu di Bali mencapai 34 derajat Celcius—mulutnya berkomat-kamit mengahafalkan dialog sembari mengingat catatan-catatan yang diberikan Raya dan Priya untuk membantunya lebih mendalami peran Brian. Meski sebetulnya, Richard tidak memerlukan itu semua karena dia tinggal mengingat kembali perasaan yang menghinggapinya ketika bertemu Jaz pertama kali. Kira-kira seperti itulah yang dirasakan Brian saat berpapasan dengan Claudia.

"Richard, abis ini giliran lo take sama Jaz," ucap Nanang, first AD* yang kemudian berteriak agar kru lain bersiap.

Richard masih memegang naskah di tangan sembari departemen make-up dan wardrobe memastikan tampilannya sempurna di kamera. Setelah mengucapkan terima kasih, Richard bangkit dari kursi dan menghampiri Jaz yang juga sedang di-touch up make-up serta merapikan beberapa helai rambut yang menutupi kening perempuan itu.

"Mungkin lebih baik kita balik kayak dulu aja, Jaz. Buat adegan ini doang," bisik Richard agar tidak terdengar kru lain.

Dengan bingung, Jaz memandang Richard. "Maksud lo gimana?"

"Ya bayangin aja pas kita ketemu pertama dulu kayak apa. Betapa bencinya lo sama gue karena udah hamilin Mina dan betapa bencinya gue karena lo nampar gue di depan banyak orang. Gue rasa, perasaan kita jauh lebih autentik waktu itu. Gue nggak yakin bisa masuk ke karakter Brian karena alasan dia nggak suka sama Claudia masih agak abu-abu menurut gue."

"Tapi Richard," Jaz sedikit menyeka kening dan lehernya tanpa mengalihkan pandangan dari lawan mainnya, "gue yang nggak yakin bisa karena kita udah nggak ada masalah apa-apa, kan?"

"Can you, at least, please try?" Richard memang terdengar seperti memohon karena dia benar-benar kesulitan menghubungkan alasan di balik rasa benci Brian ke Claudia, tidak peduli dengan usahanya menciptakan background story dengan bantuan dari Priya. Dia sebenarnya tidak suka menyelipkan pengalaman pribadi ke dalam karakter yang diperankannya, tetapi Richard memang sudah menemui jalan buntu.

Jaz akhirnya mengangguk. "I will try, for the sake of our chemistry."

Richard akhirnya tersenyum. "Thanks."

Meskipun adegan yang akan dilakoninya bersama Jaz bukan sesuatu yang baru, Richard tetap merasakan adrenalinnya naik. Salah satu pelajaran yang didapatnya dari kelas akting adalah mengontrol emosi agar tidak bercampur dengan perasaan karakternya. Jika itu terjadi, maka yang akan tertangkap kamera adalah kebingungan.

Tidak lama kemudian, Nanang memanggil keduanya untuk berada di posisi, dan Richard perlu waktu menyesuaikan diri dengan sekelilingnya. Menarik napas dalam, dia berusaha untuk tidak membiarkan gugup menguasai dirinya.

Begitu teriakan Action! dari Raya terdengar, Richard menempelkan gelas yang seharusnya berisi wiski, tetapi demi kepentingan syuting diganti dengan teh, pada bibirnya. Dia terlihat menikmati sebelum pundaknya ditepuk. Ketika menoleh, Richard mendapati tatapan yang sangat dikenalnya.

Jadi Jaz mutusin buat nyoba permintaan gue, batin Richard.

Pandangan yang diberikan Jaz saat ini sama persis dengan yang diterima Richard setelah dia dipermalukan di depan banyak orang. Ada kemarahan yang bertumpuk dengan keyakinan bahwa yang diperbuatnya adalah ssesuatu yang benar.

"Lo bener-bener cowok yang nggak tahu malu!"

Sedetik kemudian, Jaz meraih gelas yang tadi diletakkan Richard dan langsung menyiram wajah pria itu dengan sekuat tenaga. Richard membalasnya dengan tatapan tajam, tetapi dia tidak beranjak dari kursi yang didudukinya. Dia hanya mengelap wajahnya tanpa sedetik pun mengalihkan pandangan dari Jaz.

"Lo bakal bayar ini semua. Dasar perempuan barbar!"

"Lo sebut gue apa?"

"Uncivilized," balas Richard ringan sembari melakukan improvisasi karena bukan kata itu yang sebenarnya tertera di naskah, tapi dia merasa balasan itu yang paling sesuai saat ini.

"Lo nyebut gue nggak beradab?" balas Jaz sembari menyilangkan lengan, tetapi tatapannya masih menghunus. "Lo jauh lebih nggak beradab!"

"Eh! Gue kenal lo aja nggak, gimana bisa lo nuduh sembarangan!"

"Lo bilang apa?" Tangan Jaz sudah terangkat, tetapi Richard lebih gesit menangkapnya.

"Don't. You. Dare." Richard mengucapkan tiga kata tersebut dengan pelan, tetapi penuh dengan keseriusan.

Dia tidak tahu berapa lama harus saling bertatapan dengan Jaz, tetapi ketika terdengar teriakan Cut! Dari Raya, dia segera melepaskan tangan Jaz.

"Wow! Kalian hebat banget! We're off to great start, guys!" seru Raya kepada kru lain yang kemudian disambut tepuk tangan. "Richard, Jaz ... chemistry kalian bener-bener dapet! The camera loves the two of you!"

Begitu kru lain sibuk menyiapkan untuk adegan selanjutnya—atau ada adegan yang harus mereka ulangi—Richard menatap Jaz.

"Cengkeraman tangan gue nggak terlalu kenceng, kan? Lo bilang ya misalkan gue terlalu kasar atau gimana."

Ibu jari dan jari telunjuk Jaz membentuk huruf O, menandakan dia akan mengingatnya. "Gue nggak nyangka ide lo brilian juga."

Richard menunjukkan kebanggaannya dengan sebuah senyum. "Jaz, cerita Brian dan Claudia ini mirip kita, minus Mina, dan fakta bahwa mereka pacaran. Jadi gue nggak ngelihat salahnya di mana buat masukin apa yang terjadi sama kita dulu ke mereka. Nggak akan ada yang tahu kecuali kita bilang. And as you heard it yourself, Raya agreed."

Jaz mengangguk. "Mungkin ada baiknya kita kayak begitu, seenggaknya buat adegan-adegan mereka yang saling benci. Gue juga ngerasa emosinya lebih dapet, sih."

"See?"

Belum sempat Jaz membalas, tim wardrobe dan make-up kembali menghampiri mereka dan memastikan tidak ada cela dari penampilan keseluruhan Jaz dan Richard. Mereka lantas saling mengobrol dengan kru masing-masing, tetapi sesekali saling bertukar pandang.

Richard sendiri merasa lega bahwa awal syuting berlangsung sesuai rencana. Sekalipun hari masih panjang, setidaknya ucapan Raya dan fakta bahwa dirinya dan Jaz bisa saling berkomunikasi dengan baik adalah hal yang patut disyukuri Richard. 

REVULSIONDove le storie prendono vita. Scoprilo ora