51 - RICHARD

192 26 3
                                    


Ada kesal yang mustahil dilampiaskan Richard begitu Raya meminta take ulang adegan ciuman antara Brian dan Claudia di depan Piazza Della Signoria karena dia ingin mengambil angle yang berbeda. Penyebabnya karena dia sudah tidak sabar kembali ke Jakarta dan juga dia sudah tidak lagi mampu menahan diri menyaksikan Daniel dan Jaz yang seperti tidak terpisahkan. Suasana hatinya sudah sulit diatur untuk bersikap netral agar bisa masuk kembali ke karakter Brian. Namun Richard tidak dihadapkan pada pilihan lain.

"Lo nggak papa?"

Richard menjawab pertanyaan tersebut dengan anggukan. Sedetik kemudian, dia menandaskan botol minum berisi air putih yang tinggal setengah sebelum meremasnya kuat. "Gue cuma nggak ngerti aja sama pikiran Raya. Perasaan pas kita masih di Indonesia, dia nggak segini perfectionist-nya."

"Mungkin dia dapet tekanan juga dari produser. Kita nggak pernah tahu."

Alasan yang cukup bisa dipahami Richard.

Pandangan Richard beralih dari kru yang sedang mempersiapkan kamera dan segala macam peralatan yang dibutuhkan, ke salah satu piazza paling tersohor di Florence karena dikelilingi bangunan-bangunan yang bukan hanya tua, tapi juga ikonik. Loggia dei Lonzi tempat dia dan Jaz duduk, dibangun pada abad ke-14 dan sengaja diperuntukkan sebagai tempat memamerkan karya-karya seni patung dari perunggu dan marmer dari abad Pertengahan. Sementara di sekitarnya, ada Palazzo Vecchio yang dibangun abad ke-13 yang memamerkan replika patung David karya Michelangelo yang tersohor itu, Uffizi Gallery yang dibangun abad ke-16, dan beberapa patung yang usianya sudah mencapai ratusan tahun. Richard takjub bahwa bangunan-bangunan di sekitarnya mampu berdiri selama ini.

"Lo udah nggak sabar pulang, ya?"

Richard menoleh dan mendapati Jaz yang menggunakan naskah di tangannya sebagai kipas karena udara di Florence yang mulai menanjak sekalipun musim panas masih satu bulan lagi. Tatapan mereka bertemu.

"Kangen sama apartemen gue," bohong Richard karena melontarkan alasan sebenarnya hanya akan meruntuhkan semua fondasi yang dibangunnya bersama Jaz sejak mereka sampai di Florence. "Gue kan nggak punya pacar yang rela dateng jauh-jauh ke Florence karena kangen."

Kalimat itu ditanggapi Jaz dengan sebuah tawa kecil. "Ngejek nih judulnya?"

Andai lo tahu bahwa gue sebenernya cemburu, Jaz, meski gue nggak punya hak buat itu, balas Richard dalam hati.

"Jadi lo baikan sama Daniel?" Menyadari pertanyaan itu terdengar bodoh, Richard menambahkan, "Ya pasti udah baikan sih, ya? Lo jahat banget juga misalkan nggak hargain usaha Daniel yang udah ke sini."

"Gue nggak tahu," ujar Jaz setelah dia diam cukup lama. "Gue nggak ngerasa seneng dia di sini, tapi juga nggak sedih. Biasa aja gitu. Gue nggak tahu apakah ini wajar karena kami udah dua minggu nggak komunikasi dan nggak ngeliat muka masing-masing. Atau sebenernya gue emang nggak berharap dia ke sini." Jaz menatap Richard. "Lagian, mau nunjukkin apa sih dia sama gue? Kalau dia punya duit buat dibuang gitu aja? Atau apa?"

Meskipun punya teori atas semua pertanyaan yang baru tertangkap pendengarannya, Richard memilih diam karena bukan porsinya untuk mengatakan sesuatu. Dia tidak ingin pendapatnya justru terpatri dalam benak Jaz dan kemudian hal itu menjadi masalah dalam hubungan perempuan itu dan Daniel. Richard sudah bersikap sangat hati-hati selama ini, dia tidak mungkin mengacaukan semuanya hanya karena dia tidak mampu menahan diri.

"Lo pernah denger nggak, kalau ada yang bilang, kalau lo ketemu soulmate lo, the one, atau apa pun istilah yang lo pakai, justru lo nggak akan deg-degan atau gugup. Lo akan tenang dan nggak ngerasain semua yang selama ini digambarin dalam novel atau film. Mungkin lo udah sampai di tahap itu sama Daniel."

Richard dengan sengaja menusukkan jarum kecil ke ulu hatinya ketika mengatakan itu. Tidak cukup kuat membuatnya berdarah, tapi cukup membuatnya meringis kecil. Namun dia berpendapat, tidak ada guna dia menyimpannya. Rasa sakitnya itu akan menghampirinya juga. Richard hanya mempercepat prosesnya.

"Rasanya gue sama Daniel belum sampai ke tahap itu, deh. Harusnya gue tahu kan misalkan dia emang the one? Gue nggak perlu bertanya-tanya lagi. Gue mestinya yakin banget nggak ada cowok lain yang bakal bisa bikin gue jatuh cinta. Tapi gue nggak ngerasain itu. Makanya gue nggak antusias banget dia ada di sini."

"Berarti kemesraan yang gue lihat sejak dia sampai di sini itu akting lo?" Richard bersiul pelan. "Hebat juga lo, Jaz. Nggak capek?"

"Gue sih nganggepnya nggak gitu. Gue cuma berusaha jaga supaya kami nggak ribut. Selain karena kru-kru lain pasti bakal liat, juga karena gue nggak mau ngerusak semua kenangan bagus yang udah gue bangun di sini cuma gara-gara dia." Jaz membuang napasnya, seolah setelah mengucapkannya, ada beban yang baru dia lepaskan. "Gue tahu kesannya pasti nggak adil banget buat Daniel, tapi gue nggak punya pilihan lain juga."

Richard berusaha memahami kebingungan Jaz dan alasan yang dikemukakan perempuan itu. Tidak bisa dipungkiri, ada sedikit sorak yang riuh bergemuruh di dalam hatinya. Sebuah harapan bahwa mungkin saja hubungan Jaz dan Daniel benar berada di ujung tanduk. Bukan berarti Richard berharap Jaz harus merasakan patah hati, tetapi jika memang itu membuka jalan baginya untuk menyelinap masuk, Richard akan menyambutnya dengan tangan terbuka.

Belum sempat Richard membalas, nama mereka dipanggil untuk segera berada di posisi. Richard mengerjap, lupa bahwa dirinya harus segera kembali meniupkan roh Brian. Berdeham pelan, dia mengingat kembali dialog yang akan diucapkannya sembari mengatur pernapasan untuk meredakan gugup.

Namun satu hal tidak terduga membuat usaha Richard berkonsentrasi buyar. Tangan Jaz menyelinap di antara jari-jarinya sebelum perempuan itu menggenggamnya dengan erat. Ketika Richard menoleh dengan ekspresi bingung dan penuh pertanyaan, Jaz hanya memberinya senyum.

"Gue makasih banget sama lo karena udah ada di samping gue dan bisa jadi orang yang bisa gue andelin sejak sampai di Florence. Lo nggak tahu betapa berartinya itu buat gue."

Richard sampai tidak mampu berkata-kata kecuali memberikan anggukan pelan. Mulutnya semakin kelu ketika Jaz mencondongkan wajahnya hingga sedetik kemudian, bibir perempuan itu menyentuh pipi kirinya. Bahkan ketika Jaz melepaskan genggaman dan meninggalkannya yang masih terduduk di anak tangga Loggia dei Lonzi, dirinya masih berusaha memikirkan apa yang baru saja terjadi.

"I think she likes you. No woman ever done that to just any man."

Mendengar itu, Richard menoleh dan sadar bahwa Ana, make-up artist yang mengurusi mereka di Florence yang mengatakannya dibarengi senyum penuh arti.

Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk dalam diri Richard sebelum akhirnya dia meyakinkan diri bahwa hal yang baru dilakukan Jaz adalah sesuatu yang wajar. Maka dengan satu tarikan napas, Richard kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri Jaz yang sudah lebih dulu mendapatkan arahan dari Raya.

Begitu dia sampai di sana, Raya menepuk lengannya. "Akting lo udah oke, Richard. Gue nggak punya catatan buat lo," ucap Raya sebelum dia meninggalkan mereka untuk kembali ke kursi sutradara dan berada di balik monitor.

Richard memandang Jaz bingung. "Raya bilang apa sama lo?" tanyanya berusaha menutupi gugup yang tiba-tiba menerjangnya dengan hebat.

"Bukan apa-apa," balas Jaz. "Lo siap?"

Karena tidak ingin mendesak Jaz mengingat waktu yang mereka miliki juga terbatas, Richard memutuskan untuk menyingkirkan lebih dulu rasa ingin tahunya. Maka dia pun mengangguk. "I'm ready whenever you're ready."

Mereka pun lantas berada di posisi yang diinginkan Raya tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan dari satu sama lain. Jaz memberikan anggukan pelan, yang ditanggapi Richard dengan gerakan yang sama. Itu adalah kode bahwa keduanya sudah siap.

"Camera ... rolling ... and ... action!"

REVULSIONWhere stories live. Discover now