49 - RICHARD

202 28 1
                                    


"Lo gimana kabarnya?"

Richard memandang wajah Ruri yang tampak begitu segar sementara dirinya masih diselimuti kantuk, terlihat dari rambutnya yang masih acak-acakan dan kelopak matanya yang berat. Meskipun begitu, dia memaksa tangannya untuk memasukkan baju-baju yang sudah tidak akan dipakainya ke dalam koper. Richard paling enggan membuang paginya dengan kegiatan yang tidak bermanfaat. Tubuhnya terlalu lelah untuk diajak berolahraga, tetapi bukan berarti dirinya malas menggerakkan tubuh.

"Capek banget," balas Richard yang menimbang apakah ingin mengenakan celana chino berwarna biru gelap yang dipegangnya atau memasukkannya ke dalam koper. "Entah kenapa, Raya sepertinya kesurupan sejak kami nyampe Florence. Gue sama Jaz bisa take berkali-kali buat satu adegan. Semua yang kami lakuin, rasanya nggak pernah ada yang pas buat dia."

"Tapi lo nggak ngeluh, kan?"

"Ngeluhnya sama Jaz," ucapnya jujur. "Dia udah kayak partner in crime gue selama di Florence karena ya nggak ada yang lain." Richard akhirnya meletakkan celana chino tersebut di atas tempat tidur, terpikir mengenakannya untuk terbang ke Indonesia tiga hari lagi. "Beruntung di sini belum summer. Gue nggak bisa bayangin panasnya kayak gimana misalkan udah masuk musim panas. Jaz bisa pingsan kali." Pandangan Richard beredar ke setiap sudut kamar yang bisa dijangkaunya, memastikan dia tidak akan ketinggalan barang apa pun. "Lo sendiri gimana di sana? Aman?"

"Everything is under control."

"Semua pesenan lo udah gue beliin. Awas aja kalau lo masih ngancem buat resign." Richard menunjukkan satu tas yang isinya merupakan pesanan Ruri. "Puas?"

Balasan yang diberikan Ruri hanyalah sebuah cengiran.

Sekalipun asistennya itu terlihat agak cuek dengan penampilan, tetapi Ruri cukup tahu pakaian seperti apa yang cocok untuknya. Pesanan yang ingin dibawakan Richard pun tidak bergeser jauh dari sepatu dan baju yang memang koleksinya tidak dijual di Indonesia.

"Lo sama Jaz gimana? Karena gue perhatiin, lo selalu nyebut nama dia."

Richard tahu keingintahuan Ruri sangatlah besar, terlebih dia memang sengaja tidak membeberkan setiap menit yang dilaluinya bersama Jaz dalam pesan singkat kepada asistennya itu. Richard hanya ingin menikmati waktu terbatas yang diberikan kepadanya bersama Jaz, terlepas dari apa pun yang akan terjadi setelahnya.

"Semakin deket karena memang gue lebih sering sama dia meski lagi nggak syuting. Tapi," Richard merasa perlu menambahkan disclaimer karena tidak ingin Ruri salah paham, "ya sebatas itu doang. Gue nggak ngerasain sesuatu yang beda di antara kami. Chemistry kami sebagai Brian dan Claudia makin oke, tapi di luar itu ya nggak ada apa-apa. We're like friends."

"Dan perasaan lo gimana sama dia?"

Richard membuang napas karena bingung menemukan jawaban. Dia memang menyisihkan berbagai macam pertanyaan yang muncul ketika bersama Jaz, terutama sejak mereka sampai di Florence. Jika Richard melakukannya, dia takut tidak akan bisa menikmati keberadaan perempuan itu di sampingnya.

Dia memutuskan duduk di sofa sembari mengintip langit Florence pagi ini yang tampak secerah seperti hari sebelumnya.

"Gue rasa nggak banyak yang berubah, Ru. Gue ngerasa tolol aja kadang-kadang karena nggak bisa ngapa-ngapain. Dan gue juga belum ngelakuin sesuatu yang konyol dan gue sesali. Karena kami mau balik, rasanya ketakutan bakal ada kejadian nggak terduga di Florence nggak akan terbukti."

"Emang hubungan dia sama Daniel gimana? Tumben tuh cowok belum nyusul."

"Gue sih nggak mau sok tahu, tapi dari sedikit cerita tentang Daniel—Jaz nggak banyak cerita soal cowok itu sejak kami sampai—kayaknya mereka lagi break, apa pun itu artinya." Richard tentu saja tahu berharap itu adalah awal dari berakhirnya hubungan Jaz dan Daniel, tetapi dia tidak ingin menyuarakannya dengan lantang. Dia ingin menyimpannya sendiri supaya tidak ada orang lain yang menghakiki keinginannya. "Jaz cuma cerita, kepergiannya ke Florence ini dateng di waktu yang pas."

"Richard Ackles yang gue kenal dulu, pasti udah ambil kesempatan ini tanpa pikir panjang," cetus Ruri. "Tapi gue juga bangga sama lo yang berhasil ngendaliin diri dengan baik. Good for you, Rick!"

Menanggapi kalimat berbalut pujian dari Ruri tersebut, Richard hanya tersenyum tipis. Tidak ada yang keliru dari kalimat Ruri, tetapi dia memang berusaha agar tidak mengambil keputusan terburu-buru, terlebih hanya mengikuti nafsu. Tuduhan yang sempat dilayangkan Jaz—meski tidak terbukti—menyadarkan Richard bahwa keberuntungan mungkin tidak akan dua kali berpihak kepadanya.

"Makanya gue nggak kirim laporan tertulis sama lo tiap saat karena gue lebih pengen enjoy the moment yang gue punya bareng Jaz sebelum kami harus balik ke Jakarta. Seenggaknya di sini nggak ada Daniel atau kesibukan lain yang ganggu kami." Richard menyilangkan kakinya di atas meja. "Because this one feels like a dream, Ru. And at one point, I have to wake up."

"Lo mau gue cari informasi soal hubungan Daniel sama Jaz?"

Tawaran itu disambut Richard dengan kening berkerut. "Emang lo detektif?" Dia lantas menggeleng. "Nggak perlulah. Buat apa? Emang gue bisa apa misalkan tahu mereka emang lagi ada masalah?"

"Ya udah kalau gitu. Lo tetep jaga diri aja di sana meski udah mau balik. Beth lo beliin apa?"

"Dia bilang nggak usah dibeliin apa-apa pas gue tanya, tapi ya tetep gue beliin karena itu kan kode cewek kalau emang mau dibeliin sesuatu."

Ruri tergelak. "Lo mandi, terus sarapan sana. Selamat berduaan sama Jaz."

Richard memutar bola matanya mendengar ucapan tersebut. "Bye, Ru!"

Begitu video call mereka selesai, Richard dengan segera bangkit dari sofa untuk menuju ke kamar mandi.

Selepas mengguyur badannya dengan air hangat, dia langsung mengenakan kaus lengan panjang berwarna putih dan celana jin hitam, menyisir rambutnya dengan asal, dan keluar dari kamar. Perutnya memang sudah lapar, tetapi bicara dengan Ruri sedikit membantu untuk menjaga suasana hatinya yang sedang baik. Dia bahkan bersenandung pelan saat berjalan menuju lift.

Begitu masuk, Richard langsung memencet angka 1 untuk menuju restoran. Sisa waktu yang dimilikinya bersama Jaz jelas akan dimanfaatkan Richard dengan baik. Dia bahkan sudah mencari beberapa restoran yang bisa mereka datangi untuk makan malam mengingat selama ini, pilihan Richard tidak pernah salah di mata Jaz.

Hanya saja, Richard terlena dengan imajinasinya sendiri hingga ketika dia sampai di lantai satu dan pintu lift terbuka, langkahnya terhenti.

"Daniel?" sapa Richard saat melihat pria itu membawa dua kopi dalam paper cup yang asapnya mengepul hebat dan pandangannya tidak terfokus pada pintu lift yang baru terbuka.

"Selamat pagi, Richard. Maaf, aku nggak tahu yang keluar kamu. Apa kabar?"

Pertanyaan sederhana itu diikuti Daniel dengan sebuah senyum yang hanya bisa diartikan Richard sebagai senyum kebahagiaan. Jantung Richard berdegup begitu kencang menyadari semua rencana yang dimilikinya, secara otomatis gugur begitu mendapati kekasih Jaz berada di Florence. Sekeras mungkin, Richard mengumpat dalam hati.

Richard berdeham pelan demi menutupi kemarahan yang diakibatkan oleh kebodohannya sendiri. "Kapan lo sampai?"

"Baru semalam. Makanya aku mau bawa kopi ini ke kamar. Jaz masih tidur."

Richard hanya menanggapinya dengan anggukan. "Nggak mepet lo dateng pas kami udah mau balik ke Jakarta?"

"Aku sudah kangen dengan Jaz. Nggak bisa menunggu meski hanya beberapa hari."

"Lo udah sarapan?"

"Aku nanti sarapan sama Jaz aja. Ada satu bistro di dekat sini yang menurut temanku enak sekali. I'd love to take her there."

Richard berniat mengomentari niat tersebut saat teringat bahwa Daniel suka dengan tempat-tempat yang pretensius seperti kata Jaz. Namun dia mengurungkannya. Semakin lama berada di dekat Daniel, ada perasaan tidak suka yang semakin kuat mencengkeram Richard.

"Gue sarapan dulu. Have fun, Daniel."

"Thanks, Richard!"

Richard hanya sanggup mengayunkan kakinya beberapa jengkal sebelum dia kembali berhenti dan menoleh, mendapati pintu lift sudah tertutup. Baru kemudian dia bisa mengumpat. Pelan, tapi cukup bagi Richard meluapkan kekesalannya.

"Sialan!"

REVULSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang