24 - THE ARGUMENT

269 31 2
                                    


Jaz sangat tidak menanti hari ini karena satu hal: dia harus bertemu Richard Ackles.

Meskipun tahu hanya tinggal menunggu waktu hingga dia harus bertatap muka dengan pria itu, Jaz berharap punya kekuatan untuk menundanya sedikit lebih lama, setidaknya sampai hasil tes DNA keluar. Dia ingin bisa memantapkan hati mengenai sikap yang harus diberikannya kepada Richard.

Mereka harus bertemu dengan Priya Selina, penulis naskah Revulsion yang kebetulan baru saja pulang dari Los Angeles. Priya ingin mengenal Richard dan Jaz secara personal sebelum dia harus mulai mengubah beberapa dialog atau adegan supaya lebih pas dengan karakter asli mereka. Jujur Jaz tidak tahu apakah yang dilakukan Priya itu hal yang normal dalam dunia fim atau tidak. Dia hanya beranggapan bahwa karena ini produksi salah satu streaming service besar, banyak hal baru yang harus dipelajarinya.

Sekalipun sangat tidak bersemangat untuk melihat wajah Richard Ackles, Jaz tetap tampil cukup pantas karena ini pertama kalinya dia akan berjumpa dengan Priya. Mereka dijadwalkan untuk bertemu di lounge salah satu hotel berbintang. Jaz tentu saja tidak bertanya lebih lanjut ketika Anggi memberitahunya. Dia tidak sedang berada dalam posisi untuk menolak atau menawar.

Seperti biasa, Jaz selalu datang lebih awal supaya memberikan kesan dia bukan public figure yang gemar datang terlambat dan membuat orang lain menunggu. Langkah Jaz terlihat mantap saat memasuki lounge hingga dia mendapati Richard sudah sampai di sana lebih dulu. Walau terlihat cukup sibuk, Jaz tidak mungkin salah melihat pria itu. Dengan postur tinggginya, mustahil mata Jaz menipunya.

Karena tidak mungkin menggeram kesal, Jaz melakukannya dalam hati. Ini bakal jadi pertemuan paling nggak banget, batinnya. Terlebih ini juga merupakan pertama kalinya pertemuan mereka terjadi dengan sengaja. Menarik napas dalam sembari menetralkan emosinya yang mulai bergejolak, Jaz kembali mengayunkan kaki mendekati meja yang sudah ditempati Richard.

Tentu saja reaksi pertama pria itu hanyalah mendongak sebelum kembali menekuri ponselnya. Sungguh nggak sopan dan nggak gentleman kayak Daniel, gerutu Jaz dalam hati. Tidak lama kemudian, seorang pramusaji menghampirinya dan Jaz memutuskan untuk memesan iced lemon tea.

"Gue kira cewek kayak lo nggak akan minum es."

Kalimat tersebut dilontarkan Richard selepas pramusaji yang mencatat pesanan Jaz pergi. Jaz hanya menaikkan alis, terlebih pria di depannya ini mengucapkan kata-kata itu tanpa melihatnya.

"Emang peduli lo apa sama pilihan minum gue? Nggak suka? Judgmental banget jadi orang."

Richard tergelak. Masih belum mengangkat wajah untuk memandang Jaz. "Gue? Judgmental? Nggak salah? Maling nggak usah teriak maling."

"Seenggaknya gue masih punya manner. Nggak kayak cowok yang ngomong, tapi nggak liat lawan bicaranya." Jaz meloloskan tawa mengejek. Namun sikapnya itu berhasil menarik perhatian Richard. Sedetik kemudian, Richard mengangkat muka untuk menatap Jaz. "Oh, harus disinggung dulu egonya?"

"Lo barusan ngomong apa?"

Richard tidak lagi bisa mengabaikan ucapan Jaz yang menurutnya sangat merendahkan dan mengolok-olok sikapnya sebagai seorang pria. Judgmental kata dia? Harusnya ngaca tuh cewek! gerutu Richard dalam hati. Dia pun menatap tajam Jaz yang tampak puas karena berhasil membuatnya mengalihkan perhatian dari ponsel.

"Gue nggak perlu ngulangin apa yang udah lo tahu dari lahir. Buang-buang energi."

Menggertakkan gigi, Richard mengingatkan diri bahwa dia tidak bisa kehilangan kendali saat ini. Jika dia bisa melakukannya setiap kali bertemu Jaz, kali ini tidak akan jauh berbeda.

Menyandarkan kedua lengannya di atas meja, Richard mencondongkan sedikit tubuh sementara pandangannya fokus ke arah Jaz. "Sebenernya, masalah lo sama gue itu apa? Gue beneran pengen tahu. Soal Mina? Kalau iya, apa yang bakal lo lakuin misalnya hasil tes DNA-nya negatif? Masih tetep nggak suka sama gue? Karena kalau alasan lo memang itu, berarti lo nggak akan punya landasan lagi buat benci gue. It will be gone, and you will have nothing against me."

Richard sangat sadar, pertanyaan yang diajukannya hanyalah variasi dari pertanyaan serupa yang pernah diajukannya ke Jaz. Dia pun tahu, balasan yang akan didapatnya mungkin bukan yang ingin didengarnya. Namun Richard hanya menuruti egonya, demi mengisi waktu luang sembari mereka menunggu Priya.

"Lo amnesia? Atau pura-pura lupa? Masih perlu gue jelasin panjang lebar?" Jaz menggeleng heran. "Nggak usah sok alim pakai nanya-nanya segala. Lo tahu dengan pasti alasan gue nggak pernah suka sama lo."

Tanggapan yang diberikan Richard adalah sebuah senyum simpul. "Itu nggak jawab pertanyaan gue yang terakhir. Apakah iya lo nggak suka sama gue murni karena Mina, hmm?" Richard sengaja menyudutkan Jaz karena dia tahu, rasa tidak suka perempuan yang duduk di depannya ini pasti bukan hanya karena Mina. Dan itu yang ingin diketahui Richard. Senyumnya makin melebar saat mengetahui Jaz salah tingkah. Itu berarti tebakannya tidak meleset.

Pesanan Jaz datang hingga memberikan perempuan itu kesempatan—meskipun sempit—untuk mengulur waktu. Dia paling tidak suka disudutkan seperti ini. Apalagi Jaz tidak memiliki jawaban yang memuaskan untuk menanggapi pertanyaan Richard. Meskipun Anggi sudah pernah mengajukan pertanyaan serupa, rasanya berbeda ketika mendapatkannya dari pria yang paling dia benci. Dia masih berusaha menemukan cara untuk mengelak dari pertanyaan tersebut.

"Lo pede banget, ya? Emang alasan gue nggak suka sama lo semata-mata karena Mina?" Jaz menggeleng mantap, berusaha menunjukkan kepercayaan dirinya supaya bisa meyakinkan Richard bahwa dia serius dengan ucapannya. "Misalkan lo nggak ada masalah sama Mina pun, gue nggak akan pernah suka sama cowok kayak lo. Narsis, modal tampang doang, player, dan sangat nggak gentleman. Apa yang bisa gue suka dari cowok kayak gitu?" Jaz menggeleng. "Nggak ada."

Jaz memang berusaha terlihat santai dan tidak terintimidasi oleh tatapan Richard yang sangat berbahaya itu. Mengendorkan sedikit saja pertahanannya selama ini, Jaz yakin dia pasti akan takluk dalam pesona Richard. Gue nggak boleh mikirin itu. Haram, Jaz! Haram! teriaknya dalam hati sembari menyeruput es teh lemonnya.

"Dan lo nyebut gue judgmental? Padahal kenal gue aja lo nggak, tapi udah ngasih cap yang belum tentu bener. Apa perlu gue buktiin di tempat lain betapa gentleman-nya gue?"

Richard memang sengaja menantang Jaz dengan kalimat itu meskipun dia sangat yakin, perempuan yang sedang menikmati minuman di depannya ini tidak akan menerimanya begitu saja. Richard cukup hafal dengan tabiat perempuan seperti Jaz. Satu yang membedakan Jaz dengan perempuan lain adalah Richard tidak berniat sedikit pun menyeret Jaz ke tempat tidur. Membayangkannya saja membuat Richard merinding. Horor banget pasti nyeret perempuan preman kayak gitu ke tempat tidur, batin Richard.

"Lo jadi cowok memang kurang ajar, ya? Gue bisa laporin ini sebagai pelecehan kalau gue mau," ancam Jaz.

"Apakah ada kalimat gue yang menjurus ke sana? Apa itu kartu As yang lo punya supaya lo nyerah?"

Siapa pun yang melihat mereka berdua saat ini, pasti bisa mencium aroma tidak suka yang sangat pekat. Belum lagi tatapan yang diberikan Jaz dan Richard semakin menguatkan kebencian itu.

"Aku beneran harus kasih tepuk tangan paling meriah buat casting department yang udah menemukan kalian berdua. Aku berasa lihat Claudia dan Brian seperti yang ada dalam bayangan."

Suara itu sontak membuat Jaz dan Richard menoleh. Mereka sama-sama tidak sadar ada orang lain yang mendekati meja mereka karena terlalu sibuk dengan argumen masing-masing.

"Hi, aku Priya, penulis Revulsion. Kalian pasti Jaz dan Richard, kan?" 

***

Hi semua,

Mulai part depan, saya akan posting di sini, ya? Buat yang nunggu di Stary, ceritanya saya pindah ke Wattpad. Mungkin ke depannya akan ada juga di Karyakarsa, tapi masih belum final, sih. Mungkin kalau ada cerita yang layak.

Makasih semuanya yang udah baca Richard dan Jazmine.

REVULSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang