45 - RICHARD

204 24 1
                                    


"Pokoknya semua titipan gue wajib lo bawa. Kalau nggak, gue resign jadi asisten lo."

Richard yang sedang berusaha menyelipkan kaus kaki ke sisi-sisi koper hanya setengah mengangkat wajahnya. Dia lantas menggeleng sebelum melanjutkan aktivitas merapikan baju-baju yang akan dibawanya supaya muat lebih banyak.

"Gimana gue bisa lupa? Lo ngingetin gue bukan setiap hari lagi, tapi udah tiap jam diingetin," balas Richard datar.

"Lagian, ngapain sih lo packing sekarang, Rick? Lo masih ada empat hari sebelum berangkat ke Florence."

Tanpa mengalihkan pandangan dari memindahkan kaus, kemeja, dan celana panjang yang sudah terlipat, Richard berkata, "Karena lo harusnya tahu gue syuting besok dan gue nggak mau packing last minute karena pasti ada yang ketinggalan. Lagian ini cuma baju-baju yang nggak bakal gue pakai dalam beberapa hari ke depan. Gue lagi ada waktu luang, kenapa harus nunggu?"

Membuang napas karena lega semua barang yang ingin dibawanya sudah masuk ke dalam koper, Richard tersenyum menyaksikan kopernya sudah tertata rapi. Dia membaca kembali daftar yang ditulisnya, memastikan dia tidak melewatkan satu barang yang mengharuskannya membongkar lagi isi kopernya. Setelah yakin tidak ada yang tertinggal, Richard menutup kopernya.

Dia memandang Ruri yang sejak tadi duduk di sofa dan menyaksikannya packing. "Lo harusnya seneng karena nggak bakal ketemu gue buat dua minggu, jadi lo bisa pake mobil gue, bahkan tinggal di sini. Kurang baik apa coba gue?"

Ruri justru meringis mendengar tawaran itu. "Tidur di kamar bekas lo main sama cewek-cewek? Jijik banget!"

Richard justru tergelak. "Kan ada kamar tamu, ya lo tidur di sana, lah. Kamar gue strictly forbidden buat dimasukkin kecuali gue."

Menghampiri sofa panjang, Richard membanting tubuhnya di sana. Dia meraih ponsel dan menemukan pesan dari Jaz. Ketika membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang. Padahal Jaz hanya mengetik see you tomorrowsetelah mereka membahas tentang adegan yang akan mereka lakukan besok.

"Gue perhatiin, sejak balik dari Bali, lo jadi lebih sumringah dan nggak emosian kayak dulu."

Perlahan tapi pasti, Richard menghapus senyumnya sebelum mengarahkan pandangan ke Ruri. "Ya iyalah, siapa coba yang nggak seneng abis balik dari Bali? Bahkan mungkin gue bakal ke sana lagi abis kelar syuting nanti. Mungkin tinggal sebulanan. Lo harus mastiin semua jadwal gue di Jakarta jangan sampai jaraknya jauh-jauh supaya gue nggak bolak-balik."

"Lo serius?" tanya Ruri tidak percaya. "Lagi?"

"Ru, cuma sebulan. Gue bakal balik lagi ke Jakarta. Rasanya setelah ada di Florence nanti, gue bakal syok kalau harus balik ke Jakarta. Gue butuh penyesuaian sebentar."

"Gaya banget sih lo, Richard Ackles. Bilang aja lo mau berduaan sama Jaz."

Jika Ruri tidak menyebut nama perempuan itu, Richard mungkin tidak akan menanggapi ejekan Ruri. Namun menyelipkan nama Jaz ketika yang diinginkan Richard hanyalah pergi ke Bali dan bersantai, dia tidak mampu bersikap biasa. Menegakkan tubuh, Richard menatap Ruri lekat.

"Ada alasan kenapa lo nyebut nama Jaz? In case lo lupa, Jaz udah punya pacar, namanya Daniel. Dan for your record, Ruri, gue nggak ada perasaan apa pun sama dia. Gue nggak tahu dari mana lo punya ide gue bakal ke Bali sama Jaz. That's just an absurd conclusion."

"Richard Ackles, kayaknya Bali udah bikin otak lo sedikit geser," kata Ruri ringan. "Lo lupa, gue selalu bisa bilang tiap lo bohong? Dan yang baru lo bilang, adalah kebenaran yang nggak bisa lo tutup-tutupin pakai kebohongan atau alasan apa pun.

Richard sudah menyiapkan balasan, tetapi dia mengurungkannya karena fakta bahwa selain Beth, Ruri adalah satu-satunya orang yang bisa membaca dirinya dengan sangat baik, sempat tersingkirkan dari pikiran.

Tanpa mengubah posisi duduknya, Richard memandang Ruri. Dia sadar cepat atau lambat, asistennya itu tidak akan bisa diam sebelum dia menceritakan semuanya. Kadang dia berpikir, keingintahuan Ruri sering menyinggung ranah pribadi, tapi Richard mengingatkan dirinya bahwa Ruri memang bukan sekadar asisten. Dia percaya dengan perempuan itu.

"Gue nggak mau melabeli perasaan gue ke Jaz dengan apa pun karena gue nggak mau jadi cowok kurang ajar," jelas Richard singkat.

"Emangnya lo udah ngapain dia sampai nyebut diri lo kurang ajar?"

"Ru, dia pacaran sama Daniel, apakah itu nggak cukup buat gue buat mundur teratur? Lagian kalaupun gue suka, gue bisa apa? Gue jelas nggak akan mau jadi penyebab mereka putus atau parahnya lagi, dianggap ngerebut Jaz dari pria lain."

Meski baru mengungkapkannya kepada Beth, ada lelah yang menggelayuti Richard harus menjelaskan alasan dirinya tidak ingin mengakui perasaannya kepada Jaz. Bagi Richard, menyuarakannya sama saja dengan mengingatkan fakta bahwa Jaz memang tidak teraih.

"Seenggaknya ngakuin ke diri lo sendiri itu adalah langkah awal yang bagus dibanding lo terus-terusan nayangkal soal perasaan yang emang lo rasain," balas Ruri santai. "Masalah Jaz bakal tahu atau nggak, menurut gue itu nggak penting. Gue benci bilang gini karena lo pasti nggak suka dan kesannya sentimental banget, tapi lo bisa mencintai dalam diam. Bukan hal yang ideal, tapi buat sekarang, cuma pilihan itu yang ada buat lo."

Richard memang membenci istilah yang diungkapkan Ruri hingga dia meringis. Dia sangat menjunjung tinggi konsep bahwa cinta itu harus diungkapkan, bukan disimpan. Lalu, apa tujuan orang jatuh cinta jika hanya bisa dikonsumsi sendiri?

"Ya intinya kan sama aja, gue nggak bisa ngapa-ngapain, dan itu bikin frustasi, Ru."

"Richard, lo nggak mau kan film ini jadi siksaan buat lo?"

Kening Richard mengerut. "Siksaan gimana maksud lo?"

"Ketakutan lo dulu begitu tahu Jaz bakal jadi lawan main, nggak terbukti karena kalian berhasil berdamai. Semuanya berjalan dengan baik sampai sekarang. Lo suka sama Jaz itu di luar perkiraan, tapi juga nggak mengejutkan karena kalian adalah dua bintang utama dalam sebuah film romantis, yang berarti kalian harus bangun chemistry. Gue sempet berpikir, mungkin lo kebawa aja sama peran Brian yang emang bucin parah sama Claudia. Gu—"

"Ru, to the point aja lo mau ngomong apa. Nggak usah pakai backstory segala," potong Richard yang mulai sudah tidak sabar. Namun protesnya itu dihadiahi Ruri dengan melempar kulit pisang yang tergeletak di meja di samping tempat Ruri duduk. Beruntung reflek Richard cukup gesit hingga benda itu tidak mengenai wajahnya. "Apaan sih?" gerutu Richard. Dia lantas meraih kulit pisang yang jatuh di sofa dan meletakkannya di atas meja di hadapannya.

"Lo mau ngerusak apa yang lo bangun selama ini sama Jaz dengan bilang ke dia? Lo yakin, sisa syuting kalian nggak akan jadi canggung? Gimana kalau Jaz justru balik benci sama lo karena dari cerita lo, dia udah mulai bisa percaya sama lo? Pasti lo nggak mikir ke sana."

Kemungkinan itu jelas ada. Sekali lagi, Ruri bisa membaca situasi dengan sangat baik tanpa harus ada di lokasi. Richard pun diam, mengakui bahwa mengungkapkan perasaannya ke Jaz adalah sebuah misi bunuh diri. Meskipun tahu dia tidak akan melakukannya, tetap saja disodorkan fakta itu membuatnya menelan kekecewaan.

"Jadi balik lagi, pilihan ada di lo. Cuma kalau boleh gue saranin sih, mending kasih waktu lebih lama, mungkin sampai syuting kelar dan lo nggak ketemu dia lagi. Kalau saat itu perasaan lo masih sama, berarti lo emang beneran suka sama Jaz. Lo bisa lampiasin perasaan yang nggak bisa lo ungkapin ke melalui Brian. Dengan gitu, Jaz nggak akan curiga, dan lo nggak perlu nyimpen semuanya. Win-win solution, kan?"

"Bakal gue coba," ucap Richard akhirnya setelah dia terdiam cukup lama. "Gue cuma takut kebablasan."

"Gue rasa lo bakal tahu saat yang pas buat injak rem, Rick."

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Richard Ackles tidak yakin dengan optimisme yang dilontarkan Ruri. 

REVULSIONNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ