61 - EXCHANGING THE NEWS

238 28 1
                                    


Untuk kedua kalinya, Richard kembali meminta Jaz supaya mereka bertemu, kali ini tanpa Evan dan Mina. Di luar dugaan, Jaz meminta agar Richard datang ke rumahnya setelah mengetahui bahwa pembicaraan mereka cukup sensitif dan Jaz tidak ingin mengambil risiko orang lain mendengarnya.

Richard awalnya tentu ragu dengan undangan tersebut. Namun dia kemudian meyakinkan diri bahwa datang ke tempat tinggal Jaz memang terdengar lebih masuk akal dibanding membahasnya di restoran atau di tempat umum. Maka Richard mengiyakannya.

"Lo nyasar nggak?"

Richard menggeleng begitu dia mendapati Jaz membuka pintu tidak lama setelah dia menekan bel. "Cuma agak trickykarena nomor rumah di sini kecil-kecil dan gue nggak familier dengan daerah sini."

"Gue akui, itu fakta yang valid." Jaz membuka pintu lebih lebar sebelum mempersilakan Richard masuk. "Lo mau minum apa? Sorry ya gue nggak dandan heboh. Ketemuannya sama lo juga ini."

Mau tidak mau Richard tergelak mendengarnya. Jaz memang hanya mengenakan kaus dan celana panjang longgar linen, sementara rambutnya dikuncir kuda, jauh dari kesan glamor yang biasa ditunjukkan Jaz di depan kamera. "Gue ngerasa nggak dihargai kalau gini," candanya yang langsung mendapatkan cubitan pelan di lengan. "What was that for?"

"Lo rese, sih. Udah cepetan mau minum apa?"

"Air putih aja, Jaz. Nggak usah repot-repot."

"Dingin atau nggak?"

"Yang mana aja nggak masalah."

"Ya udah gue ambilin dulu."

Sementara Jaz menghilang ke dapur, Richard mengamati ruang tamu Jaz yang terlihat jauh dari kesan mewah dan berlebihan, tapi ditata begitu rapi dan enak dipandang. Warna-warna netral—cokelat muda, abu-abu muda, putih, dan sesekali ada warna hijau yang menyembul—yang menghiasi ruang tamunya terlihat nyaman. Selain itu tidak banyak hiasan dinding yang terpajang selain beberapa figura foto, dan satu lukisan pemandangan laut yang justru membuat suasana di ruang tamu itu menjadi adem.

"Kita nggak usah ngobrol di sini, di taman aja."

Richard mengangguk sembari menerima uluran gelas yang sudah terisi air putih dingin. Dia mengikuti Jaz melewati ruang tengah dan juga dapur sebelum perempuan itu membuka pintu dan membawa mereka ke taman belakang yang rimbun. Meski tidak ada kolam renang, tetapi Richard merasa kesan asri yang ingin ditonjolkan, akan mampu membuat siapa pun yang menginjakkan kaki di sini langsung merasa betah.

"Evan ngaku tidur sama Mina, sepulangnya kami dari Red Bamboo," ucap Richard setelah dia menandaskan setengah gelas air putih di tangannya. "Dia mabuk sih, jadi gue nggak bisa bener-bener yakin apakah itu fakta atau dia cuma ngelantur. Gue pengen ngomong langsung ke dia, confront kalau perlu, dan maksa dia buat tes DNA. Tapi gue belum punya waktu yang pas."

Informasi itu jelas mengejutkan Jaz. Dia diam sejenak, menyusun kalimat yang pas untuk diucapkan ke Richard. "Lo yakin dia bakal mau? Maksud gue, Evan bisa aja ngelak bahwa dia nggak bilang gitu dan gue nggak yakin dia mau tes DNA. Soalnya dia bisa aja bilang bahwa Mina tidur sama cowok lain."

"Kalau dia emang bukan ayah Brandon, harusnya dia nggak perlu takut, kan? Karena hasil tes DNA nggak akan bohong. Justru kalau dia nolak, gue bakal makin curiga. Berarti dia nyembunyiin sesuatu."

Jaz mengangguk, setuju dengan poin yang dilontarkan Richard. "Lo lebih kenal Evan, jadi gue serahin dia ke lo. Tapi gue juga nggak mau hubungan lo sama dia jadi rusak karena ini, seenggaknya sebelum semuanya kebukti. Ntar gue lagi yang lo salahin."

Richard tergelak. "Lo tenang aja. Gue tahu yang bakal gue lakuin." Dia lantas menoleh dan memandang Jaz. "Mina sendiri gimana? Dia yakin cowok yang dia tiduri itu Evan?"

"Dia masih belum yakin karena ya satu-satunya cara buat yakin cuma tanya langsung ke Evan. Tapi dia mau ubek-ubek lagi clutch yang dia pakai malam itu, kali aja Evan ninggalin sesuatu yang bisa dia jadiin petunjuk. Mina sebenernya cukup bisa buat gedein Brandon sendiri, cuma dia pengen bisa kasih jawaban jujur misal suatu saat Brandon nanya. Jadi dia nggak perlu bohong. Gue sebenernya punya teori."

Kedua ujung alis Richard bertaut. "Teori soal apa?"

Jaz pun kemudian menjelaskan teori yang diutarakannya ke Mina sepulang mereka dari Red Bamboo, termasuk menanyakan ke Richard tentang seberapa kuat Evan mengonsumsi alkohol. Selama menerangkan semuanya, dia memperhatikan Richard mendengarkan dengan saksama dan tidak sekali pun memotong omongannya.

"Gue rasa teori lo masuk akal. Evan emang kuat minum, tapi malam itu, perhatian gue lebih ke sikap dia." Richard kemudian menambahkan tentang sikap Evan yang tidak bisa ketika dia menyinggung Mina. "Gue nggak mau kecurigaan gue jadi besar hanya karena hal kecil, tapi gue kenal Evan. Dia nggak akan bilang gitu soal perempuan mana pun. He loves women a bit too much."

"Jadi kita harus ngapain?"

Richard mengedikkan bahunya. "Gue bakal nyoba ngomong sama Evan, tapi lo dan Mina harus sabar. Gue nggak bisa janji bakal berhasil, tapi gue bakal coba."

"Gue makasih banget lo mau bantuin, Richard. Gue tahu ini nggak gampang buat lo."

"Gue rasa, kalau Mama masih ada dan gue cerita soal ini, Mama pasti mau gue bantu Mina juga. Kalau emang Evan orangnya, paling gue kehilangan sahabat, itu aja. Nggak akan gampang, apalagi kalau dia sampai ngancem ngebongkar semua rahasia gue ke publik. Meski rasanya nggak mungkin juga Evan bersikap sedangkal itu, tapi kemungkinannya tetep ada. But we'll see."

Jaz menekuk kakinya hingga dia berada dalam posisi yang nyaman untuk mengenal Richard lebih dalam. "Lo deket banget ya sama nyokap lo? Gue nggak berani bayangin rasanya kehilangan nyokap."

"Gue deket sama Papa juga sih, seenggaknya sebelum Papa mutusin buat ninggalin Indonesia. Tapi sama Mama emang beda. I was a Mama's boy." Richard tersenyum simpul ketika beberapa kenangan tentang Mamanya muncul dalam pikirannya. "Mama nggak pernah bilang nggak tiap kali gue pengen nyoba sesuatu yang baru karena sejak kecil, gue diajarin bahwa setiap sikap dan keputusan yang gue ambil, akan ada konsekuensinya. Gue dan Beth diajarin tanggung jawab sejak mulai bisa milih sesuatu. Gue belajar dari pilihan-pilihan yang salah, dan Mama nggak pernah sekali pun bilang, 'I told you so' karena ya dari awal, gue udah tahu ada konsekuensi di balik setiap keputusan." Richard membuang napas sembari meluruskan kakinya. "Gue cuma berharap, Mama bangga sama gue dan Beth. Sama semua pencapaian kami. Tapi di luar itu, gue berharap Mama bangga liat gue masih jadi cowok yang bertanggung jawab."

"Gue rasa Mama lo pasti bangga sih, Richard."

"Lo bisa manggil gue Rick."

Kedua alis Jaz terangkat karena tidak menyangka pembicaraan mereka justru sampai di tahap ini. Jaz ingat sekali Richard pernah bilang bahwa dia hanya mengizinkan segelintir orang untuk menggunakan panggilan itu. "Lo serius?"

"It's just a name. Nggak ada yang spesial dari itu."

Richard tahu bahwa memberikan Jaz izin untuk memanggilanya dengan Rick punya konsekuensi besar. Dia seperti sudah membiarkan Jaz untuk menjadi semakin masuk ke dalam hatinya. Richard sadar dia bisa meraup kecewa, tapi dia akan menerimanya.

"Akhirnya ya, Rick. Masuk juga gue ke grup elite lo."

Saat berbagi tawa dengan Richard seperti ini, Jaz tahu bahwa hatinya sudah bergerak lebih maju untuk menerima pria di sampingnya ini. Semua kenangan di Florence kembali menyerangnya. Dia hanya perlu sedikit lagi keyakinan sebelum memberikan jawaban yang pasti sudah ditunggu Richard. 

REVULSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang