10 - RICHARD

308 32 3
                                    



Pandangan Richard menjelajah setiap sudut ruangan yang mampu dijangkaunya. Lima puluh tamu undangan yang hadir dalam acara pembukaan butik Mandala Putra, salah satu desainer muda Indonesia yang namanya selalu bersinonim dengan koleksi-koleksi modern berbalut kain-kain tradisional. Jika bukan karena dia sudah mengenal Putra sejak awal karir, Richard pasti lebih memilih diam di apartemen dan membuang waktunya dengan melakukan hal yang tidak bermanfaat.

Bahkan Putra dengan sengaja mengirimkan satu pasang pakaian yang bisa dikenakannya malam ini, sesuatu yang hanya dilakukan Putra untuk beberapa individu yang sudah sangat dikenalnya dengan baik. Tentu saja, kehadirannya di pesta ini cukup menarik minat beberapa media yang hadir, satu hal yang cukup mengejutkan Richard. Bukan karena dia tidak menduganya, tetapi karena ini bukanlah acara besar.

Dengan senyum yang senantiasa terpasang di wajah, Richard menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan kepadanya. Dia menjawab setiap pertanyaan dengan ringan tapi hati-hati, termasuk yang berkaitan dengan Mina, rumor bahwa dia mengikuti audisi untuk Revulsion—yang tidak dia iyakan atau tepis—serta tentang kapan film terbarunya rilis. Bukan jenis pertanyaan yang sanggup mengusik emosinya, tetapi semua yang berkaitan dengan Mina selalu membuatnya gusar.

Richard baru saja menyesap white wine saat yang punya acara menghampirinya. "Richard, sorry ya, lo malah dapet pertanyaan-pertanyaan nggak nyenengin dari media," ucap Putra dengan wajah yang menunjukkan sedikit penyesalan sambil sesekali memandang awak media yang masih berkeliaran di sana. "Gue kurang banyak ngundang artis top kayaknya, dan nggak nyangka aja malah orang media yang hadir."

Mendengar itu, Richard tidak mampu menahan tawa. "It's okay," jawabnya singkat. "Udah biasa. Gue cuma nggak sabar pertanyaan soal Mina berhenti. Tapi," Richard berdeham pelan, "nanti pas ketahuan gue bukan ayah anak yang dikandung Mina, rasanya media bakal tetap nguber-nguber gue. Media sini kan suka segala sesuatu yang berbau sensasi."

"Tapi gue juga yakin, mereka bakal nemu berita lain yang jauh lebih menjual." Putra mengelus pelan pundak Richard. "Lo gimana kabarnya? Gue nggak mau denger jawaban lo baik-baik aja." Tangan Putra melambai ke arah beberapa influencer yang tersenyum ke arahnya.

"Capek gue, Tra. Beneran. Rasanya pengen berada di tempat yang jauh dari sini."

Kening Putra mengerut saat memandang Richard, mirip dengan reaksi yang diberikan Evan saat dia memberikan balasan yang sama. "Tumben banget lo ngeluh capek? Biasanya lo paling hobi main entah ke mana, nggak peduli lo abis syuting film laga juga."

Richard mengedikkan bahu. "Mungkin karena emang gue abis syuting dua film laga secara beruntun, jadi badan gue rasanya udah mau copot. Jujur, persoalan Mina mulai bikin gue capek secara mental, yang ujung-ujungnya, ngaruh juga ke fisik."

"Kalau lo yakin bukan lo bapak dari anak dia, kenapa harus lo pikirin?"

Balasan yang diberikan Richard adalah gelengan kecil. "Mungkin karena tuduhan itu udah bikin hidup gue jadi ... kacau, dan nggak ada yang bisa gue lakuin kecuali nunggu." Richard menatap Putra yang malam ini tampil sederhana, tapi tetap membuatnya jadi pusat perhatian. "Makanya gue sering ambil job supaya nggak punya banyak waktu buat terlalu mikirin itu."

"Emangnya kapan dia lahiran?"

"Kata Ruri mungkin sebulanan lagi, more or less."

"Hang in there, ya? Gue yakin semuanya bakal selesai dengan kebenaran ada di pihak lo."

"Thanks, Putra."

"By the way, lo udah tahu mau pake apa buat Aksara Awards nanti? Lo pasti diundang, kan?"

Dengan cepat, Richard mengumpat pelan. Dia sama sekali lupa dengan penghargaan untuk para penulis naskah paling bergengsi di Indonesia tersebut. Meski hanya sebagai pembaca nominasi, Richard tidak pernah menolak hadir jika diundang. Baginya, berada di sana sama halnya dengan networking, mengingat beberapa tawaran film yang didapatnya bermula dari para penulis naskah yang ditemuinya di sana. Setidaknya Richard berpendapat akan mendapatkan naskah-naskah yang bermutu.

"Lupa?"

Richard mengangguk. "Tanpa Ruri, entah karir gue bakal jadi kayak apa."

"Karena tanpa Ruri, lo nggak bakal punya baju buat dipake selain boring tux yang selalu bikin gue bergidik."

Lagi-lagi, Richard tergelak. "Ruri udah kontak lo?"

"Ya udahlah, asisten lo itu emang juara. Begitu dapet undangan dari gue—yang formal meski gue udah ngasih tahu lo secara personal—dia langsung nembak gue soal bikinin lo baju buat Aksara Awards."

Tanpa canggung, Richard langsung memeluk Putra. "Thank you so much, Putra!"

"Iyaaaa, udah nggak usah lebay. Ntar gue kabarin Ruri kapan lo bisa fitting. Yang pasti, lo bakal jadi yang paling beda di sana."

Senyum Richard melebar begitu mendengarnya. "Lo emang paling bisa diandelin." Namun begitu Richard melepaskan pelukan, matanya tertumbuk pada sosok yang paling tidak ingin dilihatnya saat ini. Dan tanpa bisa ditahan, dia langsung melontarkan, "Shit!"

"Eh, lo nyumpahin siapa?" Pertanyaan Putra tersebut lantas dibarengi dengan mengikuti pandangan Richard. "Lo masih nggak suka sama Jazmine?"

Menarik napas, Richard berusaha menenangkan emosinya. Jika dia mampu mengendalikannya saat tidak ada seorang pun yang menyaksikan setelah audisi, maka dia tidak punya keraguan akan bisa melakukan hal yang sama sekarang.

"Rasanya nggak suka adalah kata yang terlalu kuat buat gambarin perasaan gue ke dia," balas Richard. "Masalahnya, tiap kali lihat dia, gue selalu inget gimana rasanya dipermalukan di depan banyak orang. Dan itu selalu sukses bikin darah gue naik."

"Tapi lo nggak akan ngelakuin apa-apa sekarang, kan?" tanya Putra dengan kepanikan yang sedikit terdengar dari suaranya.

"Of course not!" serunya sepelan mungkin. "Gue nggak akan malu-maluin diri sendiri di sini, dan gue jelas nggak bakal ngerusak acara lo. Lo nggak perlu khawatir." Richard kemudian tersenyum. "Masalahnya, gue nggak punya pilihan selain balik. Demi kebaikan semua orang yang ada di sini."

"Yah Richard, lo kok gitu sih?"

"Sorry, Putra." Dia kemudian memiringkan tubuhnya agar Jazmine hanya melihat punggungnya. "Thank you for this lovely night, though. Jangan lupa kabarin gue atau Ruri, ya?"

"Oke deh. Ati-ati di jalan, ya?"

Yang dilakukan Richard hanyalah mengacungkan jempolnya, sebelum dia berlalu dari hadapan Putra. Sebisa mungkin, Richard tidak ingin menarik perhatian banyak orang dengan kepergiannya, tetapi karena tinggi badannya yang di atas rata-rata, mustahil baginya menyelinap begitu saja. Maka dengan senyum palsu dan sedikit basa-basi, Richard berhasil keluar dari butik Putra tersebut dan mengembuskan napas lega.

Namun rupanya, takdir sedang ingin bermain-main dengannya.

Dia justru mendapati Jazmine di luar sedang bicara di telepon. Langkah Richard yang sebelumnya cukup mantap, berhenti begitu saja. Ada dorongan menghampiri perempuan itu dan mengatakan apa saja demi membuat Jaz malu, tetapi dia sudah berjanji kepada Putra tidak akan merusak malam istimewa temannya tersebut. Dia lantas mengingatkan diri sendiri agar tidak terpancing dengan kehadiran Jaz.

Tepat sebelum Richard berbalik, pandangan mereka bertemu. Richard bisa membaca keterkejutan perempuan itu menyaksikannya di tempat ini melalui ekspresi wajahnya. Yang pasti, benci yang ada di antara mereka masih mengakar kuat, terlepas dari keduanya yang mengakui hal berbeda kepada orang-orang di sekitar mereka.

Ada banyak yang ingin dilakukan Richard—seperti mengacungkan jari tengah atau menjulurkan lidah dengan penuh ejekan—tetapi dia memutuskan untuk melontarkan tawa sinis ke arah Jaz sebelum membalikkan badan. Kakinya terayun menjauhi butik milik Mandala Putra dan meninggalkan Jaz yang mulutnya menganga tidak percaya. 

REVULSIONWhere stories live. Discover now