17 - RICHARD

262 29 1
                                    


"RICHARD ACKLES, LO BISA DIEM NGGAK?"

Sosok yang diteriaki dengan cukup kencang itu akhirnya diam. Richard yang sejak tadi hanya mondar-mandir sembari berkali-kali menanyakan alasan Jaz diterima—sekalipun dia dan Ruri tidak mampu juga menjawab—dan pikirannya sibuk diisi oleh langkah yang harus diambilnya.

Jika sebelumnya Richard sangat percaya diri bisa 'berdamai' dengan Jaz, pertengkaran kecil mereka tadi malam meluluhlantakkan keyakinannya. Film bukanlah sinetron atau webseries, pre-produksi bisa makan waktu berbulan-bulan, belum lagi jumlah kru yang terlibat, bisa mencapai ratusan. Prosesnya juga sangat panjang. Cepat atau lambat, para kru akan merasakan ketidakakuran Jaz dan Richard, dan suasana syuting bisa menjadi sangat menyiksa. Richard tentu saja tidak ingin itu menimpanya. Hanya saja, jika keduanya masih menginginkan peran Brian dan Claudia, ada kompromi besar yang harus mereka lakukan. Richard hanya tidak yakin apakah dia siap melakukannya.

Menarik napas dalam, Richard akhirnya duduk dan mengacak-acak rambutnya. Dia tidak menyangka kesempatan yang punya potensi membersihkan namanya, justru harus bersinggungan dengan Jazmine Anjani. Tuhan pasti sedang menghukumnya untuk sesuatu yang dia lakukan di masa lalu.

"Bisa gue ajak lo bicara sekarang? Udah tenang?"

Dengan lemas, Richard mengangguk.

"Gini ya, Rick, gue nggak tahu seberapa pelik urusan lo sama Jazmine karena gue nggak bisa ngerasain dan cuma dapet cerita dari lo. Tapi menurut gue, udah tugas lo sebagai aktor buat akting. Anggep aja lo akting baik-baik di depan banyak orang, plus lo akting sebagai Brian. Susah? Gue lebih suka dengan kata challenging karena lo pasti pengen maki-maki Jazmine terus bawaannya. Tapi apakah worth it kesempatan ini buat dilepas?" Ruri menggeleng. "Yang ada lo bakal nyesel, percaya deh sama gue. Ketika nanti Jazmine nggak lagi punya kekuatan bikin lo emosi, lo pasti bakal nyesel udah ngelepasin ini."

Richard menelan ludah, tetapi bibirnya masih terkatup.

Semalam, otaknya dengan leluasa membuat Richard terjaga hingga pukul tiga pagi. Dia memikirkan berbagai macam kemungkinan yang bisa diambilnya mengenai persoalan ini. Apa yang diucapkan Ruri bukannya tidak mampir dalam benaknya, tetapi suasana hatinya masih dipenuhi emosi hingga sulit bagi Richard berpikir jernih. Sekarang ada Ruri, dan sekalipun emosi tersebut belum sepenuhnya luruh, setidaknya ada orang lain yang bisa diajaknya bertukar pikiran.

"Gue nggak mau apa yang akan gue bilang ini sebagai alesan, tapi gue bakal perlu waktu buat mendem semua rasa nggak suka ke cewek itu."

"Then take your time, Rick. Lo juga belum harus reading, apalagi rehearsal. Kalau lo mau ke Bali, ini saatnya, tapi ya lo nggak akan bisa lama-lama di sana."

Decakan Richard tidak keras, tapi cukup untuk didengar Ruri. "Gue masih nggak tahu, apa yang mereka lihat dari cewek itu sampai bisa dapetin peran Claudia." Dia menggeleng, seolah menjawab sendiri ketidaktahuannya tersebut.

"Lo pernah mikir nggak kalau Jazmine juga mungkin punya pertanyaan yang sama? Kenapa harus lo? Kenapa bukan Randy, Primo, atau yang lainnya? Gue yakin, dia juga sedang ada di posisi yang sama kayak lo. Apakah lebih parah atau lebih chill, itu gue nggak tahu. Kalian berdua itu punya alasan kuat buat saling nggak suka, jadi wajar reaksi kalian kayak gini."

"Gue masih harus gali lebih dalem soal Brian, dan gue nggak yakin bisa kalau masih ada perasaan nggak suka itu."

"Gini aja deh, Rick. Gue bakal minta detail ke mereka, kira-kira dalam sebulan ini lo bakal diminta buat ngapain aja, di luar dari kerjaan lo yang udah fixed. Begitu gue dapet info, nanti gue atur jadwal supaya lo bisa ke Bali, doing whatever you need to do. Lo belum pernah kerja sama Raya kan?" tanya Ruri merujuk pada Sawitri Raya perempuan yang akan menjadi sutradara Revulsion.

"Belum pernah."

"Jadi semuanya bakal baru buat lo, bukan cuma tema filmnya. Gue rasa lo bakal bisa nemuin hal-hal yang menarik perhatian lo buat ngalihin fokus dari Jazmine. Cuma seperti gue bilang tadi, lo harus dua kali kerja."

"Oke, gue serahin ke lo soal itu."

"Lagian Rick, gue percaya banget, lo sama Jazmine bakal nemuin common ground nanti, apalagi sebentar lagi Mina lahiran. Kalau emang tes DNA terbukti lo bukan ayah anak itu, gue rasa Jazmine nggak akan punya alasan lagi buat benci sama lo karena penyebabnya udah nggak ada. Gue lebih concern ke lo, nih. Jujur aja. Karena kebencian lo sama Jazmine sebabnya cuma satu, dia nampar lo dan malu-maluin lo di depan banyak orang, dan itu meluas ke hal lainnya. Karena misalkan terbukti anak Mina bukan anak lo, alasan apa yang bakal lo pake buat nggak benci Jazmine lagi? Lo nggak punya dasar kayak Jazmine. Ngerti kan lo maksud gue?"

Richard mengangguk, tidak mengalihkan tatapannya dari Ruri yang tampak serius. Ruri bukan termasuk tipe yang akan stres berat tentang satu hal, tapi saat ini, asistennya itu seperti sudah berada di jurang. Dan Richard tidak suka bahwa dialah penyebab Ruri terlihat seperti ini sekarang.

"Buat satu peran aja tantangannya begini banget," keluh Richard karena tidak tahu lagi harus mengucapkan apa.

"Lo mau ngeluh sampai kucing bertelor juga nggak ada gunanya, Rick, nggak akan nyelesain masalah lo. Yang lo perluin sekarang adalah rencana, tapi gue wanti-wanti supaya lo nggak berbuat aneh-aneh sampai bikin Jazmine mundur."

Richard mengerutkan kening, pura-pura tidak paham dengan maksud Ruri. "Lo sebegitunya kepikiran gue bakal macem-macem?"

Tanggapan yang diberikan Ruri adalah sebuah decakan sebelum perempuan itu memandang Richard dengan tatapan gue-udah-kenal-lo-lama-jadi-nggak-usah-sok-nggak-ngerti. "Richard Ackles, lo itu nggak pernah mau kalah, apalagi buat sesuatu yang bisa lo kontrol. Gue tuh kenal lo bukan baru kemaren sore, gue ngerti apa yang ada di otak lo sekarang."

Berbohong ke Ruri sama halnya dengan cari perkara. Karena alasan itulah Richard lebih baik jujur dibandingkan Ruri tahu kebenaran dari orang lain. Bagi Richard, jika hal itu sampai terjadi, maka kepercayaan yang sudah terbangun bertahun-tahun di antara mereka akan hancur begitu saja. Dan Richard rela melakukan apa saja demi menjaga hubungan—bukan hanya profesional karena Ruri juga teman yang baik—tetap terjalin.

Terlebih ketika Ruri sudah menyebutkan nama lengkapnya, maka Richard tahu keseriusan Ruri sedang mencapai puncaknya.

"Gue emang semalem bilang ke cewek itu, siapa yang bakal bertahan."

"Ya ampun, Richard, kenapa lo itu kadang tololnya nggak karuan, sih?"

Richard meringis. Hanya satu orang dalam hidupnya yang berani menyebutkan kata itu, bahkan Beth pun lebih suka menggunakan kata stubborn dibandingkan moron/stupid. Namun Richard tidak pernah keberatan. Orang seperti Ruri susah dicari, apalagi dengan statusnya sebagai public figure. Ruri tidak akan pernah menyaring kata-katanya jika memang Richard pantas mendapatkannya. Terkadang, opini Ruri bisa terlalu brutal, tapi selalu mengandung kejujuran.

"Well, kami kan sama-sama emosi, jadi kalimat apa pun yang keluar dari mulut kami ya nggak bisa disalahin," kilah Richard sekalipun tahu itu alasan yang sangat dangkal.

"Gue sih nggak akan nyalahin Jazmine, tapi mulut lo itu." Ruri menggeleng heran. Sedetik kemudian, mata Ruri menyipit dan bahasa tubuhnya berubah. "Jangan-jangan, lo mulai suka lagi sama Jazmine? Tapi lo bersembunyi di balik rasa benci?"

"Ruri, please, nggak usah berhalusinasi kayak begitu siang-siang. Kayak gue bilang semalam, kalau neraka jadi beku, mungkin gue bakal suka sama cewek kayak begitu. Ugh!"

Richard meyakini setiap kata yang terucap, tidak ada lagi keraguan seperti ketika dia terjebak di lift bersama Jazmine. Semuanya sudah jelas sekarang. Dia memng tidak menyukai Jazmine Anjani.

REVULSIONWhere stories live. Discover now